JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) dari Daerah Pemilihan (Dapil) II Sumatera Barat, Guspardi Gaus prihatin dengan kondisi adanya Calon Kepala Daerah yang melawan kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, 9 Desember mendatang.
“Ini merupakan preseden buruk dalam rangka pendidikan politik dan pendidikan demokrasi di tanah air,” anggota Komisi II DPR RI membidangi Pemerintahan Dalam Negeri tersebut dalam keterangan pers yang diterima awak media, Senin (10/8).
Pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antarkepala daerah. Karena itu, banyaknya calon tunggal menyebabkan tidak terwujudnya substansi dari Pilkada tersebut.
“Karena yang dihadapi kotak, itu artinya dia tidak punya otak, dia tidak punya visi dan misi, padahal kita punya penduduk keempat terbesar dunia,” ungkap Guspardi.
Menurut laki-laki kelahiran Bukittinggi, 8 Juni 1956 tersebut, adanya kemungkinan calon tunggal di 31 daerah itu membuktikan upaya untuk melakukan pendidikan politik dan demokasi mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan. Dan, ini juga sebagai pertanda demokrasi itu tidak sehat.
Menurut dia, perlu dilakukan terobosan melalui UU yang berkaitan pilkada atau pemilu.Fenomena calon tunggal yang melaju sendiri alias menghadapi kotak kosong di pilkada menambah daftar metode culas yang berdampak buruk bagi demokrasi di Indonesia. Cara seperti itu tidak dilakukan, jika benar-benar mempunyai keinginan membangun daerah dengan baik.
Mantan anggota dan Pimpinan DPRD Sumatera Barat tiga 3 peiode tersebut menegaskan, kalah dan menang dalam suatu kompetisi tidak bisa dijadikan esensi utama dalam pilkada.
Tapi, menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta pendidikan politik masyarakat yang baik adalah esensi yang sebenarnya. Tujuan dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat.
PAN adalah partai inisiator terhadap bagaimana persyaratan itu tidak dipersulit. “Kian banyak calon tunggal tanda demokrasi di Indonesia tidak sehat. Turunkan ambang batas (threshold) untuk pilkada salah satu cara menghindari terjadinya calon melawan kotak kosong.”
Lima sampai 10 persen kursi sudah cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan. “Kita harus punya malu. Masak yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak,” ungkap Guspardi yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut.
Seperti diberitakan media, sebelumnya Titi Anggraini dari Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) memperkirakan, calon melawan kotak kosong bakal terjadi pada 31 daerah di Pilkada 2020 yakni 26 kabupaten dan lima kota dari 270 daerah yang menggelar pilkada serentak tahun ini. “Ini masih bisa berubah karena sangat dinamis, tahu sendiri proses pencalonan di pilkada kita cenderung injury time,” kata dia.
Titi menyebutkan, dari 31 daerah, 20 menunjukkan kecenderungan calon tunggal yang kuat. Daerah itu antara lain Kota Semarang, Kota Surakarta/Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Kediri, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blitar, Banyuwangi, Boyolali, Klaten, Gowa, Sopeng, Pematang Siantar, Balikpapan dan Gunung Sitoli. (akhir)