Pada hari ibuku meninggal, aku menarik diri dari dunia, benar-benar mati rasa. Aku tidak menangis karena aku tidak ingin percaya dia sudah pergi. Ibuku adalah batu karang yang membuatku tetap membumi. Hanya dia dan aku di dunia ini, setidaknya setelah ayahku pergi mengkhianati kami. Seharusnya aku menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Seharusnya aku memberitahunya, mengingatkannya setiap hari, betapa aku mencintainya. Betapa bersyukurnya aku atas semua yang dia lakukan untukku. Tapi sudah terlambat untuk itu.
Setelah ibu tiada, waktu terasa berjalan lebih lambat daripada tetes air. Kamarnya tetap tertutup. Aku tidak ingin masuk ke sana. Aku tidak mau menerima kenyataan bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ayahku tidak muncul di pemakaman. Terakhir kali aku mendengar kabar darinya adalah pada saat hari kelulusanku waktu Sekolah Menengah Pertama. Aku mendapat pesan Whatsapp yang mengatakan “selamat lulus kak, ini hadiah dari ayah”. Ditambah bukti transfer uang sejumlah Rp1.000.000,00. Memberiku uang tidak mengubah fakta bahwa dia meninggalkan ibuku dan aku demi wanita lain.
Aku berangkat ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, satu bulan setelah kematian ibuku. Meskipun mengatakan pada diri sendiri bahwa aku akan baik-baik saja, sejujurnya aku takut. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat aku masih di Sekolah Dasar.
Ketika aku sampai di rumah ayah, aku sangat takut dan tidak yakin apakah aku harus masuk atau berbalik. Aku takut untuk berbicara dengannya. Sulit tumbuh tanpa sosok ayah dalam hidupku.
Namun, akhirnya, aku mengumpulkan keberanian untuk jalan ke pintu depan. Aku berkata pada diri sendiri bahwa jika tidak ada yang menjawab, Aku akan pulang ke Jakarta. Sederhana seperti itu. Tapi setelah satu ketukan, pintu terbuka. Dan di sana berdiri ayahku. Kami saling berhadapan. Dia menatapku dengan rasa ingin tahu, seolah-olah sedang memeriksa lukisan untuk pertama kalinya. Aku bertemu tatapannya. Baru saat itulah dia menyadari siapa aku. Kami memiliki mata yang sama, biru lembut, seperti renda biru pudar. Satu-satunya perbedaan adalah matanya merah dan lelah, jelas karena kurang tidur. Garis-garis halus menghiasi wajahnya.
“Ayah mendengar tentang kematian Ibu,” Ucapnya.
Air mata mengaburkan pandanganku. “Kenapa Ayah tidak datang?”
“Alysa, maafkan Ayah,”
“Kenapa Ayah tidak datang?” Aku bertanya lagi, suaraku pecah. “Mengapa?”
“Masuklah, mari kita bicara di dalam,”
Aku melangkah masuk ke dalam rumah, mengikuti jejaknya.
Kami berbicara selama hampir satu jam. Meskipun dia telah banyak berubah, dia masih mirip dengan pria yang kuingat. Ketika aku masih kecil, dia akan mencium keningku dan mengucapkan “Ayah sayang Alysa” tepat sebelum tidur. Dia masih pria yang perhatian. Satu-satunya perbedaan adalah sepertinya bukan aku yang dia pedulikan lagi.
Aku tahu dari caranya berbicara tentang istri dan putranya bahwa dia telah pindah. Dia bertemu dengannya di sebuah bar di Bali dan mereka berkencan selama setahun sebelum dia melamar. Mereka kemudian memiliki seorang bayi laki-laki, yang sekarang duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Aku senang untuknya. Tapi aku ingin ayahku kembali.
“Apakah ayah pernah merindukanku?”
Ayahku menghela nafas. Butuh satu menit baginya untuk mengumpulkan kata-katanya. “Tentu, Alysa. Ayah sangat merindukanmu. Ayah mencoba menghubungimu, tetapi tidak pernah dapat balasan apapun. Setelah ayah pergi, ibumu menyuruhku untuk tidak kembali dan tidak diperbolehkan untuk menanyakan kabarmu, tapi kamu adalah putriku. Dan akan selalu begitu,” dia meraih tanganku. “Ayah sayang banget sama kamu, kamu putri ayah”.
“Ayah tahu bahwa tidak mudah bagimu tumbuh tanpa sosok ayah. Maaf, ayah tidak bisa berada disana untukmu. Tapi ayah ingin kamu tahu bahwa kamu akan selalu menjadi putri ayah. Kamu akan selalu punya rumah di hati ayah. Ayah akan selalu ada untukmu”.
Aku sangat merindukannya. Aku merindukan gagasan bahwa aku bisa memilikinya kembali dalam hidupku. Tapi sepertinya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Dia belum menjawab pertanyaan utamaku tentang ketidak hadirannya dalam pemakaman ibu.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menanyakan satu pertanyaan yang dia hindari selama ini. “Kenapa ayah selingkuh dari Ibu, memang apa kurangnya Ibu?”
Sialnya pertanyaan itu hanya berani terucap dalam hatiku.
Penulis: Lysti Rahma, Mahasiswa Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta