Oleh:
Rudi S Kamri
Indonesian Corruption Watch (ICW) baru saja merilis data penggunaan negara (APBN) sekitar Rp 90,45 milyar untuk membayar influencer. Ada lima kementerian yang dituding ICW, diantaranya Kemenparekraf, Kemenhub, Kemenkominfo, Kemendikbud dan Kemenpora. Menurut rilis ICW tidak ada dari dari Istana Negara (baca: Presiden secara langsung) yang mengucur untuk membayar influencer.
Pernyataannya, apa salahnya?
Meskipun saya tidak termasuk influencer yang mempunyai follower banyak dan belum serupiahpun pernah dibayar negara untuk aktivitas literasi sosial saya, saya melihat tidak ada salahnya kalau Pemerintah meminta bantuan influencer yang mempunyai follower banyak untuk membantu mensosialisasikan program Pemerintah. Apalagi kegiatan itu untuk mengamplifikasi program yang bermanfaat bagi kemaslahatan rakyat. Bagi saya hal tersebut hanya merupakan salah satu strategi komunikasi publik biasa.
Bagi orang yang paham komunikasi publik, memanfaatkan tokoh terkenal atau lembaga masyarakat untuk mengintervensi ruang publik dalam rangka memberikan informasi suatu program kerja Pemerintah, Lembaga Negara atau perusahaan swasta adalah salah satu langkah strategi kehumasan biasa. Sebagai contoh Badan Narkotika Nasional (BNN) perlu menunjuk seorang artis atau tokoh yang terkenal sebagai Duta Anti Narkoba, sah-sah saja bukan? Bisa jadi si duta tersebut tidak dibayar tapi untuk pembuatan iklan layanan masyarakat di media TV atau media lain sudah pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.
Hal yang sama misalkan dilakukan Kemendikbud dalam penunjukan seorang sosok terkenal sebagai Duta Literasi untuk menaikkan minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah. Hal serupa bisa dilakukan Kemenhub untuk mengkampanyekan tertib berlalu lintas. Strategi tersebut bisa juga dilakukan oleh Kemenparekraf, Kemenkominfo atau lembaga negara yang lain untuk sosialisasi program tertentu. Lalu salahkah misalnya Presiden meminta bantuan influencer untuk mensosialisasikan masyarakat untuk taat protokol kesehatan? Bukahkah hal itu sekedar strategi kehumasan biasa?
Lalu apa pasal yang diributkan ICW?
ICW telah bersikap tidak proporsional. Hanya mengobarkan informasi biasa yang berpotensi digoreng orang atau kelompok yang anti Pemerintah. Apalagi di masa krisis pandemi Covid-19 yang multi demensi seperti yang terjadi saat ini, rilis ICW adalah sesuatu yang kontradiktif dan tendensius. Tidak mencerdaskan bangsa sama sekali.
Lalu kalau boleh saya bertanya, darimana ICW dapat dana untuk operasionalnya? Jujurkah mereka terhadap yang yang masuk di rekening mereka? Prof. Romli Atmasasmita beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa berdasarkan audit BPK, disinyalir ICW pernah dapat dana CSR dari KPK dalam rangka sosialisasi publik untuk program anti korupsi. Lalu, kalau benar informasi ini, bukahkah ICW juga berposisi sebagai influencer? ICW pun disinyalir menerima dana asing untuk kegiatan operasionalnya. Maukah ICW disebut sebagai agen kepentingan asing?
Ada ujaran bijak, saat satu jari menuding orang lain, empat jari telah menuding diri sendiri, ICW pun tidak sadar telah melakukan hal itu. Preettttlah.
Salam SATU Indonesia
21082020