Hakim dan Tampilan Kesehariannya

  • Whatsapp

(Refleksi tentang Hakim Sebagai Pejabat Negara)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)
Baru-baru ini tersiar kabar seorang hakim dari lingkungan peradilan agama (PA), meninggal dunia di kamar kosnya. Sebagaimana ditulis oleh muria.inews.id ( 17 September 2024), korban yang merupakan warga Desa Limau Manis, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat, ditemukan tergeletak di kamar mandi kamar kos di Lingkungan Sambak, Kelurahan Danyang, Purwodadi. Menurut keterangan pihak berwajib, tidak ada tanda-tanda korban meninggal akibat penganiayaan. Tragisnya korban yang ternyata bernama Januar ini diperkirakan sudah meninggal 4 hari yang lalu. Saat akan mengevakuasi jenazah, masyarakat sempat kerepotan karena pintu dalam keadaan terkunci. Kunci duplikat dari pemilik kos pun tidak bisa masuk karena pada lobang kunci masih tertancap kunci yang sama dari dalam. Di dalam kamar korban, polisi juga menemukan hasil cek laboratorium dan beberapa obat-obatan yang menurut keterangan dari dokter, obat tersebut untuk sakit diabetes, hipertensi, kolesterol dan prostat. Apakah korban meninggal karena penyakit akut, memang belum diketahui dengan pasti. Tetapi saat keluarga keberatan dilakukan otopsi, pihak kepolisian pun tampaknya juga ‘tidak keberatan’.

Kisah tentang hakim meninggal di tempat tugas, lebih khusus di kamar kos tampaknya bukan kali pertama. Pada tahun 2019 seorang Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura, Rudi Martinus, juga meninggal dunia dengan cara yang kurang lebih sama. Jenazah Hakim asal Bandung Jawa Barat ini juga baru diketahui setelah kurang lebih 48 jam kemudian. (detik.news, 29 Desember 2019). Seorang hakim PT TUN Kelas I Makassar pada bulan Agustus 2021 juga mengalami nasib yang sama. Hakim yang Bernama Satibi Hidayat Umar (63), ditemukan meninggal di kamar kosnya.Korban ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Jalan Bumi Karsa, area Kelurahan Masale, Panakkukang, Makassar, sekitar pukul 10.00 WITA, Jumat (13/8/2021).

Yang sedikit melegakan adalah kematian para pemegang palu keadilan tersebut bukan disebabkan oleh kekerasan akibat yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. Dengan demikian, untuk sementara negara tidak dipusingkan oleh urusan penyediaan anggaran pengamanan hakim sebagaimana beberapa waktu lalu ramai disuarakan.
Kebijakan Mutasi
Saat ini salah satu tantangan besar bagi hakim, khususnya Peradilan Agama (PA), adalah kesiapan mental untuk benar-benar memenuhi janji sebagai ASN saat untuk pertama ‘diikrarkan’, yaitu “Sanggup ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Mengapa? Sejak era satu atap (one roof system) lembaga peradilan, semua kebijakan penempatan, mutasi, dan promosi hakim, menjadi kewenangan Mahkamah Agung sepenuhnya. Para hakim PA tidak bisa lagi seperti ketika masih diurus Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) dengan segenap ‘kemudahan’ yang berkaitan dengan tempat tugas. Melainkan, harus seperti saudara-saudaranya di Peradilan Umum (PU) atau segenap instansi vertikal lainnya. Semua hakim harus selalu sadar dan siap bahwa wilayah tugas mereka tidak bersifat regional melainkan nasional. Hari ini bertugas di salah satu kabupaten/kota di provinsi tertentu bulan depan bisa saja harus berpindah ke provinsi lain. Bahkan, selama belum pensiun jangan bangga dulu, jika suatu ketika bisa bertugas dekat dengan keluarga. Bulan atau tahun berikutnya bisa saja menjauh lagi, bahkan bisa saja bertugas nun jauh di sana, di pulau lain.

Bagi yang berwenang penempatan tugas hakim ke mana pun, jelas suatu keniscayaan. Perspektif yang dilihat adalah kepentingan lembaga dengan skala nasional. Tidak boleh ada satker dengan bobot dan jumlah perkara berat dan banyak mempunyai hakim lebih sedikit dari pada satker dengan bobot dan jumlah perkara di bawahnya. Apalagi, harus kosong tanpa hakim. Yang pasti, semua langkah kebijakan penempatan hakim tersebut tentu sudah berdasarkan mekanisme birokrasi. Kajian tentang penempatan personil (hakim) tampaknya selalu sudah melalui kajian mendalam saat rapat para pejabat yang berkompeten. Bagi hakim yang dibutuhkan hanya satu kata: “Siap”. Saat pengumuman hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM) diumumkan hanya dengan hitungan hari, harus sudah berangkat ke tempat tugas baru yang tercantum dalam pengumuman, Bahkan, tidak harus menunggu petugas kantor pos mengantarkan “SK” seperti dulu.
Pada saat TPM diumumkan tersebut, memang secara garis besar akan terjadi dua kemungkinan: “gembira” dan “sedih”. Gembira karena mutasi yang terjadi telah sesuai dengan keinginan. Sedih karena mutasi yang terjadi sama sekali di luar keinginan. Dari sisi ini sebenarnya saat ini tantangan yang dihadapi para hakim adalah termasuk persoalan mentalitas. Saat kesejahteraan hakim mulai mengalami perbaikan, hal-hal demikian memang agak dilupakan. Tantangan yang semula diprediksi adalah persoalan gaya hidup. Hakim yang semula hidup pas-pasan, setelah uang bulanannya semakin besar, tiba-tiba bersama anak dan istrinya lebih leluasa membangun kenikmatan. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang bergaya hedonis. Sebagian besar pengasilannya seolah diinvestasikan untuk menikmati kenyamanan bersama keluarga, termasuk rumah dan mobil pribadi. Para Yang Mulia ini lupa bahwa sebelum purna, harus tetap bergerak pindah tugas dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan, yang pasti juga harus siap meninggalkan kenikmatan bersama keluarga, termasuk rumah indah dan mobil pribadinya.

Pendidikan hakim, tampaknya perlu menyentuh ke aspek-aspek itu. Dengan pertimbangan semakin kompleksnya tantangan, berbagai ilmu guna mendukung tugas profesi tentu wajib dipelajari sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, aspek mentalitas para hakim sendiri juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Meskipun belum ada penelitian khusus, tapi dengan fenomena di atas, kini patut diduga banyak hakim yang stress tidak siap ‘berkeliling’ Indonesia. Bukankah para ahli kesehatan pada umumnya sepakat, bahwa saat merasakan stres, sistem kekebalan tubuh seseorang dapat menurun, sehingga membuat tubuh sulit melawan penyakit dan akan lebih rentan terkena penyakit. Seseorang yang mengalami stres berkepanjangan berpotensi untuk terserang berbagai penyakit. Bila seorang hakim sudah sakit, tidak hanya semua gelar akademik betapa pun tingginya, tetapi segenap pengetahuan teknis pun, akan tidak ada artinya.
Tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk ‘menghakimi’ kasus kamatian hakim, sebagaimana disinggung di awal tulisan ini. Akan tetapi, hanya sebagai masukan untuk para pembuat kebijakan bahwa menyiapkan hakim sebelum ke medan tugas, rupanya tidak cukup hanya dengan sejumlah pengetahuan teknis, tetapi juga psikologis. Bukan pengetahuan psikologi hanya untuk menghadapi para pencari keadilan, tetapi juga psikologi hakim sendiri agar bisa “survive” kapan pun dan di mana pun. Akan tetapi apakah hanya aspek itu? Jelas bukan.

Tampilan Sebagai Pejabat Negara
Secara de jure, hakim merupakan pejabat negara. Ketentuan ini sebenarnya sudah disebut dalam 3 undang-undang (UU), yaitu UU Nomor 43 Tahun 1999 (Pasal 11 ayat 1 huruf d ), UU Nomor 5 Tahun 2014 (Pasal 122 huruf e ), dan terakhir dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 (Pasal 58 huruf e ). Akan tetapi hampir, secara de facto, semua orang tahu status mentereng sebagai pejabat negara tidak tampak dalam tampilan sebagaimana pejabat lainnya.. Banyak hakim yang karena keadaan harus tinggal di rumah-rumah kos terpencil yang bebas dari pantauan. Tidak perlu membandingkan dengan Bupati atau Wali Kota yang sama-sama pejabat negara. Bandingkan tampilannya dengan Kapolres, Dandim, Kepala Dinas. Padahal secara yuridis mereka bukanlah pejabat negara. Akan tetapi, saat mereka pergi pulang kantor di antar, bahkan disediakan ajudan, jelas menimbulkan kesan seolah status mereka lebih tinggi dari hakim yang sering terlihat dalam keseharian seperti tak terurus. Ironisnya, perlakuan terhadapnya juga diperparah oleh manajemen lembaga yang mengindukinya sendiri. Selama ini belum ada usaha-usaha serius untuk mengangkat muruah hakim dari sisi tampilan, selain dicekoki dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/Kma/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009. Sebagian hakim ada yang merespon, jangan-jangan asumsi dasar sehingga terbit aturan tersebut sudah kurang tepat, yaitu ketika menganggap para hakim adalah manusia kurang beretika atau persepsi negative lainnya, sehingga perlu dibuat sejumlah norma tertentu dengan segala bentuk sanksinya. Hak transportasi sebagaimana disebut UU diberikan dalam bentuk uang, bukan kendaraan dinas untuk antar jemput pergi pulang kantor. Padahal, saat ini di setiap satker sebenarnya bukan karena tidak ada kendaraan dinas, tetapi hanya persoalan manajemen pengelolaan kendaraan dinas saja yang belum tepat sasaran. Akibatnya, pada saat musim hujan tiba, para hakim yang pada umumnya bersepeda motor harus “berbasah kuyup ria” apabila saat di jalan tiba-tiba hujan mengguyur. Yang lebih memprihatinkan, di satker tertentu, ketika ada hakim mencoba minta diantar pergi pulang kantor, ada oknum pejabat setempat yang menyindir dengan kalimat sinis. “Bukankah para hakim sudah mempunyai uang transportasi,” katanya.

Sebagian ilustrasi potret keseharian hakim itulah yang penulis maksudkan sebagai tampilan hakim. Dan tampilan itulah yang kini tampaknya luput dari perhatian, tidak saja oleh negara tetapi juga oleh lembaganya sendiri. Di saat para hakim kini menginginkan perbaikan kesejahteraan tampilan hukim tersebut harus pula turut diperbaiki. Bentuknya, minimal pada saat jam-jam dinas bagaimana bisa sejajar dengan para pejabat daerah yang ada, syukur bisa sama dengan rekan sesama pejabat negara yang ada di daerah, yaitu bupati/wali kota setempat. Gaji besar memang penting, tetapi apalah artinya dari sisi muruah, jika harus tinggal di petak-petak rumah dan pergi pulang kantor naik sepeda motor karena tidak diantar jemput saat pergi pulang kantor. Ketika mengalami musibah sampai meninggal pun ‘harus’ baru diketahui beberapa hari kemudian. Pada saat sama, gaji besar yang diterima di perantauan karena tugas tentu berbeda manfaatnya dengan ketika bertugas dekat keluarga. Peristiwa tragis dan potret ironi hakim yang , masih belumkah mengetuk hati para pembuat kebijakan?

beritalima.com

Pos terkait