SURABAYA – beritalima.com, Pasangan suami isteri (Pasutri) Guntual bin Abdullah dan Tutik Rahayu yang berprofesi sebagai pengacara dan juga terdakwa kasus Transaksi Elektronik ini mengamuk di ruang sidang Tirta Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (8/11/2021).
Pasutri ini berteriak-teriak dalam persidangan setelah majelis hakim Darmanto Dachlan membacakan putusan sela yang tidak mengabulkan eksepsi kedua terdakwa.
“Saya keberatan, bagaimana ada dalam persidangan pelapor tidak pernah di BAP. Saya keberatan, hukum saja saya tidak usah disidangkan,” ujar Guntual.
“Silahkan saja bunuh saja saya, saya tidak takut mati,” lanjutnya.
“Didalam sejarah kalau kita bicara tindak pidana, tidak ada yang namanya delik aduan menggunakan surat tugas. Karena yang melaporkan pengadilan negeri Sidoarjo tidak pernah di BAP (Berita Acara Pemeriksaan),” beber Tutik.
Selain itu Tutik menyatakan dirinya juga merasa dibohongi oleh ketua majelis hakim yang menjanjikan akan memberikan hasil yang terbaik bagi kedua Terdakwa.
“Dia (ketua majelis hakim) janji waktu awal, Ibu Bapak nanti dalam putusan sela demi Allah saya akan memberikan hasil yang terbaik. Kita adalah rekamannya,” ujar Tutik.
Saat ditanya apakah janji ketua majelis hakim memberikan hasil terbaik tersebut akan dikabulkan eksepi kedua Terdakwa? Tutik mengiyakan. Hal itu menurut Tutik diutarakan hakim saat dirinya menanyakan kenapa persidangan dipindah sementara sudah sampai tahap saksi.
“Waktu itu dibilang begini, nanti waktu putusan sela kan Bapak dan Ibu bisa buat kontruksi hukumnya dan kita sudah ikuti semua. Tapi tadi waktu kita mendengar putusan sela, tidak satupun alasan-alasan hukum kita dalam eksepsi diterima,” ujar Tutik.
Tutik menilai, pertimbangan majelis hakim dalam putusan selanya tersebut sudah melenceng dari undang-undang karena persidangan dipindahkan ke PN Surabaya sementara di Sidoarjo tidak ada bencana alam. Selain itu Tutik juga mengklaim bahwa Mahkamah Agung tidak memilii kewenangan untuk memindah tempat persidangan, sebab itu merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Sementara, dalam halam SIPP PN Surabaya kedua terdakwa didakwa Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang – undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 ayat (1) Ke – 1 KUHP.
Dalam SIIP juga dijelaskan, kronologi itu berawal saat terdakwa Guntual dan Tutik Rahayu hadir dalam sidang di Ruang Sidang Utama pada Pengadilan Negeri Sidoarjo sebagai korbam dalam perkara tindak pidana pelanggaran Undang – undang Perbankan yang dilakukan oleh The Rima dan Djoni Harsono.
Setelah pembacaan putusan oleh Majelis Hakim yang terbuka untuk umum, karena merasa tidak puas dan keberatan dengan Putusan yang diucapkan oleh Majelis Hakim tersebut.
Kedua terdakwa lantas melakukan protes dengan cara menjelek – jelekan institusi Pengadilan dengan kalimat “HARUS MELAWAN, JANGAN PERCAYA PENGADILAN YANG KAYAK GINI MODELNYA”, “BUBAR PENGADILAN, HAKIM BISA DIBELI”, “HAKIM KENA SOGOK” dan “HAKIM KENA SUAP” hingga menimbulkan keributan.
Tak sampai disitu kedua terdakwa juga mengunggah status dimedia sosial Facebook miliknya dengan kalimat.
Pengadilan yang sedianya sebagai tempat mencari keadilan, justru menjadi sarang mafia hukum dan keadiadilan yang dilegalkan oleh konstitusi, sehingga masyarakat percari keadilan menjadi korbannya.
Undang – undang dengan pasal berlapis dibuat sebagai tolok ukur untuk menetukan bentuk kesalahan bagi satu pihak dan pelindung bagi pihak yang benar, justru bisa diputar balikan oleh mafia hukum kalau tidak menyuap Hakim yang dibayar mahal oleh negara dan dipercaya sebagai wakil TUHAN, untuk menguji dan mengadili guna mengungkap fakta sesungguhnya melindungi yang benar, menghukum yang salah, ternyata dengan kekuasaan palu bisa menyedupkan fakta, sehingga kalau tidak menyuap yang benar bisa disalahkan dan kalau mau menyuap hakim, yg salah menjadi dibenarkan
Hukum macam apa ini, untuk pengadilan negara, untuk apapula UU dibuat dan diperdebatkan, kalau ujung – ujung tergantung penilaian hakim yg sudah kena suap dan sogok
Setiap perkara adalah proyek bagi aparat hukum yang sudah digaji oleh negara pakai uang rakyat, tapi tidak bekerja untuk keadilan masyarakat
Kalau sudah seperti kenyataannya masyarakat seharusnya sudah sadar dan bangkit melawanatas kelakuan hakim yg selama ini telah banyak merampas hak dan martabat masyarakat(rakyat)
Mari kita ganti tahapan pengadilan negara mendahulukan pengadilan alternatif, setiap perkara, baik pidana maupun perdata dan perkara lainnya, penyelesaiannya harus diselesaikan terlebih dahulu proses Dialog, Musyawarah (secara adat sesuai daera) dengan hasil putusan berdasarkan kesepakatan
Setelah upaya damai dengan Restorative Justice (pemulihan keadilan) tidak bisa dicapai, barulah dilanjutkan dengan proser hukum Negara.
Sementara terdakwa Tutik mengunggah status di Facebook miliknya, dengan tambahan tulisan “Ngeri… Korban tidak punya uang sulit cari keadilan di Pengadilan” dan yang kedua bertuliskan “Putusan bisa ‘diperjualbelikan’”.
Selain itu terdakwa juga menshare video dengan durasi 03:41 (tiga menit empat puluh satu detik) dengan judul Viral bobroknya pengadilan negeri Indonesia! Tidak ada keadilan bagi korban yang menyuap hakim yaitu keduanya mengungkapkan kegundahan / keprihatinan. (Han)