Gombong, beritalima.com |– Bila kita bepergian ke Jawa Tengah (misalnya ke Yogyakarta) dari Jakarta dengan memilih jalur tengah atau selatan, akan melewati salah satu kota yang namanya Gombong. Sekilas kota ini yang merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Kebumen, seperti tak memiliki daya tariknya.
Namun bila menengok sejarah, baru akan menemukan peran strategis Gombong. Khususnya di era kolonial Belanda di abad ke-19. Di kota ini, ada semacam markas atau komplek militer peninggalan jaman Belanda. Jadi, saat melintas di jalan utama Gombong, ada petunjuk Benteng Van Der Wijck.
Mengapa Belanda memilih kota Gombong sebagai markas militernya? Dalam buku Ngomong Gombong, Remah Sejarah Kota 1830-1942 yang ditulis Sigit Asmodiwongso dan Salma Nusiana (2020), dikatakan dampak dari Perjanjian Gianti (1775) yang memecah dua kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta, berakibat ke sejumlah daerah lainnya, termasuk di Gombong.
Lintasan Pangeran Diponegoro
Nama Gombong yang dahulu disebut “Roma”, sempat menjadi tempat yang sering dipakai oleh Pangeran Diponegoro dalam bergerilya melawan colonial Belanda. Ketika pecah perang antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda, di Gombong terjadi sejumlah pertemupuran sengit dan dicatat dalam beberapa buku.
Mengingat perlawanan Pangeran Diponegoro yang gigih, maka salah satu strategi Belanda adalah membuat markas di Gombong. Dibangunlah sebuah benteng di daerah Bagelan yang diberi nama Cochius pada 1839. Benteng ini berfungsi ganda. Di satu sisi sebagai pusat logistik pangan karena di daerah sekitarnya subur dengan hasil pertanian. Sisi lain, fungsi benteng sebagai kekuatan pertahanan Belanda tetap dijalankan.
Perang Diponegoro yang berkecamuk antara 1825-1830 membuat Belanda menentukan sebuah kota sebagai penyangga pertahanan sekaligus tempat penyimpanaan lumbung pangan. Gombong lah yang dipilih. Karena perlawanan Pangeran Diponegoro serta para tokoh masyarakat Gombong terhadap Belanda di masa lalu, menjadikan kota ini sarat dengan sejarah perjuangan.
Konsekuensinya, sejumlah penunjang benteng dibangun disekitarnya, seperti perumahan, rumah sakit, sekolah untuk para keluaarga prajurit dan lain sebagainya. Benteng Cochius kemudian berubah nama menjadi Van der Wijck di awal abad 20.
Kehadiran prajurit Belanda dalam jumlah banyak tentunya berdampak luas bagi dinamika Gombong sebagai kota perlintasan. Perekonomian ikut bergerak. Sarana transportasi pun hadir, seperti pembuatan jalan kendaraan serta kereta. Kaum pendatang juga berdatangan, terutama warga keturunan Tionghoa.
Warisan Sejarah
Sayangnya, keberadaan kota Gombong yang sarat dengan nilai sejarah ini kurang tampak bekasnya. Saat beritalima.com berkunjung beberpa waktu lalu, tampak keberadaan Benteng Van Der Wijck beserta komplek militer disekitarnya, seperti tidak dipelihara dengan baik.
Sejumlah bangunan kuno bekas peninggalan Belanda, seperti SMP 1 dan 2, juga sudah tak menunjukkan bangunan aslinya lagi. “Saya menyayangkan perubahan bentuk banguna asli itu. Termasuk benteng yang kurang terurus. Jadi kesannya Gombong itu kumuh,” ucap Jenderal Polisi (Purn) Suroyo Bimantoro, mantan Kapolri yang asli Gombong.
Gombong memang menyimpan banyak warisan sejarah. Keluarga besar Martha Tilaar, keturunan Tionghoa, adalah salah seorang putri Gombong dimana memiliki usaha cukup sukses di bidang kosmetika dan jamu cukup dikenbal luas di Indonesia maupun luar negeri.
Keluarga Martha Tilaar masih memiliki “rumah kuno” yang dilestarikan sebagai salah satu warisan sejarah. Masyarakat bisa mengunjungi “Roemah Martha Tilaar” di Gombong dengan berbagai koleksi barang kuno masih terawat apik.
Bimantoro pernah memberikan masukan kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung, melalui Jenderal Purn Hendropriyono soal pembenahan benteng di Gombong. Kasad memang sempat meninjau kondisi benteng dan peeumahan militer yang rusak dan kosong berpuluh tahun sejak batalyon infanteri dipindahkan dari Gombong.Tetapi follow up dari kunjungan tu belum terlihat
Nasib serupa pernah beritalima.com saksikan juga di Benteng Pendem di Cilacap. Perawatannya sangat minim, sehingga terkesan benteng menjadi kumuh. Kebetulan baik Benteng Pendem maupun Van Der Wijck adalah aset dari TNI AD berada di Jawa Tengah, yang menjadi kewenangan Kodam Diponegoro.
Padahal bila aset ini terawat dengan baik, tak menutup kemungkinan menjadi perhatian bagi para wisatawan nusantara maupun mancanegara (khususnya dari Belanda), yang ingin melihat perjalanan sejarahnya di Indonesia.
Sebentar lagi akan ada pemilihan kepala daerah (Bupati) di kabupaten Kebumen. Bagi yang nanti terpilih, jangan lupa untuk mengembangkan kota Gombong, disamping daerah lainnya (m. abriyanto, wartawan beritalima.com) .