SURABAYA, Beritalima.com|
Penduduk yang melakukan hijrah dari desa ke kota semakin banyak. Bahkan Suharso Monoarfa, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyampaikan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) telah memproyeksikan sebanyak 61,7 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Suharso menyebutkan bahwa angka yang diproyeksikan oleh BPS bisa menjadi lebih besar sekitar 70 persen.
Fenomena Urbanisasi
Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi, Guru Besar Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) mengatakan bahwa fenomena ini merupakan fenomena urbanisasi. Menurutnya saat ini fenomena urbanisasi tidak hanya peristiwa hijrahnya penduduk desa ke kota.
“Sebuah wilayah yang berubah menjadi perkotaan juga bisa disebut dengan urbanisasi. Jadi bukan sekedar perpindahan dari desa ke kota tapi beberapa daerah-daerah akan berubah menjadi perkotaan,” katanya.
Tren perubahan wilayah ini bisa digambarkan sebagai tangga berundak.
“Jadi tangga yang paling tinggi adalah kota besar. Dari desa ke kota kecil, kota menengah, lalu paling tinggi kota besar,” paparnya.
Tak hanya itu, Prof Bagong menerangkan bahwa saat ini sudah ada indikasi mengenai penduduk yang menjadi warga global. Hal ini terjadi akibat teknologi yang mengalami perkembangan cepat.
“Saat ini dunia sudah tidak memiliki batasan ruang dan waktu, sehingga masyarakat bisa bekerja dan tinggal dimana saja. Sekarang sudah mulai ada orang-orang yang menjadi warga global,” terangnya.
Penurunan Swasembada Pangan
Dampak yang terjadi dari hijrahnya penduduk desa ke kota akan menyebabkan daerah pedesaan kekurangan sumber daya. Salah satu sumber dayanya adalah ketersediaan bahan pangan seperti beras.
Prof Bagong menjelaskan bahwa tanda-tanda dari dampak tersebut sudah terlihat saat ini.
“Penduduk desa sekarang sudah banyak yang enggan bertani, banyak yang enggan tinggal di desa dan lahan pertanian semakin hilang berganti menjadi perumahan serta lahan bisnis,” jelasnya.
Dampak tersebut ternyata berimbas pada swasembada pangan yang mengalami penurunan. Hal ini telah dirasakan oleh masyarakat dibuktikan dengan semakin mahalnya harga beras.
“Isu harga beras sekarang semakin naik sehingga pemerintah terpaksa impor beras dari luar negeri. Ini menandakan bahwa swasembada pangan sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan,” ungkapnya.
Prof Bagong turut menyampaikan solusi yang bisa dilakukan untuk menghadapi dampak tersebut yaitu memperbaiki ekosistem sektor pertanian. Perbaikan ini memiliki tujuan untuk menjadikan sektor pertanian di desa tidak kalah menarik dibanding sektor di perkotaan.
“Harus ada perbaikan nilai tukar petani. Mau tidak mau harus ada penghargaan kepada mereka, sehingga keengganan masyarakat untuk bertani bisa dikurangi. Lalu pertanian memiliki daya tarik yang tak kalah dengan sektor di perkotaan,” pungkasnya. (Yul)