Oleh: Pangeran Karyonagoro
Kelompok oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai menggalang gerakan untuk membendung kemungkinan Jokowi menjadi RI 1 kembali. Gerakan itu sangat tendensius dengan dinamai “Gerakan Ganti Presiden 2019”.
Namun, sebagaimana gerakan yang dibangun oleh kubu oposisi, terutama PKS, Gerindra, dan kelompok Islam-politik pendukung 212, FPI, HTI, dan barisan pembenci lainnya, narasi yang diusung selalu berisi isu primordial yang memecah belah masyarakat.
Misalnya, soal isu “Ganti Presiden 2019” ini, mereka memainkan sentimen agama (khususnya Islam) untuk menumbangkan Presiden Jokowi. Dikatakan bahwa Indonesia harus mencari pemimpin yang bisa melindungi kepentingan ulama dan umat Islam.
Dengan pesan itu, secara tidak langsung mereka ingin mengatakan bahwa Jokowi tidak Islami, serta memusuhi ulama dan umat Islam. Kampanye seperti itu kemungkinan besar yang akan terus dimainkan hingga 2019 nanti.
Kemudian, untuk menumbangkan Presiden Jokowi itu, menurut Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera salah satunya dengan mendorong kemenangan Kepala Daerah yang tidak didukung oleh Presiden.
Atau dengan tidak langsung, maksudnya adalah meminta masyarakat untuk mendukung calon kepala daerah yang diusung oleh partai oposisi pemerintah, seperti Gerindra dan PKS, di Pilkada serentak 2018 ini.
Cara berpolitik dari pihak oposisi di atas sungguh sangat membosankan. Kritiknya selalu berbau primordial dan mengungkit-ungkit isu SARA. Selain itu juga selalu berbasis kebencian.
Hal itu, tentu saja, berbahaya bagi bangunan bangsa yang telah dirintis lebih dari setengah abad lalu. Karena narasi yang dimainkannya bertendensi untuk memecah belah bangsa dan merusak sistem ketatanegaraan.
Kemudian terkait “Gerakan Ganti Presiden 2019”, gerakan itu sebenarnya dibangun dengan semangat di atas. Meski mengaku konstitusional, namun gerakan itu sungguh tidak etis dan berpotensi melanggar aturan kampanye, karena selalu memainkan isu primordial.
Selain itu, para penggagasnya tampaknya juga tidak paham dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh bangsa ini.
Dalam prinsip demokrasi itu, setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak untuk memilih calon presiden. Kebebasan itu harusnya tanpa boleh diintervensi oleh hasutan, provokasi dan penyebaran konten negatif (black campaign) untuk menjatuhkan salah satu calon.
Dengan begitu, “Gerakan Ganti Presiden 2019” sangat jelas bersifat provokatif. Mereka menyerang tanpa etika kepada Presiden Jokowi. Juga berusaha menjatuhkan namanya dengan isu SARA yang penuh kebencian.
Untuk itu, kita sebaiknya tidak perlu hanyut terbawa dalam arus kebencian di atas. Jangan sampai kita mudah dihasut dan diadu domba terkait preferensi calon presiden. Mari kita jaga Indonesia.
(rr)