BANYUWANGI,Beritalima.com– Di tengah gempuran gadget dan permainan modern, Gobak Sodor masih menjadi salah satu warisan budaya yang patut dijaga. Permainan tradisional asal Daerah Istimewa Yogyakarta ini tidak hanya menghadirkan keseruan, tetapi juga melatih strategi, kerja sama tim, serta kelincahan fisik pemainnya.
Gobak Sodor dimainkan oleh dua kelompok, masing-masing berisi 3 hingga 5 orang. Satu tim bertugas sebagai penjaga garis, sementara tim lawan berperan sebagai penyerang yang berusaha melewati garis penjagaan tanpa tersentuh. Jika penyerang berhasil lolos hingga sisi terakhir, timnya mendapat poin. Namun, bila tersentuh penjaga, posisi pun berganti.
Lapangan permainan biasanya berbentuk bujur sangkar yang dibagi dengan garis-garis kapur. Penjaga hanya boleh bergerak di sepanjang garis horizontal dan vertikal, sementara penyerang dituntut untuk lincah, cermat, sekaligus kompak agar bisa melewati barisan lawan.
Tak hanya hiburan, Gobak Sodor juga mengajarkan nilai kebersamaan, komunikasi, hingga sportivitas. Anak-anak yang bermain dilatih untuk menyusun strategi, mengatur langkah, serta saling percaya dengan anggota tim.
Namun, permainan tradisional seperti Gobak Sodor kini kian jarang terlihat. Modernisasi perlahan menggerusnya. Anak-anak lebih akrab dengan layar handphone Android ketimbang berlarian di tanah lapang. Hiburan rakyat pun bergeser, dari permainan komunal penuh tawa menjadi hiburan instan yang kadang jauh dari nilai budaya.
Mbah Temon (80), warga Kecamatan Cluring, Banyuwangi mengaku prihatin melihat perubahan zaman ini.
“Dulu, anak-anak desa sore-sore pasti berkumpul main gobak sodor, egrang, atau bentengan. Sekarang sudah jarang. Banyak yang lebih suka main HP atau ikut-ikutan joget ala sound horeq. Padahal kalau dulu, permainan itu bikin badan sehat, hati senang, dan anak-anak jadi akrab satu sama lain,” tuturnya.
Menurut Mbah Temon, budaya baru yang lebih banyak menonjolkan joget erotis dengan dentuman musik keras justru membuat generasi muda lupa akar tradisinya.
“Kalau tidak dilestarikan, permainan seperti gobak sodor bisa hilang. Sayang sekali kalau anak cucu kita hanya kenal game di layar, tapi tidak pernah merasakan serunya main di tanah lapang,” ujarnya.
Meski kini jarang dimainkan di era digital, sejumlah sekolah dan komunitas budaya masih melestarikan Gobak Sodor sebagai ekstrakurikuler maupun ajang lomba antarinstansi. Hal ini menjadi upaya penting agar generasi muda tetap mengenal permainan tradisional yang sarat nilai luhur ini.
Seperti terlihat di SD Negeri Tampo 2, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, suasana istirahat sekolah berubah meriah ketika sejumlah siswa tampak asyik memainkan permainan tradisional Gobak Sodor. Gelak tawa dan teriakan riang anak-anak itu seakan menghadirkan kembali nuansa permainan tempo dulu.
Subhan, salah satu wali murid yang tengah menjemput anaknya, mengaku terharu melihat pemandangan tersebut.
“Begitu lihat mereka main Gobak Sodor, saya langsung teringat masa kecil. Dulu waktu sekolah dasar, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah, permainan ini hampir setiap hari dimainkan,” ujarnya.
Gobak Sodor bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana strategi, kelincahan, dan solidaritas menjadi kunci utama dalam permainan, sebuah cermin dari kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan.(Rony//B5).






