SURABAYA, Beritalima.com-
Komisi B DPRD kota Surabaya menggelar rapat koordinasi terkait tunggakan dan denda bunga di bank Benta diruang rapat komisi B.
Melalui mediasi pertemuan yang di fasilitasi oleh DPRD Kota Surabaya Komisi B yang diketuai oleh H. Mohammad Faridz Afif, S.I.P., M.A.P. berharap melalui hearing ini bisa ada titik temu antara Nasabah dan Bank Benta.
Ketua Komisi B DPRD Kota Surabaya H. Mohammad Faridz Afif S.I.P, M.A.P. mengimbau para nasabah yang merasa dirugikan oleh Bank Benta untuk bersatu dan melaporkan kasus mereka.
Bank ini dianggap membebani nasabah dengan bunga yang berlipat ganda, sehingga pinjaman yang awalnya Rp125 juta—ketika telah dicicil hingga 25% ternyata setelah sekian lama membengkak menjadi Rp. 1,1 miliar.
Ini dinilai tidak masuk akal dan ada indikasi menindas warga Surabaya.
“Masalahnya, nasabah berdomisili di Surabaya, mereka meminjam di Bank Benta yang berlokasi di Sidoarjo. Jika semakin banyak nasabah yang dirugikan, pihak DPRD akan mengajukan pengaduan ke Bank Indonesia, termasuk rekomendasi penutupan Bank Benta. Kami menilai kalkulasi bunga yang diterapkan bank tersebut tidak sesuai dengan standar perbankan,” katanya. Senin (11/11/2024).
Ketua komisi B mengaku ketika dirinya minta konfirmasi, OJK menyatakan bahwa pagu bunga pinjaman belum diatur, dan kebijakan bunga adalah kewenangan masing-masing bank.
“Kami di dewan terus terang mengkritik kurangnya aturan terkait pagu bunga maksimal, terutama bagi bank resmi, berbeda dari pinjaman online. Kami menyampaikan pendapat bahwa bunga seharusnya bisa dihentikan ketika ada ditemukan pinjaman kredit yang macet lebih dari tiga tahun,” lanjut Faridz
Pada korban lain dari bank Benta, yang dikeluhkan adalah penyitaan aset nasabah oleh Bank Benta setelah tunggakan mencapai Rp1,1 miliar.
Nasabah sebenarnya ingin melunasi pokok pinjaman sebesar Rp 200 juta, namun permohonan tersebut ditolak oleh pihak bank.
Komisi B mencurigai adanya upaya kesengajaan dari pihak bank untuk mempersulit niat baik nasabah agar aset dapat dilelang, termasuk rumah nasabah di kawasan Manukan, Surabaya Barat yang kabarnya telah dijual meskipun putusan pengadilan belum keluar.
Komisi B mendesak para nasabah yang merasa dirugikan untuk melaporkan masalah ini agar bisa dikawal bersama ke OJK dan, bila perlu, ke OJK pusat.
“Komitmen kami di Dewan akan terus memperjuangkan hak-hak nasabah Bank Benta dan memastikan kasus ini diawasi secara ketat,” tutup Faridz.
Sementara itu Kuasa hukum Zainal Abidin, Bambang Wicaksono mengajukan keluhan atas perlakuan yang dianggap sewenang-wenang dari Bank Benta.
Kliennya, nasabah sejak tahun 2016, meminjam Rp 125 juta namun gagal melunasinya. Pada 2021, Bank Benta mengirim surat yang menyatakan pokok utang tersisa Rp 94 juta, dengan bunga Rp70 juta, namun denda mencapai Rp800 juta lebih.
Denda yang sangat tinggi ini, menurut Bambang, disebabkan karena pinjaman tersebut dibiarkan tanpa penyelesaian selama lebih dari lima tahun.
“Menurut keterangan lisan dari OJK, kredit macet hanya dapat dikenai bunga atau denda selama 270 hari. Setelah periode itu, pihak bank seharusnya melaporkan kredit sebagai macet dan tidak lagi menambahkan beban bunga atau denda. Dengan demikian, jika aturan ini diterapkan, denda kliennya tidak akan mencapai angka yang fantastis, dan aset yang dilelang akan cukup untuk menutupi utang tersebut,” kata Bambang.
Bambang juga menyoroti praktik Bank Benta dalam menghitung Hak Tanggungan (HT), yang mencapai 10 kali lipat dari nilai utang pokok. Di bank lain, HT biasanya hanya 125 persen dari pokok pinjaman.
“Kuasa hukum mempertanyakan peran pengawasan OJK, yang seharusnya melindungi hak nasabah,” tukasnya.
Menurutnya, OJK perlu memastikan bank tidak memberlakukan denda kredit macet yang berlebihan seperti ini. Bambang menyerukan tindakan agar kasus serupa tidak terulang dan meminta kepastian agar masyarakat Surabaya, yang menjadi korban praktik Bank Benta, tidak dirugikan oleh sistem perbankan yang sewenang-wenang ini.(Yul)