Hakim Dan Tugas Menggali Hukum

  • Whatsapp

(Sebuah Refleksi)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Dalam ruang sidang suami itu tampak menggeleng-gelengkan kepala. Sesekali dia perlu menaikkan beberapa jari sebelah tangannya di atas kepala sambil menggaruk-garuk. Dengan raut muka yang sedikit cemberut pertanda ada kejengkelan sedang mendera hati dan pikirananya. Rupanya Pak Hakim segera tahu akar persoalnya. Jawaban yang diajukan istri yang akan diceraikannya, diangapnya mengada-ada karena berisi tuntutan bermacam-macam.

Menuntut macam-macam ‘hak konstitusional’ oleh istri yang akan diceraikan suami, memang lazim terjadi dalam perkara cerai talak (cerai yang diajaukan suami). Akan tetapi kali ini kasusnya sedikit lain. Dalam jawaban yang tertulis panjang lebar itu terdapat tuntutan balik (gugat rekonvensi) terhadap sesuatu yang tidak lazim. Si istri, di samping menuntut mut’ah, nafkah iddah, dan nafkah lampau yang belum terbayar juga menuntut “nafkah batin”. Setelah diklarifikasi sang Hakim, rupanya nafkah batin dimaksud ialah jatah “hubungan seksual” istri yang tidak ditunaikan suami selama beberapa waktu ditinggalkan pergi selama ini. Persoalan hukum berikutnya tidak sampai di sini. Nafkah batin yang tidak ditunaikan itu dinominalkan dalam bentuk tuntutan sejumlah uang sebagai penggantinya. Tentang bagaiamana sikap suami berikut putusan hakim yang dijatuhkan sengaja tidak dibahas dalam tulisan ini.

Dalam sidang-sidang pengadilan agama yang menyangkut hukum keluarga, khususnya mengenai hak dan kewajiban suami istri saat perceraian, memang sering muncul aneka persoalan. Beberapa di antaranya memang ada persoalan yang menyimpang dari lembaga hukum mainstream. Secara sadar hal ini sengaja disampaikan oleh para pihak dengan alasan sedang berhadapan dengan pengadilan. Di benak mereka dengan kewenangan yang dimiliki, tentu menaruh sejumlah ekspektasi kepada pengadilan. Harapan memperolah pembelaan atas hak-hak yang selama ini tidak ditunaikan pasanganya disampaikan oleh para pihak. Tentu bukan menjadi persoalan, apakah hak-hak itu diatur oleh hukum atau tidak. Yang jelas rasa keadilan yang tumbuh dari perasaan dan akal pikirannya, yang menjadi uneg-unegnya selama ini, secara subjektif mengharuskannya untuk menyampaikannya dalam persidangan di pengadilan.

Aneka macam tuntutan istri pada perkara cerai talak atau bahkan suami dalam perkara cerai gugat yang terkesan ‘mengada-ada’ setidaknya mencerminkan 3 hal:
Pertama, bahwa masih banyak masyarakat yang awam hukum, dalam hal ini khususnya hukum materiil. Aturan hukum materiil mengenai hak dan kewajiban suami istri sebagian memang tertulis dalam aturan hukum tertulis (seperti undang-undang dan peraturan pemerintah). Dalam konteks keilmuan, aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri sebenanya sudah tertulis dalam literatur-literatur, seperti kiab-kitab fikih baik yang klasik maupun yang kontemporer. Rendahnya tingkat pendidikan dan kerendahan minat belajar menyebabkan aturan-aturan tersebut sering tidak sampai ke masyarakat. Pada saat yang sama kajian-kajian resmi–seperti di pesantren maupun sekolah-sekolah formal—juga sering hanya sebatas pada bagian-bagian pertama yang biasanya mengenai persoalan-persoalan dasar (elementary).

Sebagaimana kita ketahui, bahwa bagian-bagian awal literatur hukum islam, pada umumnya selalu dimulai dari wacana seputar ibadah “mahdah”, seperti cara bersuci dan sejumlah ibadah mahdah lainnya. Seberapa pun besar tingkatan (gradasi) kajian fikih selalu dimulai dari wacana demikian (taharah). Dalam konteks demikian, Gus Dur juga pernah mengkritik tentang fenomena lahirnya “Sarjana Taharah” di pesantren. Kritikan Gus Dur ini sebenarnya bertujuan agar para santri senior dapat melakukan kajian fikih yang lebih luas, seperti muamalah, jinayat dan sebagainya dengan aneka wacana kekiniannya. Dalam kasus di atas, istilah nafkah batin secara terminologis secara tersurat, tampaknya belum pernah menjadi objek kajian fikih. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat dan telah mengemuka sebagai kasus riil, tentu perlu mendapat jawaban hukum.

Kedua, bahwa seiiring dengan kemajuan informasi dan tingginya kebutuhan hidup serta pendidikan, kini banyak perempuan yang sudah semakin sadar hak. Ketika harga dirinya terusik oleh pasangannya dia segera bereaksi. Reaksi ini kini semakin menemukan ruangnya, bersamaan dengan merebaknya isu kesetaraan gender. Berkat dukungan situasi demikian, kini melakukan tuntutan apa pun kepada suami di pengadilan bukan sesuatu yang tabu. Atau, bahkan secara konfrontatif justru kaum perempuan saat ini ada kecenderungan semakin menunjukkan keberaniannya.

Ketiga, dari sisi intitusi peradilan, kasus-kasus mengenai variasi tuntutan jelas mengharuskan kepada aparat penegak hukum. Dalam hal ini, para hakim perlu secara intens melakukan refleksi hukum. Sejumlah pertanyaan perlu diajukan antara lain, apakah aneka masalah hukum yang sedang berada di hadapannya, pernah menjadi kajian hukum para ulama /cendekiawan terhadulu. Dalam konteks ini, penelaahan sejumlah referensi untuk mengetahui khazanah pendapat hukum para pendahulu perlu dilakukan dengan prinsip: “mengambil pendapat hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat saat ini”. Atau, kalau belum, bagaimana para hakim harus bersikap ketika menghadapi persoalan hukum di pengadilan dan harus dijawab dengan jawaban hukum pula. Bukankah yang demikian telah menjadi amanat undang-undang dalam hal ini UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 5 ayat (1) secara tegas dinyatakan: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nalai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan, pada Pasal 10 ayat (1) dinyatakan: “ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Pasal 5 ayat (1) mengisyaratkan adanya garansi ‘kebebasan hakim’ yang bermuara kepada tercapainya keadilan substantif. Dalam rangka mencapai tujuan itu, hakim diberi kewenangan mengikuti, memberikan tafsir atas teks undang-undang. Atau, bahkan, jika perlu menyimpangi undang-undang (contra legem) dengan mengambil hukum dari sumber hukum tak tertulis yang dianggap lebih sesuai dengan rasa keadilan atas perkara yang sedang ditangani.

Sedangkan Pasal 10 ayat (1) berisi pengakuan sekaligus tantangan kepada diri Hakim bahwa ia dianggap sebagai orang yang sudah mengetahui setiap hukum atas perkara yang diajukan kepadanya (ius curia novit). Oleh karena itu sama sekali tidak dibenarkan ada hakim yang menolak perkara dengan alasan perkara yang sedang diadili belum, atau tidak pernah, ada hukum yang mengaturnya atau hukumnya belum jelas. Melainkan, harus tetap mengadili dan memberikan keputusan (menerima atau tidak menerima/ mengabulkan atau menolak). Kesungguhan bergulat dengan keilmuan hukum atas setiap menangani ‘perkara langka’ seperti dalam contoh kasus di atas, harus mendapat perhatian hakim. Karena ketepatan penanganannya tidak hanya akan menjadi objek kajian hukum, tetapi juga menjadi gunjingan (cibiran) hukum oleh masyarakat (para akademisi dan aktivis) di kemudian hari.

Akhirnya, pertanyaan kita, sudahkah hal-hal demikian telah menjadi concern semua hakim kita? Wallahu a’lam.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait