Jakarta — Wakil Ketua MPR RI, Jazilul Fawaid mengaku prihatin dengan ditangkapnya salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang juga sebagai Ketua Umum Partai Dakwah, karena ada dugaan keterlibatan dia dengan kelompok berpaham radikal.
”Sangat disayangkan kalau dia terpapar paham radikalisme apalagi terorisme. Padahal MUI itu seharusnya ikut dalam mencegah terjadinya paham radikalisme dan melakukan deradikalisasi, ”kata Jazilul dalam diskusi Empat Pilar ” Pancasila Sebagai Tameng Ideologi Radikalisme dan Ekstremisme, Senin (22/11) bersama anggota Fraksi Nasdem Syarief ulah Alkadrie dan pengamat radikalisme dan terorisme Sidratahta Mukhtar, di Media Center DPR RI Jakarta, Senin (22/11/2021).
.
Menurut Jazilul Fawaid seharusnya, MUI bertugas melakukan deradikalisasi bukan justru sebaliknya, kejadian penangkapan terhadap Anggota Fatwa MUI Zain An Najah dan Ketum PDRI Farid Okbah menunjukan radikalisme bisa menyusup ke semua elemen termasuk lembaga agama.
“Bisa juga menyusup ke lembaga lembaga yang lain dan radikalisme itu tidak hanya atas nama agama, bisa juga dalam bentuk-bentuk yang lain,’kata Jazilul.
Menurut Jazilul saat ini banyak kegiatan di masyarakat yang dinilai sudah radikal. Pernah ada polisi ditabrak bandar narkoba, itu juga radikal.
Soal penyebabnya, harus sama-sama dicari. Apalagi, sudah ada undang-undang yang mengatur soal pencegahan dan deradikalisasi. Apa yang terjadi kekinian justru malah sebaliknya. MUI, kata dia, seharusnya melakukan deradikalisasi bukan justru tersusupi.
Menurut Gus Jazil, sikap radikal itu tidak selalu berkonotasi negatif, tapi juga positip. Kecintaan terhadap tanah air juga harus radikal.
”Kalau nggak radikal itu tanda tandanya negara ini mau runtuh. Sebab menurut Ibnu Khaldun, runtuhya sebuah negara itu mulai hilangnya rasa fanatisme, kecintaan kepada tanah airnya,’katanya.
Makanya, lanjut Jazilul, bagaimana supaya anak muda dibuat radikal dalam mwncintai tanah air dan Pancasila. Misalnya cinta terhasap produk dalam negeri dan benci produk luar negeri.
Sementara itu pengamat terorisme Sidratahta Mukhtar mengatakan dirinya mendorong adanya kebijakan pemerintah yang lebih holistik dengan melibatkan berbagai unsur dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme.
”Sekarang ini kan yang lebih menonjol ada pendekatan hak power artinya penggunaan densus 88, kemudian penggunaan Brimob atau unsur-unsur kepolisian lain dalam rangka penanggulangan terorisme,’kata Sidratahta.
Dosen tetap ilmu Poliitk UKI yang juga Pengajar Kebijakan Penanggulangan
Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme PTIK mengatakan dalam mengatasi radikalisme dan terorisme ini perlu ada sinergi antara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan pemerintah.
Apalagi hal itu juga sudah diatur dalam UU nomor 5 tahun 2018 maupun terhadap sekitar 7 produk kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir yang terkait dengan penanggulangan radikalisme, intoleransi dan terorisme serta extrimisme berkekerasan.
”Yang menjadi problem adalah bagaimana sinergis kebijakan pemerintah ini dengan kebijakan MPR,’katanya.
Jadi, kata Sidhatahta perlu ada peningkatan sinergisitas, sinergi antara MPR dengan unsur-unsur pemerintahan dalam rangka penanggulangan terorisme. ”Kita kan tahu MPR menggunakan kampus dan masyarakat sebagai sarana atau sebagai tameng untuk melakukan deradikalisasi terhadap kelompok radikal atau ekstrimisme berkekerasan ini, ”katanya.
(ar