Jakarta, beritalima.com| – Anggota Komisi III DPR RI Habiburakhman menyatakan kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru bukan sekadar pembaruan regulasi, tetapi langkah untuk memperkuat perlindungan hukum bagi masyarakat. Ia meminta publik tidak mudah terprovokasi oleh informasi menyesatkan terkait pasal-pasal yang kerap dipelintir di media sosial.
Dalam keterangannya, Habiburakhman menilai masih banyak pihak yang mengkritik KUHP tanpa membaca naskah resmi maupun penjelasannya. Padahal, menurutnya, sejumlah pasal justru dibuat untuk memberikan kepastian hukum, bukan membatasi kebebasan warga.
“Banyak yang berkomentar hanya dari potongan informasi, bukan dari teks hukum yang sebenarnya. Akibatnya, persepsi publik terbentuk dari hoaks, bukan dari substansi,” ujarnya.
Habiburakhman soroti maraknya kritik terkait pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. Ia menekankan, pasal tersebut bukan membungkam kritik, tapi mencegah serangan karakter yang melampaui batas dan merusak tatanan demokrasi.
“Kritik tetap boleh, bahkan penting. Yang dilarang adalah penghinaan yang dilakukan dengan niat jahat. Itu dua hal yang berbeda,” terangnya.
Ia menambahkan, aturan serupa diterapkan di banyak level internasional seperti negara demokratis, termasuk Eropa, sehingga tidak relevan jika KUHP Indonesia disebut “mengancam kebebasan berekspresi”.
Politisi Gerindra itu meminta pemerintah, akademisi, hingga media massa lebih proaktif melakukan edukasi hukum agar masyarakat memahami konteks pasal-pasal tersebut. Menurutnya, banyak kegaduhan terjadi karena publik hanya menerima narasi yang sudah dipelintir pihak tertentu.
Langkah sosialisasi intensif, kata Habiburakhman, menjadi kunci agar implementasi KUHP berjalan efektif dan tidak memunculkan misinformasi berulang.
KUHP baru disahkan melalui proses panjang puluhan tahun melibatkan ahli hukum, praktisi, dan akademisi dari berbagai kampus. Namun Habiburakhman mengakui tantangan terbesar saat ini adalah minimnya pemahaman masyarakat, ini celah yang kemudian dimanfaatkan oleh penyebar hoaks untuk menimbulkan resistensi.
Jurnalis: rendy/abri








