Geger (Nasab) Habaib dan Hakikat Ahlulbait

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Dunia per-habib-an akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat, khususnya oleh kaum nahdliyyin. Berkat kemajuan teknologi, dalam hal ini “medsos” ( whatsApp, youtube, instagram, twitter), baik yang pro dan kontra membuat diskursus mengenai topik tersebut, tidak hanya cepat meluas tetapi juga menjelma menjadi perdebatan nan panas. Setidaknya hal demikian, sebagaimana ditulis oleh NU Online (13 Mei 2023) telah mendapat respon dari Prof.Dr. Quraish Shihab, seorang ahli tafsir, alumnus al Azhar sekaligus mantan Menteri Agama RI di era Orde Baru. Dalam pandangan penulis Tafsir al Misbah,–yang (sebenarnya) juga seorang habib tetapi tidak pernah mau dipanggil habib ini–perbincangan tentang keturunan rasulullah yang mengarah pada sikap saling menghina, memojokkan, merendahkan, dan hal negatif lainnya, justru tidak membuat rasulullah bangga. Karena, menurutnya, nabi mengutamakan akhlak dan ilmu dalam perdebatan.
Banyak orang yang berspekulasi seputar latar belakang munculnya perdebatan tersebut. Bahkan, ada yang mengaitkannya dengan situasi politik tanah air, khususnya ketika masyarakat harus terlibat dukung mendukung kepada paslon presiden masing-masing. Akan tetapi, memang tidak dapat dipungkiri, perlawanan terhadap habib (jamaknya: habaib), antara lain, juga dipicu oleh ulah sejumlah oknum habib yang perangainya tidak mencerminkan dengan akhlak nabi. Bahkan, sebagian sikap kasar mereka sudah mengarah ke sikap permusuhan terbuka terhadap sebagian besar kiai NU yang kebetulan berseberangan secara politik dengan mereka. Sikap mereka oleh sebagian orang NU dianggap sangat ‘kurang ajar’, sebab yang selama ini membesarkan eksistensi mereka adalah para kiai NU dan kaum nahdliyyin.
Di samping benci kepada kepada oknum habib, kelompok itu pun kemudian mulai menyangsikan eksistensinya sebagai keturunan rasulullah, manusia mulia nan paripurna itu. Ketika kemudian muncul seorang kiai muda asal Banten bernama K.H. Imaduddin Utsman yang secara ilmiah membuktikan kepalsuan pengakuan Ba’alawi sebagai keturunan rasulullah, para pembenci oknum habib tersebut seperti mendapatkan penghulunya. Mereka secara terbuka mulai berani membongkar satu persatu ulah para pengaku anak cucu rasul itu di berbagai daerah yang dianggap melecehkan para ulama dan kaum nahdliyyin. Apalagi, sebagaimana dikutip oleh suara nasional.com (12/4/2024), secara terbuka Kiai Imad juga telah mengharamkan mempercayai Ba’alawi sebagai keturunan rasulullah.

Akan tetapi, perlawanan para kaum nahdliyin pada hahkikatnya hanyalah perlawanan terhadap kepalsuan nasab—dalam hal ini nasab Ba’alwi yang menjadi tonggak eksistensi per-habib-an di Indonesia. Dan, kemudian juga perlawanan terhadap akhlak dan perilaku ‘buruk’ sebagian dari mereka. Perlawanan itu jelas bukan terhadap eksistensi rasulullah dan anak cucu keturunan beliau yang sebenarnya (asli). Mereka itulah “ahlul bait” (keluarga) rasulullah SAW. Dengan kalimat lain, kepada anak cucu (dzurriyyat) yang memang terbukti (secara ilmiyah) sebagai anak cucu rasulullah, tetap wajib dihormati sesuai posisi dan proporsinya sebagai ahlul bait. Dalil-dalil tentang kemuliaan ahlul bait hanya berlaku untuk mereka yang saat ini benar-benar terbukti sebagai ahlul bait rasulullah, bukan untuk para ahlul bait abal-abal yang pengakuannya kini sudah terbukti palsu tersebut.

Meskipun, dalam suasana panas ini, ada aspek lain yang tetap tidak boleh dilupakan, bahkan tetap harus dijunjung tinggi. Aspek lain itu adalah aspek kemanusiaan. Para habaib palsu yang mengaku sebagai keturunan rasulullah itu adalah manusia seperti manusia lainnya. Sebagai sesama manusia, mereka tetap layak dihargai sesuai posisi dan proporsinya. Prinsip-prinsip pergaulan antar sesama manusia tetap harus ditegakkan dengan mengedepankan sikap egaliter, bukan sikap egoistis berdasarkan ras, suku, atau golongan. Dalam konteks demikian, parameter kemuliaan seseorang hanya dapat dilihat dari ilmu dan akhlaknya. Bakankah Allah juga telah menegaskan, bahwa derajat kemuliaan manusia hanya dilihat dari seberapa derajat ketakwaannya? (Al Hujurat, 49:13).

Suatu saat rasulullah juga pernah mengakui Sahabat Salman sebagai ahlul bait, padahal beliau bukan orang Quraisy, melainkan orang Persia. Mengapa rasulullah mengakui sahabat—yang oleh Ali bin Abi Thalib diberinya gelar “Lukmanul Hakim—ini? Yang demikian, tentu termasuk hak ‘prerogatif’ beliau. Dari peristiwa Salman tersebut, tampaknya memang dimungkinkan ada pengakuan sebagai ahlil bait rasulullah karena kriteria tertentu, meskipun secara biologis bukan keturunan beliau. Dengan mengacu kepada ‘kasus Salman’ tersebut, tentu tetap tidak etis, ketika ada orang yang ke sana kemari mengampanyekan diri sebagai keturunan rasulullah dengan motif-motif duniawi (mendapat kemuliaan dan penghormatan). Apalagi, ketika pengakuan mereka ternyata terbukti tidak benar. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait