Oleh
Abid Malik
Mahasiswa Fakultas Usluhuddin Universitas Islam Negeri Sunan Kudus
Opini, beritalima.com | Indonesia saat ini tengah berada di tengah momentum demografis yang luar biasa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, generasi Z yakni mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012 menyumbang sekitar 27,94 persen dari total penduduk Indonesia, atau setara dengan hampir 75 juta jiwa. Jumlah itu menjadikan Gen Z sebagai kelompok populasi terbesar kedua setelah generasi milenial. Secara demografis, masa depan Indonesia sejatinya ada di tangan mereka. Namun, di balik potensi besar tersebut, tersimpan tantangan yang tidak kecil: bagaimana generasi muda bisa menjadi pemuda yang berdampak, bukan sekadar eksis.
Dunia Baru, Tantangan Baru
Gen Z tumbuh di tengah revolusi digital dan globalisasi informasi. Mereka terbiasa dengan kecepatan, konektivitas, dan fleksibilitas. Segala sesuatu bisa diakses dengan satu sentuhan layar. Informasi datang silih berganti, menciptakan realitas yang bergerak lebih cepat dari kemampuan sebagian besar orang untuk mencerna makna di baliknya.
Di satu sisi, generasi ini sangat adaptif dan kreatif. Mereka menguasai teknologi, mampu memanfaatkan media sosial untuk belajar, bekerja, dan berbisnis. Tapi di sisi lain, kemudahan itu membawa dampak serius: munculnya budaya instan, pencarian validasi melalui likes dan followers, serta krisis makna di tengah derasnya arus informasi. Banyak anak muda merasa sibuk dan produktif, tapi sebenarnya terjebak dalam pusaran eksistensi digital tanpa arah.
Dalam konteks sosial, fenomena ini bisa menimbulkan krisis identitas kebangsaan. Generasi muda kini lebih mengenal budaya luar ketimbang nilai-nilai lokal. Konten asing dikonsumsi setiap hari, sementara literasi tentang sejarah bangsa dan perjuangan pemuda masa lalu semakin menurun. Nasionalisme sering dianggap kuno, bahkan tidak relevan di tengah dunia yang “tanpa batas”. Padahal justru di era keterbukaan inilah rasa cinta tanah air dibutuhkan sebagai jangkar moral dan kompas nilai.
Potret Gen Z: Optimis tapi Skeptis
Survei IDN Research Institute (2024) menunjukkan fakta menarik: 59 persen Gen Z di Indonesia mengaku sangat tidak puas terhadap praktik demokrasi di Indonesia; hanya 1,7 persen yang merasa sangat puas. Di sisi lain, Katadata Insight Center (2023) menemukan 66,3 persen pemuda tetap percaya bahwa partisipasi politik dapat memengaruhi kebijakan publik. Artinya, mereka masih optimis bahwa suara mereka bisa berdampak tetapi skeptis terhadap sistem yang ada.
Kontradiksi ini memperlihatkan bahwa Gen Z bukan generasi apatis. Mereka justru kritis, tapi kecewa dengan bentuk politik formal yang ada. Data dari CSIS (2023) menegaskan, hanya 1,1 persen anak muda yang tertarik menjadi anggota partai politik. Ini bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena mereka menganggap jalur politik konvensional tidak transparan dan tidak relevan dengan idealisme mereka.
Sementara itu, pada Pemilu 2024 lalu, Gen Z dan milenial mencapai 60 persen dari total pemilih nasional, atau sekitar 114 juta suara. Angka ini membuktikan bahwa secara demografis, pemuda memiliki kekuatan politik yang sangat besar. Namun, kekuatan itu sering kali belum terkelola dengan baik. Banyak suara muda yang menguap di ruang digital, tanpa berujung pada perubahan nyata.
Tantangan Sosial dan Ekonomi
Selain persoalan identitas dan partisipasi politik, Gen Z juga menghadapi tantangan ekonomi yang tidak kalah berat. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kalangan pemuda usia 16–30 tahun mencapai 15,9 persen, jauh di atas rata-rata nasional. Situasi ini diperparah oleh ketimpangan kesempatan kerja antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta antara lulusan perguruan tinggi dengan pendidikan menengah.
Kondisi ini melahirkan paradoks baru: di satu sisi, pemuda menjadi generasi paling terdidik; di sisi lain, mereka juga generasi paling rentan kehilangan arah ekonomi. Banyak yang akhirnya beralih menjadi pekerja lepas (freelancer), pembuat konten, atau wirausaha digital. Fenomena ini sebenarnya positif jika didukung dengan ekosistem ekonomi kreatif yang kuat. Namun, tanpa fondasi nilai dan arah kebangsaan, kemandirian ekonomi bisa berubah menjadi individualisme ekstrem.
Sementara itu, tekanan sosial seperti fear of missing out (FOMO), budaya konsumtif, dan kecemasan akan masa depan turut menambah beban psikologis Gen Z. Laporan Indonesia Gen Z Report 2024 bahkan menunjukkan tren meningkatnya kecemasan sosial dan kelelahan digital (digital burnout) di kalangan anak muda. Mereka haus akan makna sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh dunia digital semata.
Nasionalisme di Era Digital
Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan nasionalisme di tengah zaman yang serba digital ini?
Jawabannya bukan dengan romantisisme masa lalu, melainkan dengan aktualisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam konteks kekinian. Sumpah Pemuda 1928 adalah simbol keberanian untuk bersatu di tengah perbedaan, simbol keberanian untuk menolak pasrah terhadap keadaan.
Generasi Z harus memahami bahwa nasionalisme bukan berarti anti-globalisasi. Justru sebaliknya, nasionalisme modern adalah kemampuan untuk tetap berakar sambil terbuka terhadap dunia. Pemuda berdampak adalah mereka yang bisa berpikir global namun bertindak lokal think globally, act locally.
Contohnya bisa dilihat dari banyak gerakan pemuda hari ini. Di berbagai daerah, lahir komunitas anak muda yang menginisiasi perubahan: gerakan lingkungan seperti Bumi Pemuda Rahayu, inisiatif literasi digital di pelosok daerah, kampanye anti-hoaks, serta inovasi wirausaha sosial yang mengangkat kearifan lokal. Mereka menggunakan media sosial bukan sekadar untuk eksistensi, tapi untuk menggerakkan solidaritas dan kesadaran sosial.
Peran Negara dan Masyarakat
Namun, potensi besar ini tidak akan tumbuh jika negara dan masyarakat tidak memberi ruang. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan pembangunan benar-benar berpihak pada penguatan kapasitas pemuda. Pendidikan, misalnya, tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga karakter, empati, dan integritas.
Sekolah dan universitas seharusnya menjadi tempat menumbuhkan semangat kebangsaan yang inklusif dan kritis. Sementara itu, lembaga pemerintah perlu membuka ruang partisipasi pemuda dalam proses perumusan kebijakan. Pemuda bukan hanya objek kebijakan, tetapi subjek perubahan.
Selain itu, media massa termasuk media digital memegang peran penting dalam membentuk narasi positif tentang pemuda. Media tidak hanya menyoroti sisi negatif generasi muda, tetapi juga memberi ruang bagi cerita inspiratif, gagasan, dan kritik konstruktif dari anak muda di berbagai daerah.
Arah Menuju Pemuda yang Berdampak
Menjadi pemuda berdampak berarti berani melampaui zona nyaman. Tidak cukup hanya aktif di dunia maya, tetapi juga hadir di dunia nyata. Tidak cukup hanya bicara perubahan, tetapi juga menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.
Kekuatan Gen Z bukan hanya pada teknologi, tetapi pada kemampuan mereka untuk berjejaring dan berkolaborasi. Generasi ini harus belajar mengubah energi digital menjadi energi sosial. Dari scrolling menjadi action, dari posting menjadi inspiring.
Pemuda berdampak adalah mereka yang mampu mengubah keresahan menjadi gerakan, kritik menjadi solusi, dan gagasan menjadi aksi. Mereka sadar bahwa nasionalisme bukan sekadar slogan, tetapi tanggung jawab moral untuk membuat bangsa ini lebih baik.
Seperti yang pernah dikatakan Bung Karno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Kalimat itu tidak kehilangan relevansinya, bahkan semakin bermakna di era sekarang. Karena satu pemuda berdampak, di era digital, bisa mengguncang lebih dari dunia dan ia bisa menggugah kesadaran jutaan jiwa.
Penutup: Menyalakan Kembali Api Sumpah Pemuda
Kini, saat dunia berubah dengan kecepatan yang sulit dibayangkan, semangat Sumpah Pemuda harus dihidupkan kembali dalam bentuk baru. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa bukan hanya semboyan, melainkan arah bagi pemuda agar tetap berpijak di bumi Indonesia sambil menatap dunia.
Tugas generasi sekarang bukan sekadar mewarisi semangat, tetapi memperbaruinya. Gen Z harus menjawab tantangan zaman dengan kreativitas, integritas, dan solidaritas. Karena menjadi pemuda yang berdampak bukan soal seberapa banyak kita dikenal, tapi seberapa besar kebaikan yang kita tinggalkan.
Pemuda adalah jantung bangsa. Selama jantung itu terus berdetak, Indonesia tidak akan kehilangan harapan.

