JAKARTA- Kekerasan dan penyiksaan terhadap hewan dan satwa harus dihentikan. Perlu sanksi hukum yang memberikan efek jera kepada pelaku. Pertengahan pekan pertama Juli 2018, Kantor Staf Presiden menerima para pecinta hewan dan satwa, menyerap aspirasi, dan masukan bagaimana perlindungan hewan dan satwa di Indonesia.
“Ini bagian dari upaya pemerintah menyerap aspirasi. Kita memiliki kesamaan bahwa perlu ditingkatkan sanksi hukum kepada mereka yang tidak beradab,” kata Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn.) Dr Moeldoko saat menerima Direktur Utama Yayasan Garda Satwa Indonesia Davina Veronica, didampingi rekan-rekannya Christina Aryani, Chandra Kurniawan, dan Cindy Kartika di Kantor Staf Presiden.
Sebelumnya KSP beberapa kali melakukan pertemuan dengan organisasi atau kelompok pecinta hewan dan satwa. Moeldoko berharap ada kesadaran bersama mencintai binatang. Apapun bentuknya, segala makhluk hidup ciptaan Tuhan harus dihormati. Ia mengutip sebuah kisah dalam sejarah Islam, bagaimana seorang wanita yang memberi minum kepada anjing yang kehausan dan akhirnya mendapat pengampunan dosa. Artinya, Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada setiap makhluk hidup, termasuk hewan.
“Kita menyayangkan beberapa kasus penyiksaan hewan yang viral di medsos. Bangsa ini harus memiliki semangat bersama untuk mencintai,” ujarnya.
Davina Veronica mengatakan, Garda Satwa Indonesia sejak awal didirikan bertujuan menginisiasi dan mengumpulkan semua komunitas pencinta hewan dan satwa di Indonesia. Beberapa advokasi dilakukan dalam beberapa kasus kekerasan.
“Hewan dan satwa juga penduduk bumi, ada hak memberikan mereka hidup tenang dan nyaman,” jelasnya.
Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) Pasal 367 dan 369, pengaturan ketentuan pidana bagi penyiksaan dan penganiayaan hewan belum memberikan kepastian hukum dan keadilan. Menurut Christina Aryani, perumusan ketentuan pidana yang tidak memberikan batasan pidana minimal akan menyulitkan hakim dalam menjatuhkan hukuman dan berpotensi menegasikan kepastian hukum. Perumusan pemidanaan secara alternatif (pidana penjara atau pidana denda) berpotensi meloloskan pelaku penyiksaan/penganiayaan hewan dari jeratan pidana penjara. RUU HP merumuskan pidana denda minimal Rp 10 juta sampai dengan Rp 50 juta.
“Aturan ini bisa menimbulkan perbedaan pandangan di aparat penegak hukum. Kita harap ada revisi narasi, jangan ada denda minimal dan pidana alternatif,” katanya.