Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
KOTA Surabaya digoncang “gempa polemik” sejak awal November 2019. Sampai pertengahan bulan ini goncangannya masih terasa. Akibat gempa itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa berselisih paham dengan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.
”Pusat gempanya” berada di Surabaya Barat. Tepatnya di Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Tomo yang disingkat GBT di Benowo, Kota Surabaya, Jawa Timur.
Getaran “gempa polemik” itu terjadi di mediamassa dan meluas ke media sosial (medsos). Penyebabnya gara-gara GBT ditetapkan menjadi salah satu lapangan tempat bertanding (venue) sepakbola Piala Dunia Usia-20 tahun (U-20) pada tahun 2021 nanti.
Untuk menetapkan GBT dan sembilan stadion olahraga lainnya, di Indonesia, karena Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Prosesnya, cukup berat dan tidak mudah. Perjuangan para pegiat sepakbola Indonesia cukup gigih, karena ini menyangkut harkat dan martabat bangsa.
Delegasi Indonesia bersaing ketat mengalahkan dua negara di Amerika Selatan, yakni: Brasil dan Peru. dalam rapat dewan federasi sepakbola dunia FIFA di Shanghai, China, 24 Oktober 2019.
Delegasi PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dalam sidang itu mampu meyakinkan anggota FIFA, dengan menunjukkan beberapa stadion sepakbola di Indonesia yang berstandar internasional. Ada10 stadion sepakbola yang disampaikan kepada FIFA yang siap jadi venue untuk menggelar pertandingan Piala Dunia U-20 di tahun 2021.
Venue tersebut adalah Stadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Pakansari (Bogor), Stadion Patriot (Bekasi), Stadion Wibawa Mukti (Cikarang), Stadion Gelora Bandung Lautan Api (Bandung), Stadion Si Jalak Harupat (Soreang), Stadion Manahan (Solo), Stadion Mandala Krida (Jogjakarta), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya), dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Gianyar, Bali).
Sebelum mengajukan ke 10 stadion itu ke FIFA, PSSI pusat bersama PSSI di daerah sudah melihat dari dekat keadaan dan kondisi stadion-stadion yang diajukan, termasuk GBT di Surabaya. Dari hasil penilaian PSSI yang selama ini juga sudah sering menggunakan stadion-stadion itu untuk pertandingan tingkat lokal dan regional, akhirnya Dewan FIFA memberi persetujuan.
Untuk mengajukan GBT sebagai salah satu stadion, beberapa kali tim PSSI mendatangi Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Dalam pertemuan itu, disebutkan berbagai ketentuan dan standar internasional. Karena masih ada tenggang waktu menjelang tahun 2021, Risma – panggilan Tri Rismaharini – menyanggupi memenuhi segala kekurangan. Di antaranya, sarana lalulintas dan infrastruktur menuju ke GBT, lapangan untuk latihan, lampu-lampu penerangan dan sebagainya.
Berdasarkan itulah, akhirnya GBT bersama sembilan stadion lainnya juga mempersiapkan semua persyaratan yang ditetapkan FIFA.
Saat ini Risma memang sedang “naik daun”, dengan jabatannya sebagai Presiden UCLG-ASPAC (United Cities Local Governments-Asia Pacific), yakni komandan para walikota dan kepala daerah se Asia-Pasifik. Dengan ditetapkannya Surabaya sebagai salah satu venue Piala Dunia U-20, nama Risma tambah melejit di “panggung baru” nya di dunia sepakbola.
Peristiwa ini mendapat sambutan dari para Bonekmania – supporter Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya).
Sadar atau tidak sadar, wartawan yang berada di gedung negara Grahadi, meminta komentar Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, tentang ditetapkannya GBT sebagai salah satu stadion untuk pertandingan piala dunia U-20 itu. Awalnya, Khofifah menyambut baik dan bangga atas penunjukan Surabaya itu.
Namun ada pertanyaan “miring” dari seorang wartawan, yang nadanya kira-kira begini: “tetapi apakah layak menurut ibu stadion GBT yang beraroma sampah itu?”. Tak dinyana, Khofifah tersentak.
Gubernur perempuan pertama di Provinsi Jawa Timur yang lahir dan besar di Kota Surabaya ini, tidak segera menjawab pertanyaan itu. Khofifah bak menerawang membayangkan suasana dan cakrawala di sekitar GBT.
Memang kawasan GBT dibangun, bertetangga dengan lahan penimbunan sampah yang disebut TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah di Benowo, Surabaya Barat.
Setelah itu, kemudian berkembanglah pemberitaan, bahwa Khofifah ingin membuat alternatif, “memindahkan” ke lapangan sepakbola lain di Jawa Timur. Di antaranya, disebut Gelora Delta Sidoarjo, Kanjuruhan di Malang, Surajaya di Lamongan, dan satu lagi di Madura.
Pernyataan Khofifah yang tersiar di mediamassa itu, mendapat reaksi dan komentar beragam di media sosial. Anehnya, yang menanggapi ungkapan Khofifah itu adalah staf Dispora (Dinas Pemuda dan Olahraga) kota Surabaya, serta para pendukung Persebaya yang bernama Bonek, di samping puluhan lainnya di medsos.
Mereka semua satu irama menyatakan “GBT tidak beraroma sampah”. Sudah beratus kali pertandingan sepakbola tingkat lokal dan nasional, bahkan uji-coba dengan kesebelasan luar negeri, tidak ada masalah. Pertandingan berjalan lancar dan penonton membludak, ujar mereka.
Selain Dispora selaku pengelola GBT, pihak Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) Kota Surabaya juga memberi tanggapan. Para pejabat yang sudah berulangkali membuat prestasi, menjadikan Surabaya memperoleh predikat Kota Adipura Kencana sejak zaman Orde Baru itu serentak membantah.
Silih berganti mereka nenyatakan, sebelum dibawa ke TPA, sampah itu sudah diolah di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di berbagai tempat di tingkat kelurahan.
Justru, saat ini Surabaya jadi percontohan nasional. Sampah di TPA Benowo, Surabaya itu, sekarang mampu menghasilkan listrik. Sampah itu berubah menjadi sumber energi baru terbarukan.. PLTSa (Pembangkit ListrikTenaga Sampah) Surabaya juga diikuti 12 kota lain di Indonesia.
PLTSa berbasis biomassa memang sedang digalakkan. Berdasarkan Perpres No.35/2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan, empat dari 12 PLTSa itu sudah beroperasi tahun ini. PLTSa Surabaya tahap pertama yang menghasilkan daya 10 MW merupakan pionir.
Kendati Risma, sebagai walikota Surabaya, kuasa pemilik dan pengelola GBT, hanya diam. Diamnya, Risma itu membuat polemik di media tambah tajam. Apalagi di medsos. Bahkan ada narasumber yang berpredikat “pakar dan ahli” menggunakan kesempatan cari popularitas. Persoalan GBT yang sebenarnya merupakan ranah PSSI dan FIFA menular jadi penyakit “adudomba”.
Pernyataan Khofifah diberi bumbu pedas, mulai level menengah sampai super. Tidak hanya pedas, tetapi juga menjadi panas dan melebar ke berbagai masalah.
Salah satu di antaranya, “tukang kompor” berjuluk Pakar Politik Universitas Trunojoyo, Muchtar W.Oetomo, menuding Khofifah mulai melakukan ekspansi electoral. Khofifah yang tidak popular di dunia sepakbola sedang berusaha “merebut panggung” Risma yang sudah melekat dengan Bonek, menjadi bunda para supporter Persebaya.
Perhelatan Piala Dunia U-20 merupakan panggung yang cukup besar bagi semua pihak. Pamornya tak lagi berbicara di tingkat lokal, tapi internasional, ujar Direktur Surabaya Survey Center ini.
Melihat permasalahan sudah menyeruak ke ranah lain, Menpora Zainudin Amali mengimbau agar masyarakat tidak mempertentangkan argumen Gubernur Khofifah dengan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini terkait kelayakan Stadion GBT. Zainudin mengajak kedua srikandi ini duduk bersama menjernihkan pikiran.
Padahal, Zainudin Amali sebenarnya termasuk “orang yang kecewa”. Saat Menpora baru ini melakukan inspeksi mendadak (sidak), Minggu, 3 November 2019, ke GBT di Benowo, Surabaya, ternyata tidak bisa masuk. Pintu stdion megah itu terkunci. Petugas jaga tidak bisa berbuat apa-apa di hari libur itu.
Rupanya Zainudin yang masih berstatus ketua DPD Partai Golkar Jatim itu bisa memaklumi. Sebab, namanya “sidak” bersifat mendadak dan rahasia. Sehingga wajar tidak disambut dan dibukakan pintu oleh petugas GBT.
Lagi-lagi kasus ini meruncing. Digoreng menjadi kuliner politik. Seolah-olah Risma selaku walikota Surabaya yang menjadi biang kemelut. Kembali ke pokok sengkarut, membenturkan Risma dengan Khofifah. Untunglah khofifah dan Risma sama-sama sadar. Keduanya berniat untuk segera duduk bersama menghadap satu meja untuk menyamakan persepsi.
Sebenarnya tidak pantas adanya tudingan, bahwa dua “perempuan” yang sama-sama tokoh Jawa Timur ini, “berebut panggung” popularitas. Ke dua ibu ini adalah para perempuan pelopor yang belum ada tandingannya. Khofifah adalah “perempuan pertama” yang menjadi Gubernur untuk Provinsi Jawa Timur. Begitu pula dengan Tri Rismaharini, juga “perempuan pertama” yang berhasil menduduki jabatan Walikota Surabaya. Dan kita sama-sama tahu, panggung mereka berbeda