SURABAYA, beritalima.com – Greenpeace bertekad akan gagalkan proyek pembangunan listrik 35.000 MegaWatt (MW) yang digagas pemerintah Jokowi. Aktivis lingkungan tersebut mulai menghembuskan isu bahaya akibat keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) itu.
Media Officer Greenpeace Indonesia, Rahma Sofiana, ditemui beritalima.com di Surabaya menegaskan, penggunaan batubara untuk PLTU itu sangat berbahaya. Untuk itu, Greenpeace akan menghentikan proyek tersebut.
“Tapi, tidak semudah membalik telapak tangan untuk menghentikan pembangunan PLTU. Butuh tahapan edukasi, yang secara perlahan perlu dipahamkan kepada pemerintah dengan penggunaan energi terbarukan dibandingkan menggunakan batubara,” kata Rahma, Rabu (14/9/2016).
Dikemukakan, PLTU batubara banyak mengeluarkan polutan berbahaya, salah satunya PM 2,5. Menurutnya, PM 2,5 yang berukuran sangat kecil itu bisa masuk ke aliran darah serta pembuluh jantung dan sistem di jantung.
“Bisa menyebabkan penyakit pernapasan tidak hanya ISPA atau flu dan batuk saja, melainkan paru-paru kronis, kanker paru-paru, penyaklit jantung dan jantung hiskemik,” urainya.
Merujuk riset Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) dari tim peneliti Universitas Harvard dan Greenpeace Indonesia, papar Rahma, emisi PLTU batubara menyebabkan kematian 6.500 jiwa per tahun.
Apalagi PM 2,5 belum termasuk zat-zat SO2, NOx dan lain sebagianya, yang jangkauannya bisa mencapai hingga radius 500 kilometer dari sumber polusi/PLTU.
“Seperti Jakarta yang tidak ada PLTU-nya bisa terpapar dari Pelabuhan Ratu atau Sumber Adem di Purwokerto,” terangnya.
Menurut Rahma, selama ini keberadaan PLTU di Indonesia untuk menghasilkan energi listrik di masyarakat masih menggunakan batubara sebagai bahan bakunya.
Bahkan, lanjutnya, dari ekspansi 117 PLTU yang akan dibangun dan dikembangkan di Indonesia, 60% diantaranya masih memakai batubara sebagai sumber penggeraknya.
“Kami menyadari, pembangunan PLTU tidak mungkin dihentikan atau ditutup, karena menyangkut banyak faktor seperti tenaga kerja dan investasi. Tapi, hal itu bisa pelan-pelan dilakukan secara face out atau beralih ke sumber yang lebih ramah lingkungan.
Dan, Rahma mengakui telah ada upaya pemerintah untuk mengganti bahan baku fosil seperti batubara untuk PLTU dengan pemakaian energi terbarukan. Hanya saja, masih perlu ada dorongan lebih maksimal untuk meningkatkan kemampuan mengganti dengan energi terbarukan.
“Kalau melihat dari porsi, upaya pemerintah dengan menggunalan energi terbarukan masih 23 persen dari kebutuhan 35.000 MW. Ini yang perlu didorong agar prosentase pengalihan sumber energi terbarukan bisa mencapai 25 persen, dan selalu naik tiap tahunnya,” tegasnya.
Ditambahkan, upaya penggantian sumber energi untuk PLTU belum mewakili kepentingan masyarakat terhadap ketersediaan udara bersih. Jika dibandingkan dengan Myanmar dan Thailand yang sudah hampir 80% beralih dari energi fosil untuk PLTU-nya, Indonesia masih tergolong lambat.
“Seharusnya, pemerintah Indonesia bisa mencapai 80 persen mengalihkan energi fosil untuk PLTU ke energi terbarukan. Itu baru ideal. Karena, negara tetangga seperti Myanmar dan Thailand mampu mengubah kebijakan energinya dengan target 80 persen,” ingat Rahma.
Untuk itu, Greenpeace akan tetap mengkiritisi kebijakan pemerintah yang keluar dari ESDM dengan melakukan audiensi berupa pemberitahuan terkait dampak kebijakan energi fosil.
Selain itu, Greenpeace pun akan merekomendasi kebijakan pemerintah agar mengganti penggunaan batubara untuk PLTU dengan energi terbarukan. (Ganefo)
Teks Foto: Media Officer Greenpeace Indonesia, Rahma Sofiana.