SURABAYA, – Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya menggelar sosialisasi tanggap bencana Tsumani kepada mahasiswa dengan mengundang warga Jepang dan Aceh. Sosialisasi ini menggabungkan kisah atau tradisi lokal Indonesia dengan budaya khas Jepang, yaitu Khamishibai.
“Khamishibai ini adalah pertunjukan gambar yang dibawakan pendongeng yang lazimnya ditujukan kepada anak-anak,” kata Yoko Takafuji, pendongeng dari Wako University Jepang, seusai menampilkan Khamishibai di Unitomo Surabaya, Senin (9/1/2017).
Dijelaskan, Khamishibai merupakan istilah yang menggabungkan budaya khas serta kisah kejadian Tsunami yang pernah terjadi di Indonesia dan Jepang sebagai pertunjukan dongeng bergambar.
Menurut Yoko, pasca Gempa Bumi dan Tsunami di Samudera Hindia 2004 para peneliti dari Pusat Kajian Wilayah Asia, Universitas Rikkyo Jepang, bekerjasama dengan Universitas Wake Jepang, melakukan serangkaian penelitian mengenai tradisi cerita terkait bencana yang hidup di Simeulue, Aceh, yang masih berjalan hingga sekarang.
“Kami menyadari lamanya rentang waktu terjadinya bencana alam ke waktu kejadian berikutnya bisa 100 tahun. Karena itu, kami memikirkan metode agar masyarakat dapat melindungi dirinya sendiri tanpa melupakan kemungkinan terjadinya bencana di masa akan datang,” jelas Yoko.
Dalam proses penelitian, tambahnya, juga ditemukan budaya asli yang berpotensi mengurangi bencana. Seperti kisah Putra Smong, nama seorang anak asli Simeulue yang berarti ‘Putra Tsunami’.
Ada banyak kisah atau tradisi lokal yang dapat diangkat secara nasional sebagai bahan pendidikan mengurangi bencana. Hal ini menunjukkan adanya kemauan untuk mewariskan pengetahuan bencana kepada generasi berikutnya.
“Seminar budaya mengurangi bencana ini akan menumbuhkan kesadaran akan kesiagaan dalam menghadapi bencana agar masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat,” kata Yoko.
Sementara itu menurut PMtoh Aceh, Agus Nur Amal, menambahkan, Simaulue dan daratan Aceh saat terkena tsunami, di Pulau Simalue hanya 7 orang yang jadi korban. Karena, masyarakat sudah diajarkan tradisi melarikan diri saat ada gempa dan air surut untuk lari ke daratan tinggi.
“Selain itu tanda-tanda dari alam misal sumur surut, burung diam dan hewan ternak naik ke dataran tinggi menjadi strategi pengenalan alam yang kami lakukan,” jelas Agus Nur Amal.
Ia mengungkapkan, tradisi Jepang membuat penyampaian cerita lebih menarik. Cerita divisualkan melalui gambar, gendang dan musik akan lebih baik. Paling penting menyelematkan diri saat ada gempa atau bencana.
“Cerita ini bisa disampaikan ke anak sekolah, nanti anak akan cerita ke orangtua kemudian menyebar ke masyarakat,” ungkap Agus Nur Amal.
Rektor Unitomo, Bachrul Amiq, menegaskan, mahasiswanya dilatih tanggap bencana melalui mata kuliah wajib. “Setiap jurusan wajib mengikuti kuliah sebanyak 2 sks tersebut. Apalagi siaga bencana merupakan hal yang wajib dimiliki di Indonesia dengan wilayah geografis yang rawan bencana alam,” tandas Amiq. (Ganefo)
Teks Foto: Yoko Takafuji, pendongeng dari Wako University Jepang (kanan), dan PMtoh Aceh, Agus Nur Amal, di Unitomo Surabaya, Senin (9/1/2017).