Fraksi PKS: RUU Ciptaker Hapus Peran DPR RI Dalam Penentuan TDL

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto mengkritisi isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang menghilangkan peran DPR RI dalam penentuan besaran Tarif Dasar Listrik (TDL) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Sebelumnya, ungkap Mulyanto kepada Beritalima.com di Jakarta, Kamis (20/8), Pasal 34, UU No: 30/2009 tentang Ketenagalistrikan disebutkan, Pemerintah berwenang menetapkan TDL setelah disetujui DPR RI. Begitu juga penentuan RUKN, Pemerintah dapat menetapkan RUKN setelah berkonsultasi dengan DPR.

Namun, dalam RUU Ciptaker, ketentuan persetujuan DPR RI tersebut dihapus. Pemerintah diberi kewenangan penuh menetapkan TDL secara berbeda di setiap wilayah dan menetapkan RUKN tanpa persetujuan atau konsultasi dengan DPR RI.

“Kami dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai RUU Ciptaker telah mencabut otoritas rakyat atas listrik, khususnya dalam hal penentuan tarif. Menurut RUU ini, bila kelak disahkan, seratus proses terkait tarif listrik, akan ditentukan Pemerintah Pusat,” jelas Mulyanto.

Hal lain yang disorot Mulyanto dicabutnya peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan listrik daerah. Semua akan diatur Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dan DPRD tidak lagi berwenang menentukan TDL dan rencana kerja usaha ketenagalistrikan daerah.

Melalui RUU Ciptaker ini terjadi sentralisasi penyelenggaraan ketenagalistrikan. Soal tarif listrik, RUKN dan penyelenggaraan ketenagalistrikan seluruhnya dipusatkan pada Pemerintah Pusat tanpa mengikutsertakan DPR RI maupun Pemerintah Daerah.

Pemusatan kekuasaan kelistrikan seperti ini bakal menutup katup demokratisasi soal kelistrikan. Padahal demokratisasi mensyaratkan proses chek&ballances dan otonomi antar unsur eksekutif, legislatif dan daerah.

“Prinsip demokrasi dan desentralisasi adalah berbagi kekuasaan, mengingat spent of controll (rentang kendali) Indonesia, baik secara sektoral maupun teritorial, yang demikian luas dari Sabang hingga Merauke.”

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini juga menilai ada kecenderungan TDL akan terus merangkak naik. Karena kontribusi Independent Power Producer (IPP) atau perusahaan pembangkit listrik swasta yang semakin dominan.

Belum lagi adanya klausul TOP (take or pay) dari IPP dimana dipakai atau tak stroom harus dibayar PLN sesuai kontrak. Saat permintaan listrik merosot, karena skema TOP, PLN tetap harus membayar listrik yang tidak dipakainya. Harga dan volume tidak pernah turun, meski ekses kelebihan listrik tersebut tidak digunakan PLN.

Tak ada berbagi derita di masa pandemi Covid-19 ini dari IPP. Seluruh beban ditanggung PLN, yang ujung-ujung harga jual listrik tersebut dibebankan kepada rakyat atau disubsidi Negara.

Pada satu sisi terjadi liberalisasi kelistrikan, dimana tidak ada pembatasan saham asing di sisi pembangkit. Pada sisi kewenangan Pemerintah Daerah dan wakil rakyat untuk berperan dalam sektor ini semakin dipangkas habis.

“Penguasaan dan pengusahaan listrik akan terpusat pada Pemerintah Pusat dan badan usaha. Kalau terjadi kong kalikong diantara mereka, maka rakyat lah yang akan menderita. Ini tentu tidak kita inginkan,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)

beritalima.com beritalima.com

Pos terkait