Guru Besar UNAIR Ungkap Problematika Regulasi Stunting Nasional dan Peran Perguruan Tinggi

  • Whatsapp

SURABAYA, Beritalima.com|
Masalah stunting sejak lama telah menjadi isu nasional bahkan global. Tahun 2017, pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan tingkat prevalensi stunting di Indonesia bisa turun menjadi 14 persen di tahun 2024.

Meski tingkat prevalensinya mulai menurun dari tahun ke tahun, namun penurunan tersebut terbilang tidak cukup untuk meraih target di tahun 2024.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Sri Sumarmi, S.KM., M.Si. menyebut bahwa tantangan penurunan angka prevalensi stunting salah satunya diakibatkan problematika regulasi dan data di tingkat daerah maupun pusat.

Prof. Mamik, sapaan akrabnya, menyebut bahwa ia bersama dosen maupun mahasiswa di FKM UNAIR telah sering bergerilya dalam upaya penanganan stunting di berbagai daerah. Dalam kegiatan lapangan tersebut, Prof. Mamik menemukan banyak perbedaan kontras antara data stunting nasional dengan daerah.

“Ketika daerah membuat perencanaan, yang dibutuhkan tentu datanya harus tahunan. Sementara Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar, red) hanya mengeluarkan data tiap lima tahun sekali,” jelasnya.

Perbedaan tersebut akhirnya mengganggu proses intervensi penanganan stunting yang membutuhkan data rutin, sementara data rutin dari pemerintah pusat jauh berbeda. Oleh karena itu, Prof. Mamik menyarankan pemerintah daerah untuk memakai dara rutin daerah. Namun dengan syarat, proses pengukuran dan analisis harus dilakukan dengan benar dan alat terstandar.

“Masalahnya, banyak daerah atau posyandu yang belum punya alat sesuai standar. Begitu pula dengan praktik pengukurannya yang masih seringkali tidak tepat,” imbuhnya dalam Seminar dan Forum Ilmiah Nasional Online bertajuk Kajian Ilmiah untuk Konvergensi Intervensi Spesifik dan Sensitif untuk Menuju Indonesia Bebas Stunting.

Prof. Mamik juga mengkritisi perencanaan penanganan stunting di daerah yang kebanyakan copy paste dari perencanaan tahun sebelumnya.

“Kami pernah menemui itu dan diakui sendiri oleh kepala dinasnya. Mereka hanya tinggal mengganti tahun,” cerita Prof. Mamik.

Dalam situasi tersebut, Prof. Mamik menilai perguruan tinggi dapat hadir untuk membantu pencegahan stunting sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Dari segi pendidikan, Prof. Mamik mendorong perguruan tinggi untuk memperbanyak mata kuliah atau kegiatan yang membahas isu-isu stunting. FKM UNAIR misalnya memasukkan isu stunting dalam kurikulum melalui mata kuliah Program Gizi dan Evaluasi.

Selain itu, praktik kerja lapangan maupun kuliah kerja nyata juga banyak dilakukan mahasiswa FKM UNAIR dengan menerapkan ilmu-ilmu pengukuran anak stunting seperti metode antropometri sebagai bentuk pengabdian masyarakat.

“Dosen-dosen FKM UNAIR juga sering memberikan masukan dan pendampingan. Ada 11 kabupaten yang kita dampingi saat penyusunan regulasi pencegahan stunting. Kita juga memberi pendampingan posyandu bagi 18 kabupaten di Jawa Timur,” kata Prof. Mamik.

Dalam segi penelitian, perguruan tinggi dapat berkontribusi pada intervensi spesifik dan interensi sensitif melalui penelitian berupa riset implementasi. Artinya, riset dibuat dan ditujukan untuk implementasi nyata bagi masyarakat. Hasil riset itupun nantinya dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan regulasi penanganan stunting.

Untuk itu, Prof. Mamik menekankan prinsip kolaborasi pentahelix untuk mengatasi masalah stunting di Indonesia. Prinsip sinergitas tersebut menekankan kerja sama, komitmen, kepercayaan, serta budget sharing antar institusi. (Yul)

Caption:
Ilustrasi (sumber: EndeNews)
Suasana Seminar dan Forum Ilmiah Nasional Online kerja sama Unit Kajian Kesehatan (UKAKES) FKM UNAIR dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait