SURABAYA, beritalima.com|
Penggunaan gas air mata yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam Tragedi Kanjuruhan menuai kritikan publik. Alih-alih beranggapan, penembakan gas air matalah yang menjadi dalang atas hilangnya 132 nyawa dalam malapetaka tersebut.
Anggapan itu kemudian dibuktikan oleh hasil investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan di bawah pimpinan Menkopolhukam Mahfud MD. TGIPF menyimpulkan bahwa penyebab utama atas kematian massal dan korban berjatuhan dalam kejadian tersebut adalah tembakan gas air mata.
Menanggapi hal itu, pakar Toksikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Shoim Hidayat dr MS memberikan penjelasan. Menurutnya, gas air mata terbuat dari senyawa-senyawa kimia seperti chlorobenzylidenemalononitrile (CS), diphenylaminechlororarsine (DM), dibenzoxazepine (CR), chloroacetophenone (CN), serta semprotan merica atau Oleoresin capsicum. Dari bahan-bahan tersebut, yang paling banyak digunakan dan diproduksi oleh PT Pindad adalah chlorobenzylidene malononitrile (CS).
Menurut Shoim, senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam gas air mata tersebut memiliki sifat dasar iritan yang kuat. Sehingga, mudah mengiritasi dan merangsang bagian mukosa atau selaput lendir yang ada dalam organ tubuh manusia, seperti sklera pada mata, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Oleh sebab itu, organ-organ tersebutlah yang paling mudah terpengaruh oleh efek gas air mata.
Bergantung Kadar dan Durasi Paparan
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) itu mengatakan, tingkat keparahan dari efek yang ditimbulkan oleh gas air mata sangat bergantung pada dua hal. Yaitu kadar atau tingkat konsentrasi dan durasi paparan gas air mata itu sendiri.
“Perhatikan Tragedi Kanjuruhan. Kalau melihat jumlah gas air mata yang begitu banyak ditembakkan, itu sudah menggambarkan konsentrasi atau kadarnya tinggi. Apalagi kalau itu terjadi di ruang tertutup, mereka yang di tengah lapangan kelihatan baik-baik saja, tapi yang di tribun, itu tertutup, pasti lebih parah,” ucapnya.
Di samping itu, ia melanjutkan, makin lama durasi paparan gas air mata yang ditembakkan, maka efek yang ditimbulkan juga semakin parah. Jika kedua hal itu digabung, maka tingkat keparahan makin tinggi dan secara otomatis akan mengakibatkan komplikasi.
“Jadi, kalau kadarnya itu rendah dan sebentar, efeknya akan terasa sekitar 20 detik dan hilang sekitar 30 menit sampai 1 jam. Tapi kalau parah, itu akan terjadi komplikasi dan itulah yang akan mengakibatkan kematian dan sebagainya. Kalau hanya sebentar mungkin akan pedih saja dan sekitar 30 menit akan pulih kembali karena tujuan gas air mata itu untuk mengendalikan kerumunan massa supaya tidak bergerombol,” ujar Shoim.
Timbulkan Radang
Kemudian, ia juga menerangkan, mukosa atau selaput lendir yang mengalami iritasi akan menimbulkan radang, baik itu radang ringan ataupun radang berat. Jika korban mengalami radang berat, maka memerlukan waktu yang lama untuk sembuh dan bisa mengakibatkan kecacatan. Misalnya pada bagian mata, jika yang terkena kornea, maka bisa menimbulkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan.
Selain itu, jika radang berat terjadi pada saluran pernapasan, maka akan terjadi pembengkakan yang akan menimbulkan rasa sesak dan penyempitan saluran pernapasan. Bahkan, lebih parah lagi jika penyempitan saluran pernapasan itu disertai dengan rasa nyeri, maka bisa terjadi sindrom pernapasan akut berat. Hal demikianlah yang menyebabkan orang tidak bisa bernafas sehingga meninggal dunia.
“Jadi, kematiannya bukan langsung dari gas air mata, tapi efek iritasinya yang bisa membuat radang hebat. Belum lagi di ruangan sempit, tertutup, dan kandungan oksigen berkurang. Sekali lagi, gas air mata tidak menyebabkan kematian, tapi komplikasinya yang bisa menyebabkan kematian,” pungkasnya. (Yul)