Jakarta, beritalima.com| – Di banyak organisasi difabel, generasi muda sering disebut sebagai motor pembaruan. Mereka diharapkan membawa semangat baru, kemampuan teknologi, dan energi untuk menjawab kebutuhan organisasi yang terus berubah. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan harapan ini tidak selalu mudah diwujudkan.
Bagi sebagian difabel netra muda, keinginan untuk aktif justru terbentur oleh aturan organisasi itu sendiri. Akses terbatas, pola pertemuan kurang relevan, serta budaya birokrasi yang kaku membuat banyak aspirasi terpendam.
Tentunya, generasi muda difabel netra menjadi penggerak inovasi. Tapi realitasnya, aturan internal dan aksesibilitas terbatas membuat mereka sulit berkontribusi penuh.
Akibatnya, potensi besar yang dimiliki anak muda difabel netra sering kali tidak terwujud maksimal. Mereka hadir, tetapi lebih sebagai pengikut daripada penggerak. Nah, agar organisasi benar-benar menjadi wadah pembaruan, beberapa langkah solutif dapat ditempuh:
Reformasi Aksesibilitas
Menyediakan format pertemuan yang inklusif: materi digital ramah pembaca layar, ruang diskusi daring, serta mekanisme partisipasi fleksibel.
Dialog Antar Generasi
Membuka forum terbuka antara pengurus senior dan anggota muda untuk menyamakan visi.
Pemanfaatan Teknologi
Mengintegrasikan aplikasi kolaborasi, media sosial, dan sistem manajemen digital agar partisipasi anak muda lebih relevan.
Mentoring Inklusif
Memberi ruang bagi anak muda untuk memimpin proyek kecil, sehingga kepercayaan diri tumbuh dan organisasi mendapat energi baru.
Mengapa isu ini penting bagi masyarakat luas? Karena inklusi bukan hanya urusan organisasi difabel, tetapi tanggung jawab bersama.
Dalam memahami difabel netra, bukan berarti tidak mampu. Dengan dukungan teknologi dan akses yang tepat, mereka bisa berkontribusi penu dalam berbagai bidang.
Karena kami sama seperti generasi muda lainnya, difabel netra memiliki ide, energi, dan kreativitas yang layak didengar.
Disini perlunya dukungan bagi kegiatan organisasi difabel dengan partisipasi atau donasi. Dengan menyediakan ruang publik yang ramah difabel (transportasi, informasi, layanan digital). Serta menghapus stigma bahwa difabel hanya penerima bantuan, padahal mereka juga pencipta solusi.
Jadi, generasi muda difabel netra bukan sekadar slogan “motor pembaruan”, tapi aset nyata mampu menghidupkan organisasi. Tantangannya adalah bagaimana organisasi berani beradaptasi, dan bagaimana masyarakat umum ikut membuka ruang.
Karena sejatinya, keberhasilan inklusi bukan hanya tentang bertahan, tetapi tentang sejauh mana kita memberi ruang bagi semua suara untuk tumbuh dan bersinergi. Tulisan ini sekaligus dalam rangka Hari Disabilitas Internasional.
Abdul Hadi, disabilitas netra dan wartawan beritalima







