JAKARTA, Beritalima.com– Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus turun tangan terkait dengan gugatan Rp 39,5 triliun dari Anadarko Petroleum Corporation kepada PT Pertamina. Pemerintah harus mencari tahu akar masalah sebenarnya sehingga muncul gugatan dari perusahaan Amerika itu terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perminyakan tersebut.
Menurut politisi senior di Komisi yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Dr H Mulyanto, kasus tersebut sangat besar dan serius sehingga perlu peran negara membantu menyelesaikan.
“Pemerintah wajib membantu Pertamina untuk berembug mencarikan solusi terkait soal gugatan dari Anadarko terkait perjanjian impor 1 juta ton (MTPA) gas per tahun dalam jangka waktu 20 tahun dari Mozambik,” kata Mulyanto kepada Beritalima.com di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (20/1).
Pertamina, kata anggota Komisi VII DPR RI itu, juga harus terbuka dan menjelaskan kepada publik soal gugatan tersebut. “Jangan ditutup-tutupi karena tuntutannya tidak main-main yakni Pertamina harus membayar kerugian sebesar Rp 39,5 triliun kepada Anadarko akibat pembatalan jual-beli LNG tersebut pada Februari 2019,” tegas Mulyanto.
Terlepas dari siapa yang salah, lanjut wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut, Pemerintah harus mengupayakan pembatalan gugatan material hampir Rp 40 triliun itu. Karena itu, Mulyanto mengingatkan Pemerintah, saat ini Negara mengalami kekurangan uang sehingga gugatan itu harus diselesaikan dengan baik. “Jangan sampai kita harus mengeluarkan kocek sebesar itu untuk sesuatu yang tidak perlu.”
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan tersebut menambahkan, gugatan ini adalah pelajaran penting agar ke depan Pemerintah lebih akurat menyusun perencanaan pertumbuhan kebutuhan energi. Jangan ada lagi salah hitung atau miss match. “Seperti kasus listrik PLN yang over supply mendekati 60%, namun nyatanya kita masih saja bangun pembangkit dengan utang PLN yang mencapai Rp 500 triliun,” jelas Mulyanto.
Perhitungan yang cermat juga perlu dilakukan dalam hal pengadaan LNG. Jangan sampai di saat produksi LNG surplus, sehingga memungkinkan ekspor, Pertamina malah mengimpor gas tersebut dalam jumlah besar. Logikanya tidak pas. Padahal transaksi berjalan perdagangan migas kita terus tekor setiap tahun. Semestinya, yang dilakukan bukanlah impor gas tetapi ekspor.
“Secara umum, strategi dasar kita adalah menggenjot lifting migas sehingga kita dapat lebih baik memenuhi kebutuhan migas dalam negeri domestik dan terus mengurangi impor migas, sehingga defisit transaksi berjalan migas dapat direduksi. “Syukur-syukur kalau bisa surplus. Bukan malah memperbesar defisit transaksi berjalan melalui impor LNG,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)