JAKARTA, Beritalima.com– Banyak pihak memprediksi pandemi tidak bakal usai sehingga perilaku normalitas baru diantaranya adalah menerima virus Corona (Covid-19) berada di tengah-tengah masyarakat.
“Jadi, yang perlu terus dilakukan umat manusia adalah kewaspadaan dan menyiapkan anti-virus yang terus berkembang membentengi populasi,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Endy Kurniawan, Senin (22/2).
Vaksin Covid-19 misalnya, kata Endy, harus disuntikkan enam, sembilan atau dua belas bulan sekali, tergantung kekuatan dan keampuhannya. Vaksin pun mesti dikembangkan kemampuannya agar bisa melawan virus-virus baru yang terus bermutasi.
“Karena itu, setelah pandemi, situasi new normal akan sebagiannya bertahan, sebagiannya akan kembali ke situasi sebelum pandemi,” kata dia.
Menurut Endy, Covid-19 kemungkinan akan memiliki efek permanen pada cara manusia bekerja dan berinteraksi. Cara hidup, bersosialisasi dan bergerak juga berbeda.
Michael Banissy, Profesor Psikologi di Goldsmith, Universitas London memperkirakan, manusia akan lebih terbuka terhadap penggunaan teknologi dan robotika sosial, dikutip dari BBC.
“Tidak diragukan lagi akan ada banyak norma sosial baru, tetapi yang kita yakini, manusia adalah makhluk yang cenderung ingin bersosialisasi, berkumpul dan membicarakan banyak hal, ” kata Banissy.
Hal yang diprediksi akan bertahan setelah pandemi usai mengenai cara kerja, konsumsi kebutuhan internet, operasional kantor, pola belanja dan transaksi, serta mengkonsumsi media.
Mengenai cara kerja, pandemi Covid memaksa karyawan dan pengusaha mengelola tugas, target dan timnya dari rumah atau work from home (WFH).
Ketika perusahaan mengukur dampak WFH terhadap produktifitas kerja tak terjadi penurunan, maka HRD akan menimbang perlunya karyawan untuk tetap bekerja di kantor setelah situasi pulih.
“Optimalkan kerja di rumah, kurangi ke kantor. Tunjangan transportasi turun, biaya operasional turun, karyawan lebih banyak waktu bekerja dan untuk keluarga, daripada habis waktu di jalan yang sia-sia,” kata dia.
Mengenai komunikasi internet yang dulu pelengkap dan barang luksuri, saat ini makin nyata menjadi utilitas dan semestinya digunakan dengan pantas karena faktor fungsionalitas.
Sebab, koneksi digital bukan lagi solusi alternatif, melainkan mandatori. Covid-19, akan menjadi akselerator implementasi digital di Indonesia.
“Wabah ini telah memaksa-menjadi push faktor-memicu percepatan adopsi dan transformasi digital baik oleh konsumen (pengguna) maupun produsen (penyedia jasa),” ujar dia.
Mengenai operasional kantor, lanjut Endy, terjadi periode stagnan karena bisnis melamban membuat perusahaan lebih punya waktu mengevaluasi diri.
Tentunya kondisi sekarang akan membuat perusahaan melakukan akan mengevaluasi beberapa hal seperti masih perlukah ruang kerja dan sarana kerja seperti saat ini?
Tidakkah lebih efisien bagi perusahaan untuk menghemat tunjangan transportasi pada karyawan dan mengalihkan sekian persen tertentu untuk menjadi tunjangan komunikasi dan internet?
“Bukankah karyawan menjadi lebih optimal dalam mengatur ‘work-life balance’ sehingga membuatnya lebih produktif dalam bekerja? ” papar dia.
Adapun mengenai pola belanja dan transaksi belanja e-commerce yang semula hanya didominasi produk fesyen, travel, elektronik atau hiburan seperti sekarang ini akan dipenuhi juga ‘basic products’ meliputi juga produk-produk kesehatan.
“Apapun yang mengurangi kontak fisik antara penjual dan pembeli, makin berlipat nilai transaksinya. Cara transaksi tak hanya didominasi pengalaman belanja standar pilih-bayar-antar tapi akan masuk ke pemanfaatan virtual reality, augmented reality serta big data,” papar.
Terakhir cara mengkonsumsi media, dimana berbagi bahan pelajaran dan belajar jarak jauh, layanan medis dan farmasi, IP TV dan siaran langsung berbasis internet (broadcasting and streaming) bertemu momentumnya karena ‘dipaksa’ wabah.
Endy juga menyebut, aplikasi remote working seperti Zoom, Slack, Google Classroom, Hangout, telemedis untuk layanan kesehatan (beberapa tersedia di Indonesia.
Seperti Halodoc atau Alodokter), Massive Open Online Course (MOOC) seperti yang disediakan Coursera dan Udemi, dan e-learning termasuk yang disediakan Universitas Terbuka akan jadi kebutuhan utama.
“Aplikasi-aplikasi itu akan bertemu critical-mass dan meledak jumlah penggunanya,” pungkas Endy Kurniawan. (akhir)