SAMPANG, Beritalima.com | Desakan keras terhadap aparat penegak hukum kembali mencuat terkait lambannya penanganan kasus dugaan pencabulan di Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang. Kali ini, kritik tegas datang dari Kepala Bidang (Kabid) Sarinah DPC GMNI Sampang, Nadya Hoiroh.
Nadya menyayangkan sikap aparat yang dinilai terlalu lamban, meski laporan kasus tersebut sudah cukup lama dibuat. Hingga kini, pelaku utama masih bebas tanpa adanya kepastian hukum. Menurutnya, kondisi ini tidak hanya melukai korban dan keluarganya, tetapi juga mempermalukan wajah keadilan di mata publik.
“Apakah menegakkan keadilan untuk perempuan memang harus antre dulu? Situasi ini jelas memperlihatkan lemahnya keberpihakan aparat. Polisi seolah menjadi penonton, bukan pelindung,” tegas Nadya, Senin (22/9/2025).
Ia menilai pola berulang lambannya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Sampang mempertegas bahwa korban sering kali diabaikan. Padahal, lanjut Nadya, penegak hukum seharusnya hadir dengan cepat, sigap, dan berpihak pada korban, bukan justru membiarkan pelaku berkeliaran tanpa kepastian hukum.
Nadya menambahkan, kasus di Robatal hanyalah satu contoh dari banyak persoalan serupa di Sampang. Beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak maupun perempuan sebelumnya juga berjalan lamban, bahkan ada yang berakhir tanpa kejelasan hukum. Hal ini, menurutnya, kian meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat.
“Sudah saatnya polisi berhenti memberi alasan. Korban butuh kepastian, bukan penundaan. Jika aparat terus lamban, masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan hukum hanya dianggap omong kosong,” pungkasnya.
Berdasarkan catatan lembaga pemerhati perempuan di Madura, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Sampang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya, puluhan kasus dilaporkan, namun tidak sedikit yang berlarut-larut di tingkat penyelidikan. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara aturan hukum dan implementasi di lapangan.
Aktivis perempuan di Sampang juga kerap menilai bahwa aparat penegak hukum kurang sensitif terhadap kondisi psikologis korban. Alih-alih memberikan perlindungan dan kepastian hukum, korban justru sering menanggung trauma berkepanjangan akibat lambannya proses penanganan.
Nadya menegaskan, pihaknya bersama GMNI Sampang akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Ia berharap, desakan dari berbagai elemen masyarakat dapat menjadi tekanan moral sekaligus dorongan agar kepolisian bertindak lebih tegas, cepat, dan berpihak pada korban.
“Jika aparat masih terus abai, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib korban, tetapi juga marwah keadilan di negeri ini,” tutup Nadya. (FA)






