Gelora Prihatin, Mahfuz: Pembelahan Sudah Mengarah ke Konflik Umat Islam vs Negara

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Sekjen Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia. Mahfuz Sidik prihatin atas terjadinya perkembangan pembelahan politik dan sosial yang terjadi di tanah air belakangan ini karena sudah mengarah kepada konflik Umat Islam versus Negara.

Ini terjadi akibat kasus penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), penetapan tersangka Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS) dan lima pimpinan FPI lainnya dalam aksi kerumunan massa di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

“Ummat Islam (baca: kelompok, red) janganlah dikorbankan sebagai tumbal dari permainan politik kekuasaan. Pilkada dan Pilpres sudah selesai, tapi pembelahan bereskalasi menjadi konflik horizontal dan (mengarah) vertikal,” ungkap Mahfuz Sidik dalam keterangan pers yang diterima awak media, Jumat (11/12) pagi.

Menurut Mahfuz, situasi pembelahan politik dan sosial mulai terjadi sejak Pilpres 2014, kemudian berlanjut ke Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, serta kembali menguat setelah kepulangan HRS dari Saudi Arabia serta semakin menggelinding menjadi ‘bola salju’.

“Pembelahan ini adalah peristiwa politik yang melibatkan aktor-aktor politik partai. Negara menjadi aktor ikutan ketika pembelahan terus berlanjut setelah pemilu usai dan pemerintahan baru terbentuk,” ujar politisi senior tersebut.

Jika ada faktor geopolitik global dan kawasan, khususnya perang supremasi antara AS dengan China, yang mempengaruhi konflik pembelahan politik dan sosial itu faktor eksternal dan itu tidak akan berpengaruh banyak. Hal Itu bisa dihindari bila aktor-aktor kekuatan politik nasional dan sipil menyadari betul ada pihak kekuatan luar yang ingin agar aktor-aktor politik dan sipil Indonesia menjadi proxy war atau perang mereka.

“Sekarang, pembelahan tersebut seolah menjelma menjadi konflik masyarakat sipil (baca: kelompok Umat Islam, red) versus Negara. Apakah kita akan menarik mundur jarum sejarah bangsa ini ke era Orde Baru saat kita alami situasi yang disebut: Islam versus Negara,” papar mantan Ketua Komisi I DPR RI tersebut.

Karena itu, kata Mahfuz, Partai Gelora Indonesia mendesak agar negara tidak menjadikan Umat Islam menjadi tumbal permainan politik kekuasaan. Sebab, jika pembelahan terus berlanjut dan membesar, dikuatirkan akan mengarah pada konflik horizontal dan vertikal.

“Ratusan nyawa hilang saat Pilpres lalu, dan sekarang 6 nyawa hilang paksa seusai Pilpres yang sudah setahun. Jika kita tidak ingin krisis eksistensi seperti dialami Suriah, Libia dan Irak dialami negara tercinta ini, tidak boleh ada satupun pihak (aktor politik, aktor sipil maupun aktor negara, red) yang mengambil posisi superior dan mengedepankan hard-power,” tegas dia.

Mahfuz mengingatkan, Pancasila telah menyediakan budaya serta mekanisme musyawarah dan demokrasi, kemanusiaan dan keadilan. “Jadi rakyat hakikatnya adalah entitas yang harus dirawat. Dan, pemimpin atau penguasa kewajibannya adalah merawat entitas itu. Jikapun penegakan hukum harus dilakukan dalam rangka merawat kebaikan bersama (mashlahat ammah, red), hukum harus ditegakkan dengan adil, manusiawi dan demokratis.”

Kehadiran FPI, GNPF, 212 dan lain-lain, menurut Mahfuz, adalah bagian dari rakyat yang termobilisasi dalam proses politik pemilu dan proses permainan politik kekuasaan. “Mereka tidak pernah menang dalam pemilu karena mereka bukan parpol atau pasangan calon. Namun, mereka akhirnya harus terus membayar semua biaya dan konsekuensinya,” kata dia.

Padahal, lanjut Mahfuz, mereka adalah bagian dari komponen bangsa Indonesia, yang sangat mungkin membangun kesadaran dan pemahaman bersama bahwa negara sedang menghadapi krisis multidimensi sebagaimana dialami dunia secara keseluruhan.

Bahkan Indonesia juga sedang menghadapi gelombang dari perang supremasi kekuatan-kekuatan global yang mengancam eksistensi Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI). “Kita sebabagi negara tidak boleh kalah apalagi hancur. Meminjam istilah Presiden Jokowi, Indonesia harus bisa membajak situasi krisis untuk melakukan lompatan besar menjadi kekuatan dunia baru,” demikian Mahfuz Sidik. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait