Hakim dan Seni

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)

Peran hakim selama ini sering distigmakan dengan penerapan hukum yang kaku, rasional, dan formal. Bahasa putusan yang dibuat, di samping dirasa ‘mbulet’ oleh awam, juga sering dianggap kaku. Padahal, di balik toga dan palu sidang, sejatinya terdapat ruang batin yang dipenuhi sensitivitas, intuisi, bahkan—tanpa disadari—seni. Dunia hukum dan dunia seni kerap dianggap berada di kutub berbeda, padahal keduanya sama-sama menyentuh dimensi terdalam dari nilai-nilai kemanusiaan.

Hakim bukan sekadar “mesin hukum” yang hanya memuntahkan pasal. Dalam menimbang perkara, hakim menghadapi kompleksitas peristiwa, emosi, nilai budaya, dan harapan masyarakat. Di sinilah seni hadir—yakni dalam keterampilan menyeimbangkan antara norma tertulis dan rasa keadilan yang hidup.
Putusan yang baik tidak hanya benar secara hukum, tetapi mestinya juga indah secara etika. Seorang hakim sering kali harus ‘melukis’ keadilan dengan warna-warna kebijaksanaan dan empati.
Oleh karena itu, pengungkapan bahasa dengan memilih diksi yang tepat dalam bahasa putusan mutlak diperlukan. Sebuah amar yang disusun dengan bahasa yang jernih, bernas, dan penuh kesantunan memiliki kekuatan estetika tersendiri. Bahkan, tak jarang putusan pengadilan menjadi karya tulis yang dikutip, dibaca ulang, dan dikagumi bukan karena kekuatan hukumnya saja, melainkan karena daya puitis dan kepekaan sosialnya.

Tidak sedikit hakim yang juga menjadi penulis, penyair, pelukis, atau pecinta musik. Aktivitas seni ini bukan pengalih perhatian dari tugas, tetapi penyegar jiwa dan penjaga nurani. Dalam seni, hakim menemukan keseimbangan, menyalurkan batin, dan memperkaya pandangan dalam menilai perkara. Ada jargon “Hukum tanpa seni berisiko menjadi kaku dan dingin dan seni tanpa hukum berisiko menjadi liar.” Hakim, dalam kerangka ini, adalah jembatan antara keduanya. Ia menegakkan hukum, tetapi juga merawat keadilan dengan rasa, imajinasi, dan keindahan. Dengan demkian urgensi seni bagi hakim pada hakikatnya adalah upaya menemukan keadilan dalam nuansa estetika. Dengan estetika ini diharapkan putusan tidak bisu. Putusan yang bernuansa estetika diharapkan akan dapat mengetuk hati para pihak. Di balik narasi kalimat-kalimat yuridis terdapat ruh keindahan bahasa hukum yang mampu mengajak dialog batin para pihak.

Agar sampai ke level ideal tersebut, seorang hakim tentu wajib melatih diri secara terus menerus. Tidak hanya terbiasa membaca teks-teks hukum di perpustakaan tetapi juga terbiasa membaca setiap gejala yang ada di lingkungannya. Di samping, tentunya wajib melatih diri bernarasi lewat kebiasaan menulis. Dan, yang perlu dicamkan oleh hakim: “Keadilan adalah soal rasa.”

________________________________________

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait