ACEH< Beritalima.com-Tim kuasa hukum Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) menghadirkan dua saksi fakta ke persidangan gugatan terhadap Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Koordinator Tim Kuasa Hukum GeRAM Nurul Ikhsan dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa 16-08-2016 mengatakan, dua saksi fakta yang dihadirkan tersebut, yakni T Muhammad Zulfikar dan Asnawi.
“Dua saksi fakta ini kami hadirkan untuk membuktikan dasar gugatan GeRAM. Sidang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (16/8). GeRAM menggugat karena tidak masuknya nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser serta tidak masuknya mukim dalam Qanun RTRW Aceh,” ungkap Nurul Ikhsan menerangkan.
Saksi Fakta T Muhammad Zulfikar merupakan mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Aceh. Sedangkan Asnawi merupakan Imum Mukim Siem, Aceh Besar yang Sekretaris Majelis Duek Pakat Aceh Besar.
Nurul Ikhsan menjelaskan, saksi fakta Asnawi dihadirkan ke persidangan untuk memberikan keterangan terkait proses penyusunan rancangan qanun rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh.
“Mukim merupakan stake holder yang seharusnya dilibatkan dalam proses pembuatan qanun RTRW Aceh. Namun, dalam proses pembuatannya, mukim tidak pernah dilibatkan. Artinya, pembuatan qanun RTRW Aceh mengabaikan hak-hak masyarakat,” kata dia.
Demikian juga dengan saksi fakta T Muhammad Zulfikar dihadirkan untuk membuktikan bahwa pelibatan Walhi dan masyarakat dalam pembuatan qanun atau peraturan daerah tersebut sangat lemah.
“Walhi bagian dari anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Ketika saya menjabat direktur, pelibatan Walhi dalam penyusunan Qanun RTRW Aceh sangat kurang sekali,” kata dia.
Seharusnya, eksekutif dan legislatif dalam menyusun Qanun RTRW wajib memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat memberikan pendapatnya, sehingga rencana tata ruang wilayah Aceh benar-benar mengakomodir kepentingan publik.
“Termasuk Walhi yang merupakan bagian advokasi lingkungan kurang dilibatkan dalam rapat-rapat penyusunan qanun RTRW Aceh,” kata T Muhammad Zulfikar.
Sebelumnya, sejumlah sejumlah warga Aceh melalui tim kuasa hukum akan menggugat Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh terkait Qanun Aceh tentang rencana tata ruang wilayah atau RTRW.
Adapun para penggugat yakni Effendi warga Aceh Besar, Juarsyah warga Bener Meriah, Abu Kari warga Gayo Lues, Dahlan warga Kota Lhokseumawe, Kamal Faisal warga Aceh Tamiang.
Serta Muhammad Ansari Sidik warga Aceh Tenggara, Sarbunis warga Aceh Selatan, Najaruddin warga Nagan Raya, dan Farwiza warga Kota Banda Aceh.
“Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat ini, sidang sudah memasuki tahap pemeriksaan substansi gugatan. Sebelumnya, para tergugat dan penggugat pernah menjalani mediasi. Namun, mediasi gagal karena tidak ada kata sepakat para pihak,” kata Nurul Ikhsan.
Mereka menggugat karena Mendagri dianggap lalai mengawasi Pemerintah Aceh yang menetapkan Qanun RTRW tanpa mengakomodir kawasan strategis nasional di Aceh.
Sedangkan Gubernur Aceh dan Ketua DPR Aceh digugat karena mengesahkan Qanun Aceh Nomor 19 tentang RTRW Aceh tidak memasukan beberapa substansi penting yang diamanahkan dalam RTRW Nasional.
“Seperti Kawasan Ekosistem Leuser, tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh. Padahal, Kawasan Ekosistem Leuser diatur dalam RTRW Nasional dan juga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh,” kata dia.
Menurut Nurul Ikhsan mengabaikan amanat undang-undang merupakan perbuatan melawan hukum. Karena itu, penggugat sebagai warga negara mengajukan gugatan untuk mendapatkan keadilan.
“Tuntutan dalam gugatan klien kami bukanlah materi. Tapi, tuntutan dalam gugatan penggugat agar tergugat mengakomodir kawasan strategis seperti Kawasan Ekosistem Leuser dalam RTRW Aceh,” papar Nurul Ikhsan.
Seharusnya, kata dia, Mendagri membatalkan qanun RTRW Aceh karena ditetapkan tanpa mengakomodir kawasan strategis nasional seperti Kawasan Ekosistem Leuser. Tapi itu tidak, Mendagri terkesan membiarkan qanun tersebut disahkan menjadi peraturan daerah di Aceh.
“Inti gugatan ini adalah Mendagri, Gubernur Aceh dan DPR Aceh selaku penyelenggara negara telah melakukan perbuatan hukum dan tidak mematuhi aturan hukum dan amanah undang-undang terkait dengan penataan ruang dan wilayah di Aceh,” kata Nurul Ikhsan,””(**)