beritalima.com | Badan dunia WHO dan Kementerian Kesehatan Indonesia dan berbagai lembaga lain sudah mengingatkan adanya dampak negatif dari wabah virus corona, yaitu menurunnya kesehatan mental masyarakat.
Petunjuk untuk mengatasinya juga sudah disebar di berbagai media.
WHO sebelum ada COVID-19 sudah lama memiliki keprihatinan pada kesehatan mental. Melalui websitenya WHO mengidentifikasi beberapa tantangan berikut ini:
• Depresi menyebabkan kerugian sebesar 1 triliun dolar per tahun secara global, karena
depresi mengurangi produktivitas dan gangguan kesehatan.
• Dari seluruh anggaran kesehatan, kebanyakan pemerintah di berbagai negara hanya
mengalokasikan 3% saja untuk kesehatan mental masyarakatnya.
• 300 juta orang di seluruh dunia menderita depresi. Depresi merusak kesehatan,
produktivitas, dan relationships.
• Setiap 1 dolar yang dikeluarkan pemerintah sebuah negeri untuk menangani depresi di masyarakat akan menghasilkan 4 dolar, karena kesehatan dan kemampuan bekerja masyarakat yang membaik. Pemerintah pun menghemat uang dalam penyelenggaraan layanan kesehatan dan kesejahteraan.
• Meski depresi bisa diobati dengan relatif mudah, namun di banyak negara, hanya 10%
penderita depresi yang ditangani dengan baik. Penyebabnya antara lain, pengetahuan
kesehatan yang rendah, dan stigma sosial pada penderita mental disorder ini.
• Penderita depresi bisa saja tetap bekerja atau belajar di sekolah, dan bahkan melakukan
aktivitas sosial lainnya, namun dengan kualitas yang terbatas.
• Depresi meningkatkan risiko terkena diabetes dan sakit jantung. Namun diabetes dan sakit
jantung juga meningkatkan risiko terkena depresi.
https://www.sciencemediacentre.org/covid-19-can-we-prevent-a-mental-health-crisis/ )
https://covid19.go.id/storage/app/media/Protokol/Psikologi%20Covid-ACC%20OK.pdf )
https://facebook.com/membangunpositivity
https://membangunpositivity.com
Apa yang dikuatirkan dari stres dan depresi?
Bagi mereka yang bergerak di bidang SDM, turunnya produktivitas tentu adalah sebuah masalah
yang serius, apalagi bagi sebuah organisasi, lembaga atau perusahaan. Stres dan depresi bisa
menurunkan fungsi otak, sehingga prestasi kerja, kemampuan belajar, inovasi, kreatifitas,
kemampuan memberi solusi menjadi menurun. Bahkan kesehatan tubuh pun menurun.
Secara umum itu kita sebut sebagai produktivitas yang menurun. Jika produktivitas jutaan orang di sebuah negeri menurun, maka itu adalah sebuah persoalan yang serius.
Bagi individu yang peduli dengan prestasinya, tentu menurunnya fungsi otak adalah sebuah masalah serius. Kita tentu tak mau, kemampuan kita dalam memberi solusi menurun, kemampuan belajar kita menurun, kreativitas atau inovasi menurun. Meski terkurung #DiRumahAja, kita ingin tetap bersinar, produktif dan berprestasi, bertubuh sehat dan tetap menjadi orang baik.
Lalu bagaimana caranya untuk menurunkan tingkat stres dan depresi? Adakah cara yang ilmiah atau sudah terbukti melalui penelitian? Bahkan adakah cara yang mudah, tidak berbelit-belit?
Ada!
Neuroscience atau positive psychology telah melakukan berbagai penelitian sekitar 3 dekade
terakhir ini untuk mencari tahu bagaimana cara untuk mengeluarkan potensi positif yang kita miliki atau memaksimalkan fungsi otak. Hasil-hasil penelitian itu sudah ditulis dalam bentuk buku atau artikel ilmiah yang tersebar di berbagai media. Bahkan ada juga yang dalam bentuk video.
Mereka mendisain berbagai tips yang mudah untuk diaplikasikan oleh siapa saja dan menghasilkan
perubahan yang besar. Memaksimalkan fungsi otak saat ini bisa dilakukan oleh siapa pun dan
memperoleh hasil hanya dalam hitungan hari. Saat fungsi otak meningkat, maka saat itu pula
berbagai potensi positif yang kita miliki pun meningkat. Dan secara otomatis pun tingkat stres dan depresi pun menurun.
Ini kabar baiknya:
Sejak tahun 2015 sudah ada Facebook Page yang rajin membuat ringkasan dari hasil-hasil penelitian itu. Jumlah tulisannya sudah ratusan dan puluhan video
(https://facebook.com/membangunpositivity dan https://membangunpositivity.com ). Bahkan
sebagian dalam bentuk tips yang praktis dan tentu mudah diaplikasikan. Jadi kita tak perlu mencari dan membaca tulisan atau buku, juga video hasil penelitian neuroscience atau positive psychology itu.
Semoga berguna.
M. Jojo Rahardjo