SURABAYA, Beritalima.com|
Belakangan ini, publik tengah geger akibat mencuatnya kasus penemuan mayat tanpa kepala di Lampung. Dalam rentang bulan Agustus hingga pertengahan September saja, setidaknya sudah ada temuan empat mayat dalam kondisi nahas.
Kepolisian Daerah Lampung dan tim forensik telah menjalankan proses identifikasi. Akan tetapi, melansir dari laman Metro TV, Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Umi Fadilah mengaku proses identifikasi berjalan cukup alot. Hal itu karena mayat tidak saja dalam kondisi tanpa kepala, tetapi juga dalam kondisi tanpa tangan dan kaki.
Menanggapi kasus tersebut, Ahli Forensik Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr dr Ahmad Yudianto, SpFM(K), SH, MKes, angkat suara. Ia mengatakan, kepala, tangan, dan kaki merupakan bagian tubuh yang vital dalam proses identifikasi mayat. Pasalnya, hal itu berkaitan dengan prosedur identifikasi primer melalui sidik jari dan gigi.
“Proses identifikasi itu bisa melalui sidik jari, pemeriksaan gigi, dan melalui analisis DNA. Sidik jari ini kan dari tangan, kalau tidak ada tangan berarti tidak bisa mengidentifikasi sidik jari. Demikian juga dengan kepala, kalau tidak ada kepala kita tidak bisa melakukan pemeriksaan gigi,” ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Unair itu.
Prosedur Identifikasi
Lebih lanjut, Prof Yudi menuturkan bahwa dalam proses identifikasi, terdapat lima metode yang dapat digunakan. Metode tersebut terbagi menjadi metode primer dan sekunder. Metode primer antara lain adalah identifikasi sidik jari, pemeriksaan gigi, dan analisis Deoxyribo Nucleic Acid (DNA).
“Jadi, dalam prosedur identifikasi itu ada lima metode. Pertama melalui sidik jari, kemudian pemeriksaan gigi, dan analisis DNA. Ketiga metode ini adalah metode primer yang sistemnya mencocokkan jenazah dengan data ketika masih hidup,” terangnya.
Sementara itu, jenis metode lainnya yakni metode sekunder yang meliputi identifikasi properti dan medis. Metode sekunder ini cenderung berbeda dengan metode primer, utamanya dalam hal pembanding.
“Metode properti dan medis ini berbeda dengan metode primer. Kalau metode primer, satu saja sudah match, maka bisa itu bisa saja sudah teridentifikasi. Sementara kalau sekunder, harus ada dua pembanding dulu,” imbuhnya.
Tingkat Akurasi
Kemudian, dari dua metode tersebut, Prof Yudi menyebut bahwa tingkat akurasi terbaik adalah melalui pemeriksaan sidik jari dan gigi. Sedangkan, akurasi identifikasi melalui analisis DNA hanya mencapai 99,99 persen.
Kendati demikian, dalam kasus penemuan mayat tanpa kepala ini, ahli forensik tidak dapat menerapkan metode sidik jari dan gigi. Karena itu, metode analisis DNA menjadi pilihan terakhir yang paling memungkinkan dalam proses identifikasi tersebut.
“Dalam kasus khusus seperti penemuan jasad di Lampung ini, maka metode yang paling mungkin dilakukan adalah analisis DNA. Nah, DNA ini adalah pembanding terakhir, pembandingnya bisa dari orang tua maupun anak-anaknya,” tutur Ketua Departemen Prodi Kedokteran Forensik dan Studi Medikolegal FK Unair itu.
Langkah Tepat
Saat ini, pihak berwajib telah menerapkan identifikasi melalui analisis DNA dan pembukaan hotline. Hotline tersebut berfungsi untuk menjadi sarana pelaporan apabila terdapat keluarga yang kehilangan anggotanya.
Pembukaan hotline harapannya dapat membantu proses pencocokan identifikasi jenazah melalui analisis DNA. Terkait dengan hal tersebut, Prof Yudi menilai bahwa pihak berwajib telah mengambil langkah yang tepat.
“Saya rasa sudah tepat, apalagi itu menjadi alternatif terakhir. Kenapa hotline? karena untuk mencocokkan DNA itu butuh pembanding, pembandingnya itu bisa dari orang tua, bisa dari saudara kandung, anak. Sehingga, harapannya nanti kalau ada orang yang mencari keluarga hilang itu bisa jadi pembandingnya,” pungkasnya. (Yuk)