JAYAPURA – Moment puncak untuk menyuarakan kondisi rusaknya kawasan pesisir Teluk Yotefa yang didiami tiga kampung, Tobati, Engros dan Nafre akhirnya digelar. Menjadikan Dermaga Abesauw, Abepura sebagai panggung alam, menunjukkan bukti konkrit bahwa ada hal yang harus segera dipikirkan dan ada kesadaran yang harus ditumbuhkan. Teluk Yotefa kian terancam dari berbagai sisi. Tak hanya soal sampah yang menjadi hal klasik tetapi juga tingginya angka pencemaran air, udara, laju sendimentasi hingga abrasi termasuk bergesernya nilai-nilai kearifan lokal. Dari kondisi itulah sebuah ivent bertajuk Green Youtefa Performing Art (GYPA) digelar.
“Ketika kondisi lingkungan tak bersahabat, sehebat apapun kita tentu sulit melawan dampak negatif yang muncul dimana-mana. Lewat GYPA ini kami mencoba menyuarakan, melakukan protes dan menunjukkan kondisi ril apa yang sedang terjadi dan kemungkinan terjadi,” kata Ketua Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) Fredy Wanda usai pertemuan dengan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay Jumat (24/3).
Disebutkan bahwa GYPA hanya sebagai pemicu bagaimana menumbuhkan kesadaran sebab yang utama adalah merubah karakter. Teluk Youtefa tak bisa lagi menerima perlakuan yang semena-mena dari ketidakpedulian. Masyarakat kota harus memahami bahwa banyak hal yang telah diberikan oleh teluk yang awalnya disebut Youth Faa ini. Menariknya GYPA sendiri digagas oleh anak-anak muda yang memiliki visi perubahan, menggugah lewat cara dan ide kreatif dari kemampuan masing-masing yang dimiliki.
“Kami tidak terlalu kaku dengan yabg namanya panggung konvensional. Apa yang alam berikan dengan bentuk apapun itulah yang akan jadi panggung teman-teman nanti. Mereka akan mengeksplore kondisi apa saja di lapangan,” kata Iam Murda, director panggung.
Pria yang juga bekerja sebagai dosen ISBI Papua ini menjelaskan bahwa dalam tampilannya akan ada performing cerita hutan perempuan yang perlahan hilang, perlawanan peri bumi dengan raja sampah, sajian musik ansamble, teater, termasuk foto sejarah tentang teluk sendiri.
“Nantinya mama-mama dari kampung Engros juga akan ambil bagian. Mereka akan mengeluhkan kondisi hutan mereka dan semua yang dilakukan lahir secara alami. Saya cukup spechles dengan adegan ini. Kami menemukan bakat alam yang muncul begitu saja dan saya sangat kagum,” tambah Murda. Ketua LMA Port Numbay, George Awi dikediamannya mengatakan bahwa masyarakat kota tak boleh berpaling dari rusaknya Teluk Youtefa sebab teluk ini telah memberi makan ribuan orang. Dari teluk ini juga melahirkan tokoh-tokoh pejabat di Port Numbay,” tegas Awi.
Ia menyinggung soal cerita nanti dimana anak cucu harus mendapatkan kondisi hutan dan lingkungan yang lebih baik.
“Saya mau tanya apa yang kita buat untuk teluk sementara kondisinya rusak. Apa yang mau kita titipkan untuk anak cucu. Kalau kita sempat merasakan banyaknya ikan, jernihnya air mengapa kita mewariskan sesuatu yang rusak?. Saya sendiri memberi apresiasi ivent ini karena orang luar juga mau bersuara,” cecarnya.
GYPA sendiri digagas oleh FPPNG yang berkolaborasi dengan ISBI Papua serta LMA Port Numbay. Hampir 100 peserta yang akan terlibat termasuk komunitas jantung kota bahkan Tanj Monj Jayapura juga ikut ambil bagian.
“Saya yang harus melakukan perubahan itu, bukan siapa-siapa tapi dimulai dari saya,” ujar Zipora Mano pemenang Monj 2017. (Ed/Papua).