Guru Honorer Difabel: Mengabdi dalam Sunyi, Menanti Janji Tak Kunjung Datang

  • Whatsapp
Guru honorer Difabel: Mengabdi dalam sunyi, menanti janji tak kunjung datang (foto: Antara)

Jakarta, beritalima.com| – Meski Hari Guru telah berlalu beberapa hari, gema perjuangan para pendidik masih terasa. Dan, di balik perayaan serta penghargaan simbolik, ada kisah luput dari perhatian publik: para guru honorer difabel yang terus mengabdi tanpa kepastian status dan kesejahteraannya.

Agus Putranto, misalnya, guru tunanetra di SLB A Yaketunis Klaten (Jateng) telah mengajar sejak 2005. Ia pernah mendapat tawaran mengajar di Jepang, namun memilih bertahan di tanah air demi mendidik anak-anak difabel. “Saya ingin membuktikan bahwa difabel bisa berkontribusi di negeri sendiri,” ujarnya, seperti dilansir Solidernews.com.

Sementara Nubuat Muhammad Maghribi, guru komputer di SLB PGRI Kota Yogyakarta, telah mengabdi 13 tahun. Ia membuka kelas privat komputer di rumahnya untuk siswa difabel, sebagai bentuk dedikasi dan upaya mencukupi kebutuhan hidup. Namun, statusnya tetap: honorer. Tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian masa depan.

Kisah Agus dan Nubuat bukanlah kasus tunggal. Banyak guru honorer difabel di Indonesia mengalami nasib serupa. Mereka menjalankan tugas sama – bahkan lebih berat – dibanding guru non-difabel. Namun, ketika bicara soal pengangkatan sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) atau PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) mereka kerap terpinggirkan.

Pemerintah memang membuka jalur rekrutmen PPPK. Namun, proses seleksinya belum inklusif menjadi hambatan tersendiri. Akses informasi terbatas, sistem digital yang tidak ramah difabel, serta minimnya akomodasi membuat banyak guru difabel kesulitan bersaing secara adil.

Sebagai penyandang disabilitas netra dan pemerhati isu pendidikan inklusif, saya memiliki beberapa pertanyaan mungkin saja mewakili suara banyak guru honorer difabel.

Mengapa pengabdian belasan tahun belum cukup untuk diangkat sebagai ASN?Mengapa kebijakan afirmatif hanya menjadi wacana tanpa implementasi nyata? Apakah inklusi hanya berlaku bagi siswa, bukan bagi para pendidik?

Pertanyaan tersebut bukan sekadar keluhan, melainkan cermin dari ketimpangan struktural yang terus dibiarkan. Saya berharap, jika pemerintah sungguh ingin mewujudkan pendidikan inklusif, maka langkah berikut perlu segera diambil, seperti pendataan nasional Guru Difabel, afirmasi dalam Rekrutmen ASN/PPPK.

Sehingga, pengabdian panjang kami harus dihargai dengan peluang yang adil. Sistem seleksi harus ramah difabel, baik dari sisi teknologi digital maupun prosedur. Guru difabel berhak atas jaminan sosial dan pengakuan hukum yang setara.

Jadi meski Hari Guru telah berlalu, publik masih berharap ada perhatian nyata dari pemerintah terhadap nasib para guru honorer difabel. Jangan biarkan momen peringatan hanya menjadi seremoni tahunan tanpa tindak lanjut konkret.

Agus dan Nubuat telah membuktikan keterbatasan fisik bukan penghalang untuk mencerdaskan bangsa. Kini, giliran negara membuktikan bahwa ia tidak buta terhadap pengabdian mereka.

Oleh: Abdul Hadi, Disabilitas Netra

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait