JAKARTA, Beritalima.com– ‘Perang’ diksi atau jargon antara dua kandidat calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) yang maju pada pemilu 17 April tahun depan tidak efektif menggaet suara massa mengambang atau “swing voters”
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto mengatakan hal itu dalam diskusi bertajuk ‘Perang Diksi Antar Kandidat’ di Populi Centre, Jakarta, Kamsi (15/11).
“Saya menilai, kampanye yang dilakukan kedua pasangan dalam 1,5 bulan lebih ini belum efektif menggarap swing voter atau massa mengambang karena memang mereka belum menentukan pilihannya kepada salah satu diantara kedua pasangan itu.
Gun Gun mengatakan, banyak masyarakat tidak peduli dengan pernyataan seperti politik genderuwo, politisi sontoloyo, hijrah kecuali mereka yang ada di dalam barisan pasangan calon.
Gun Gun mencontohkan pemilih yang berafiliasi pada Prabowo melihat wajah Boyolali konteksnya bukan “bullying” namun kritik sosial atas ketimpangan di masyarakat. “Lalu di kubu Jokowi menilai kata-kata hijrah itu positif, dan politik genderuwo harus dilihat isinya.”
Menurut dia, “swing voter” masih menunggu perkembangan dari pasangan calon sehingga belum tereksposur dari kedua kubu. Kecenderungannya seperti itu, meneguhkan dari awal yang berafiliasi dan berpotensi besar untuk kurangi mereka yang belum menentukan pilihan.
Dijelaskan, kedua paslon harus menampilkan program yang kontras diantara keduanya bukan justru menonjolkan gimmick-gimmick atau pemilihan diksi.
Menurut dia, gimmick atau pemilihan diksi yang berlangsung merupakan hal lumrah namun tetap basisnya program masing-masing calon. “Misalnya bagaimana keberbedaan program ekonomi Prabowo dengan Jokowi, kebijakan luar negeri, pola pengentasan ekonomi dan kemiskinan,” demikian Gun Gun Heryanto. (akhir)