Yogyakarta, beritalima.com| – KATA ‘dan’ bermakna setara, jika ditimbang. Jika kasus kepala babi yang dikirim ke Tempo terkait kekerasan terhadap jurnalistik, sedang gentong babi menyangkut pundi-pundi politik. Di Indonesia istilah “gentong babi” berkelindan dengan hilirisasi dana aspirasi.
Kedua kata yang mengandung “babi” itu, semestinya tak boleh terjadi di negeri yang sudah mengaku sebagai negara demokrasi. Apa-apa yang menyangkut “B2” memang masih rawan dibicarakan, apalagi diterjemahkan dengan gaya bebas.
Meski yang terjadi harus disikapi dengan arif. Terlalu reaktif, berarti tujuan si pengirim kepala babi sampai. Sebab Tempo dikenal dengan dapur kata-kata, yang berani dan bergengsi, sudah bisa membaca, kemana arahnya. Publik menyerahkan bacaannya kepada Tempo tidak rasa tempe.
Sementara istilah “gentong babi” merujuk pada gentong, tong, wadah yang terbuat dari kayu untuk menyimpan dan mengawetkan daging babi asin. Lebih luas, Annie Duke dalam Quit (2022), menyebut politik gentong babi sebagai penggunaan dan pengalokasian dana publik, demi mendapat keuntungan politik, dengan mengalihkan anggaran pada keperluan politik.”
Menelisik kedua kasus yang sedang “hot” itu, sebaiknya diserahkan kepada yang berwenang, sambil diikuti, apakah performa aparat penegak hukum masih tetap prima, di tengah isu revisi undang-undangnya yang didemo mahasiswa dimana-mana.
Meski lezat dan nikmat “B2” itu mahal harganya di Indonesia. Dikenal memiliki varian yang luar biasa banyaknya, cuma belum tercium aromanya, apakah sudah masuk menjadi “menu” istana.
Ingat, “babi” ada dimana-mana. Berpotensi berebut sumberdaya manusia. “Olala!”
Oleh: Agung Marsudi, Yogya 23 Maret 2025


