Gairahkan Literasi, DPD RI Harapkan Negara Lindungi Penerbit Lokal

  • Whatsapp
Gairahkan Literasi, DPD RI harapkan negara lindungi penerbit lokal (foto: abri)

Jakarta, beritalima.com| – Ketua Komite III DPD RI Filep Wamafma menyampaikan perhatian serius terhadap ekosistem perbukuan nasional, penerbit lokal yang kian melemah dan perlu negara hadir untuk melindunginya guna menggairahkan literasi di Tanah Air.

“Ada regulasi, tapi belum ada eksekusi yang sepadan. Negara perlu hadir secara aktif dan bertanggung jawab dalam membangun peradaban membaca, harus ada program yang lebih kongkrit dalam hal ini.” Ujar Filep.

Kondisi ini bukan sekadar isu sektor pendidikan atau industry. Tapi lebih mendasar menyangkut masa depan bangsa Indonesia. Menurut Ketua ADRI Papua Barat tersebut, melemahnya penerbitan buku, merosotnya industri percetakan dan rendahnya minat baca masyarakat merupakan gejala dari lemahnya kebijakan negara yang berpihak pada pembangunan budaya literasi yang kokoh.

Filep mengingatkan, Indonesia tak kekurangan dasar hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dengan jelas mewajibkan negara untuk menjamin tersedianya buku yang bermutu, murah, dan merata. Namun hingga hari ini, implementasi UU tersebut belum menjelma menjadi kebijakan strategis yang terukur dan berkelanjutan.

Justru anggota DPD RI dari Papua Barat ini melihat langsung dampak konkret dari lemahnya distribusi buku cetak khususnya di daerah-daerah luar Jawa. Menurutnya, ketimpangan akses terhadap buku semakin memperlebar jurang sosial dan pendidikan antarwilayah.

Ia pun soroti banyak penerbit kecil dan percetakan lokal kini kesulitan bertahan karena tidak adanya dukungan negara, baik dalam bentuk insentif pajak, subsidi bahan baku, maupun regulasi protektif. “Perhatian saat ini harus tertuju pada dua sisi, para pelaku percetakan buku dan sekaligus konsumen,” jelas Senator yang akrab disapa Pace Jasmerah tersebut.

Meski di era kini serba digital, Filip mengatakan jangan meninggalkan buku cetak. “Ia bukan sekadar alat baca, ia adalah medium berpikir,” tambahnya. Filep menilai, rendahnya minat baca bukan murni karena malas membaca, tapi karena ekosistem buku tidak dirawat secara berkelanjutan.

Harga buku mahal, distribusi terbatas, dan tidak adanya gerakan nasional yang konsisten. Ia menyebut, ini saatnya negara tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur intelektual. Masyarakat yang gemar membaca adalah masyarakat yang sadar, kritis, dan berdaya. Dan itu hanya mungkin jika negara menjadikan buku sebagai bagian dari pendidikan serta pembangunan strategis.

Jurnalis: Rendy/Abri

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait