SURABAYA, Beritalima.com|
Fenomena kerawanan pangan tengah menjadi perhatian banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, isu tersebut telah meningkat sejak tahun 2015 dan situasinya makin memburuk karena adanya konflik Ukraina-Rusia dan pandemi Covid-19 yang masih berlanjut.
Selain itu, praktik impor beras di Indonesia juga masih relatif tinggi. Dalam tiga tahun terakhir, tingkat impor beras terus mengalami peningkatan sebesar 5-14 persen per tahunnya. Belum lagi, pemerintah telah meniadakan subsidi pangan dan benih sehingga subsidi pupuk mengalami penurunan. Hal tersebutlah yang menjadikan food security atau ketahanan pangan sebagai isu prioritas nasional.
Persoalan di atas Prof Dr Muryani Dra Ec MSi MEMD paparkan langsung saat pengukuhan guru besar pada Rabu (25/10/2023) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C Unair.
Dalam prosesi itu, ia resmi dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga (Unair).
Program Food Estate untuk Ketahanan Pangan
Dalam pidatonya, Prof Muryani menjelaskan bahwa program food estate dapat mengatasi permasalahan ketahanan pangan. Food estate merupakan konsep pertanian berskala luas lebih dari 25 hektar yang berintegrasi dengan iptek, modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Kehadiran program food estate sebagai upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan perlu mendapat perhatian dari pemerintah mengingat dampak yang ditimbulkannya.
“Melalui pengintegrasian pembangunan ketahanan pangan dan gizi diharapkan kebutuhan pangan secara nasional maupun perseorangan dapat terpenuhi. Disebut terpenuhi bila tersedianya pangan secara cukup, memenuhi kebutuhan gizi, merata dan terjangkau, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya,” jelas dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Lingkungan itu.
Dilema antara Food Estate dan Degradasi lingkungan
Kendati demikian, Prof Muryani mengungkapkan bahwa selain berpotensi mewujudkan ketahanan pangan, program food estate juga berpotensi merusak lahan di masa depan. Hal itu karena program ini membutuhkan pembukaan lahan hutan konservasi dan gambut secara besar besaran.
Kerusakan yang timbul ini berkaitan dengan fungsi lahan gambut sebagai pengatur tata air, penyerap karbon, dan penjaga keberlangsungan keanekaragaman hayati. Sehingga, pengalihfungsian lahan gambut tersebut bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 41 persen dengan bantuan internasional.
“Kehadiran food estate memicu konsekuensi negatif cukup serius, mengingat ekosistem yang baru memusnahkan ekosistem yang lama,” ucap alumnus Australian National University itu.
Tawarkan Solusi Permasalahan Pangan
Pada akhir, Muryani menegaskan bahwa food estate merupakan program yang sangat relevan untuk mewujudkan food security sebuah negara. Meskipun berdampak buruk terhadap lingkungan, ia menawarkan tujuh solusi yang dapat meminimalisasi hal tersebut.
Pertama, revitalisasi lahan tidur. Lahan tidur merupakan sebuah area yang memiliki potensi pertanian namun terbiarkan karena tidak adanya usaha pemanfaatan di lahan tersebut. Kedua, intensifikasi lahan pertanian dengan teknologi. Ketiga, subsidi tanaman pangan yang konsisten.
Keempat, penggalakan diversifikasi pangan. Kelima, penegakkan Peraturan Perundangan Perlindungan Hutan. Keenam, pengendalian jumlah penduduk agar tuntutan kebutuhan pangan terkendali. Terakhir, pembenahan kelembagaan atau tata kelola pangan.
“Intinya, food security melalui food estate harus diupayakan tanpa memberi dampak negatif pada lingkungan. Ini bisa dilakukan dengan melakukan pengkajian strategi kebijakan yang efektif dan efisien dengan mendudukkan semua stakeholders,” tukasnya. (Yul)