SURABAYA, Beritalima.com|
Nuansa pesta demokrasi sudah mulai terasa, seiring semakin dekatnya pada Pemilihan Presiden 2024. Satu topik yang selalu menjadi perbincangan hangat adalah mekanisme presidential threshold dalam hukum Pemilu Indonesia.
Telah ada sejak Pilpres 2004, mekanisme itu mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon (paslon) presiden harus mendapatkan minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Niat dari pemberlakuan mekanisme itu adalah membatasi jumlah calon agar tidak terlalu banyak guna menghemat biaya pemilu. Namun, tak jarang presidential threshold mendapatkan kritikan karena persyaratannya membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri, dan hal tersebut bertentangan dengan fundamental demokrasi.
Guru Besar Ilmu Politik UNAIR Prof Ramlan Surbakti mengamini premis tersebut. Prof Ramlan mengatakan bahwa mekanisme tersebut sudah tidak relevan dipertahankan pasca diberlakukannya Pemilu serentak pada 2019 silam.
“Dulu masih masuk akal bahwa ada ambang batas yang ditentukan berdasarkan hasil Pemilu anggota DPR karena Pileg dilaksanakan terlebih dahulu sebelum Pilpres. Nah dalam UU Pemilu yang sekarang, Pileg dan Pilpres telah diserentakkan tapi presidential threshold ini masih ada. Dasar pengaturannya adalah hasil Pileg 5 tahun sebelumnya. Ini kan tidak ideal,” tutur mantan Ketua KPU RI itu.
Menurut Prof. Ramlan, mekanisme itu dipertahankan karena partai-partai di DPR merasa merekalah yang berhak untuk mengajukan paslon. Ia menambahkan bahwa sekalipun premis tersebut tidak salah, presidential threshold adalah mekanisme terjelek untuk menjaga hak tersebut. Seharusnya, implementasi dari hak tersebut adalah melalui praktik demokrasi internal dalam partai politik, dimana anggota partai secara internal memilih siapa yang akan diajukan jadi calon presiden.
“Di Amerika Serikat, dikenal ada yang namanya primaries. Misal Partai Demokrat ingin mengajukan calon presiden, seluruh anggota partai tersebut memilih siapa yang berhak diajukan,” ungkapnya.
Sementara di Indonesia, yang diajukan hanya bergantung pada elit partai politik saja. Partai di Indonesia punya anggota di seluruh penjuru negeri, tetapi anggotanya tidak memiliki kemampuan untuk menentukan calonnya. Sementara elit, sambungnya, enggan menggunakan mekanisme ini.
“Jadi partai kita secara internal itu tidak demokratis,” ujar alumni Northen Illonis University itu.
Lanskap itu, pada akhirnya menghasilkan pemilu yang kental akan unsur pragmatisme dan minim perbedaan visi-misi antar calon dan antar partai. Bahkan, dengan presidential threshold yang tinggi, Prof. Ramlan mengatakan bahwa seharusnya masih bisa muncul 3-5 paslon dalam Pilpres. Namun nyatanya, dua pemilu terakhir hanya memunculkan dua karena koalisi yang dibentuk partai politik hanya didasarkan pada elektabilitas calon.
“Jadi tujuannya partai politik di sini hanya satu, yaitu ingin berkuasa. Jadi tidak ada keinginan untuk memperjuangkan visi-misinya secara jelas. Jadi dengan adanya mekanisme demokrasi internal ini diharapkan partai dapat benar-benar memikirkan visi-misinya secara jelas, bukan hanya sekadar membuat koalisi yang dapat memenuhi threshold dan mengajukan calon yang tinggi elektabilitas,” tutupnya. (Yul)