(Gairah) Menyantuni Anak Yatim

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Dalam suatu pengajian menyambut tahun baru hijriah, seorang dari jamaah mengajukan pertanyaan kepada ustaz penceramah. Pertanyaannya berkenaan dengan problem yang dihadapinya sebagai ‘panitia’ selama ini. Pertanyaan itu ialah mengenai batasan yatim sehingga harus mendapat santunan dari panitia. Menurut pengalamannya setiap tahun kegiatan yang sudah melembaga itu selalu saja menyisakan problem. Bahkan, tidak jarang problem tersebut menjadikan gunjingan masyarakat yang sudah mengarah ke fitnah. Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab dia pun merasa menjadi sasaran fitnah tersebut dan yang pasti sering menyudutkannya. Sungguh ironis, kegiatan agama (syariat) yang semula mulia itu pun tampaknya sering berujung keributan terselubung. Ketika merespon pertanyaan tadi, sang ustaz tampaknya menjawab pertanyaannya dengan cukup detail. Penanya pun tampak mengangguk-anggukan kepala, pertanda sudah merasa gamblang atas jawaban sang ustaz.

Sebagaimana kita ketahui, di setiap bulan Muharram, kegiatan santunan yatim, tampak marak di mana-mana. Masyarakat sepertinya menjadikan kegiatan itu sangat masif. Tidak jarang, penggalangan dana santunan tidak hanya dilakukan di masjid tetapi juga di area-area lain. Di banyak sudut jalan, penggalangan dana untuk santunan juga dilakukan. Sehingga, dana yang terkumpul pun tidak hanya dari orang berada, tetapi juga masyarakat umum. Siapa saja yang kebetulan lewat, punya kesempatan yang sama untuk mendermakan sebagian uangnya bagi anak yatim.

Kegairahan masyarakat melembagakan santunan yatim sebagai kegiatan rutin tahunan ini tentu bukan tanpa alasan. Dalam ajaran agama Islam memang sangat dianjurkan untuk menyayangi dan menyantuni anak yatim. Memberikan santunan anak yatim merupakan tindakan yang mulia dan mendatangkan berbagai pahala. Ada sejumlah dalil yang melegitimasi urgensi agar kita menaruh kepedulian terhadap anak yatim. Al-Qur’an secara tegas menjelaskan, bahwa anak yatim adalah anak yang harus dipelihara, diperhatikan, dan diberi kasih sayang. Sejumlah teks-teks agama banyak memberikan motivasi demikian. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 220, Allah SWT berfirman (artinya):

“Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakan lah “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik.”
Bahkan, dalam surat Al Maun ayat 2 ditegaskan, bahwa kepedulian kita terhadap anak yatim menjadi parameter ketulusan keberagamaan kita.
Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad r.a, bersabda (artinya):
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.” (HR. Bukhari)
Meskipun definisi anak yatim sudah banyak diketahui akan tetapi kaitannya dengan santunan secara implementatif sering menimbulkan persoalan dan tidak jarang menimbulkan gunjingan negatif. Kasus demikian dalam banyak hal mirip dengan pembagian bantuan langsung tunai (BLT) ala pemerintah. Yang mestinya berhak tidak mendapat dan sebaliknya.

Sebagaimana kita ketahui secara umum para ulama memberikan batasan yatim anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya sebelum baligh (man mata lahu abuhu qablal bulugh). Di samping yatim sering juga kita dengar istilah “piatu”. Piatu biasanya digunakan untuk menyebut seorang anak yang belum baligh yang telah ditinggal mati oleh ibunya. Jika dua istilah tersebut digabung menjadi “yatim piatu” pengertiannya ialah anak yang belum baligh yang telah ditinggal mati oleh ayah ibunya atau tidak mempunyai kedua orang tua (ayah ibu) sama sekali.
Lantas mengapa istilah yatim hanya diperuntukkan bagi anak yang ditinggal mati oleh ayahnya dan bukan ibunya? Jawabnya, hal ini (mungkin) erat kaitannya dengan konsep fikih klasik yang memang sangat ‘maskulin’. Konsep ini berangkat dari pemikiran dasar, bahwa ayah merupakan penanggung nafkah dan ibu sebagai istri sebagai pihak penerima nafkah. Konsep pemikiran demikian kemudian memang menempatkan suami sebagai tulang punggung keluarga sedangkan istri sebagai perempuan, dianggap tidak berdaya sehingga harus tergantung kapada suami. Pemikiran demikian sekaligus juga menimbulkan asumsi, bahwa ketika suami meninggal yang nota bene sebagai tulang punggung keluarga, akibat kematiannya, maka anak dan istri kehilangan orang yang selama ini menjadi sumber pemasukan ekonomi keluarga. Suatu asumsi yang untuk saat ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, realitas menunjukkan, bahwa tidak selamanya orang yang ditinggal suami, lantas serta merta kehilangan sumber pendapatan keluarga. Saat ini banyak para janda yang masih survive meskipun ditinggal suaminya, karena saat suami meninggal, meninggalkan sejumlah harta (warisan) berlimpah. Atau dengan kata lain, meskipun yatim tetapi dia mempunyai harta melimpah akibat kekayaan (harta warisan) dari ayahnya. Atau, bahkan kini banyak istri menjadi para profesional yang produktif.
Pada saat yang sama tentu juga dimungkinkan banyak anak yang sekalipun ditinggal mati oleh kedua orang tua, tjuga masih banyak hartanya akibat mendapat warisan dari kedua orang tuanya yang berkecukupan. Kondisi anak yatim demikian memang telah disinyalir Al Qur’an Surat An Nisak ayat 10 yang mengancam siapa pun (terutama wali) yang memakan harta anak yatim dengan cara dhalim dengan predikat pemakan bara api dan kelak akan dimasukkan neraka. Pada ayat sebelumnya, yaitu An Nisak ayat 5, para wali diperintahkan menyerahkan pengurusan harta anak yatim yang mempunyai harta jika mereka sudah berkemampuan mengurus harta (rusyd).
Dua ayat tadi memberikan gambaran realitas, bahwa ada “anak-anak yatim yang sejatinya berdaya secara ekonomi. Meskipun demikian, mereka tetap perlu santunan. Santunan itu tentu bukan berupa pemberian harta (santunan uang), tetapi “santunan manajemen” terhadap harta yang didapat dari warisan salah satu atau kedua orang tuanya. Tujuannya, agar harta tersebut warisan miliknya tidak hilang atau morat-marit karena tidak terurus atau dijarah orang-orang yang tidak bertanggung jawab, termasuk oleh keluarganya sendiri. Secara yuridis kewajiban mengurus harta anak yang belum dewasa ini di atur antara lain oleh Pasal 50 s.d 54 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh UU Nomor 16 Tahun 2019.
Dari gambaran di atas sejatinya objek santunan secara substansial, anak yatim kaitannya dengan praktik santunan, memang dapat dibedakan menjadi 2 kriteria: yaitu:
Pertama, anak yatim yang sepeninggal ayah, apalagi ayah atau ibunya atau kedua-duanya, memang dalam keadaan miskin yang tentunya membutuhkan biaya kelangsungan hidup. Dalam konteks kehidupan kini, pemberian biaya kelangsungan hidup mestinya juga tidak perlu dibatasi sampai usia baligh, sebagaimana dalam terminologi fikih, yaitu usia 15 tahun bagi laki-laki atau 9 tahun bagi perempuan. Saat sekarang, akan bisa berbuat apa anak seusia itu. Melihat tingginya animo masyarakat dalam hal pengumpulan dana, santunan anak yatim ini, mestinya diupayakan, misalnya agar mereka bisa menempuh pendidikan paling tidak sampai Strata-1 atau bisa hidup mandiri.
Kedua, untuk anak yatim yang kaya, santunan yang diperlukan ialah dalam bentuk kepedulian orang-orang sekitar (para wali atau tokoh masyarakat yang ada) agar menyelamatkan harta (warisan) yang dimiliki. Mereka tidak perlu kita sertakan dalam barisan anak yang kita tampilkan dalam podium yang harus diusap kepalanya secara bergantian oleh seluruh hadirin berikut memberikan amplop berisi beberapa lembar uang ratusan ribu.
Dengan melihat kegiatan santunan yang menomenal selama ini, tampaknya gairah kaum muslimin patut kita banggakan. Praktik yang sudah melembaga ini tentu patut terus dipertahankan. Kagiatan berlingkup sosial ini tentu juga sangat membantu sebagian tugas pemerintah/negara dalam melaksanakan salah satu kewajiban konstitusionalnya. Akan tetapi kegiatan sosial bermotivasi agama ini tampaknya perlu terus dilakukan evaluasi. Tujuannya ialah agar kegiatan yang melibatkan dana masyarakat ini, bisa benar-benar tepat sasaran, dan yang lebih penting, tidak terperangkap kapada rutinitas sporadis: “Habis Santunan Habis Perkara.” Yang juga harus diwaspadai oleh setiap kita ialah, jangan sampai di antara kita ada melakukan kegiatan yang semula mulia ini, justru terjebak kepada praktik eksploitasi anak yatim. Dalam hal ini, menncari ‘keuntungan’ pribadi dari anak-anak kurang beruntung. Semoga tidak. Selamat Menyambut 1 Muharram 1445 Hijriah.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988;
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001;
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, sosial, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait