Balikpapan, Kalimantan Timur, – Beberapa sekolah di Balikpapan kini mulai bergerak untuk menerapkan gerakan literasi. Salah satunya yang paling getol adalah madrasah mungil yang terletak di tengah kota Balikpapan, yaitu Madrasah Ibitdaiyah Nahdatul Ulama atau MINU Balikpapan.
Dengan dimotori oleh kepala madrasahnya, bapak Gunanto, madrasah yang bangunannya menjulang tinggi tiga tingkat dan terletak di tengah pemukiman penduduk ini mulai menggeliat menerapkan banyak program literasi karena ingin menerapkan salah satu perintah Tuhan yang amat penting dalam kitab suci. “Dengan segala keterbatasan, kami ingin siswa-siswa kami menerapkan apa yang telah diperintahkan Allah untuk pertama kalinya kepada Nabi, yaitu membaca!” ujar Gunanto bersemangat.
Untuk itu, mulai akhir bulan September 2018 setelah pelatihan program PINTAR Tanoto Foundation terutama tentang literasi, MINU Balikpapan mulai menerapkan program gemar membaca dengan mengambil waktu-waktu khusus. Setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis, siswa masuk kelas masing-masing untuk membaca senyap selama kurang lebih 15 menit sebelum pembelajaran. Membaca senyap adalah model membaca dengan meminimalkan suara, sehingga para siswa bisa berkonsentrasi terhadap bacaan, sehingga bisa menikmati apa yang dibacanya.
“Setelah membaca senyap, anak-anak saya persilahkan bertanya kata-kata sulit yang tidak dimengerti selama membaca. Misalnya hari minggu kemarin, beberapa anak-anak bertanya arti kata strategis, masa lampau dan sebagainya,” ujar Ibu Lusi, guru kelas dua MINU (26 Desember 2018).
Sedangkan pada hari Sabtu, siswa membaca di lapangan secara massal bersama-sama juga selama 15 menit. Membaca secara massal membangkitkan semangat para siswa membaca. Mereka saling termotivasi melihat teman-temannya membaca. Setelah 15 menit membaca, tiap kelas mengirimkan satu siswa untuk menceritakan hasil bacaannya di hadapan teman-temannya.
Selain membaca senyap, pada hari Selasa, para guru juga biasa melakukan kegiatan membaca nyaring sebuah cerita yang menarik. Seperti yang pernah dilakukan oleh ibu Lusi Ambarani, secara ekpresif dia menceritakan di hadapan anak-anak kelas dua cerita Malin Kundang, kisah tentang anak yang durhaka pada orang tuanya.
“Para siswa jadi tahu bagaimana cara bercerita yang ekspresif dan menyenangkan. Beberapa siswa yang berani mencoba meniru gurunya, bercerita di depan anak-anak lain. Ini membuat mereka juga jadi tampil berani dan terlatih kemampuan komunikasinya,” ujar bu Lusi.
Untuk menunjang program-program membaca ini, tiap kelas di MINU sekarang sudah memiliki sudut atau pojok baca. Buku-buku yang diletakkan di sudut baca atau pojok baca ini ada yang berasal dari perpustakaan, ada juga yang berasal dari sumbangan orang tua siswa. “Untuk yang dari orang tua siswa, kami memperolehnya setelah memberi tahu mereka bahwa untuk gerakan membaca di madrasah, kami butuh bantuan buku secara sukarela. Di kelas saya, dari 28 orang tua siswa, 18 dari mereka telah menyumbangkan buku-buku cerita yang menarik,” terang bu Lusi.
Agar siswa semakin tertarik membaca, selain sudut baca, MINU juga telah menyiapkan tempat yang strategis untuk membaca dan menyebutnya dengan halte baca dan stasiun baca. Keduanya berbentuk seperti gazebo dan terletak di luar kelas. Sedangkan di lantai tiga, MINU membuat terminal baca.
Agar buku-buku tersebut aman dan berganti-ganti, perwakilah siswa-siswa dari kelas 4,5,6 secara bergantian bertanggung jawab terhadap buku-buku di tempat tersebut. Di antara tugas mereka adalah menjaga dan memasukkan kembali buku ke ruang kantor guru saat sekolah usai.
Menurut ibu Lusi, dampak dari kegiatan membaca ini sudah mulai kelihatan. “Anak-anak kelas dua yang saya asuh, mulai kaya dengan kosa kata. Mereka juga mampu membuat cerita dengan kalimat panjang-panjang, seperti saat saya tugaskan membuat cerita tentang bencana alam. Mereka mampu menggambar dengan baik dan bahkan diantara mereka membuat deskripsinya lebih dari 10 kalimat. Bagi saya ini perkembangan luar biasa!” ujar bu Lusi bangga.