Oleh: H.Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)
Beberapa hari lalu ada wacana di kalangan hakim gerakan cuti bersama. Untunglah, setidaknya sampai hari ini, ‘ancaman’ tersebut tidak menjadi kenyataan. Kita tentu membayangkan bagaimana jika gerakan itu terlaksana. Jadwal sidang akan kacau dan pastinya pelayanan kepada pencari keadilan akan terganggu. Padahal, kegiatan menyidangkan perkara tidak dapat diwakili oleh siapa pun yang bukan hakim. Di samping itu ada hal lain, jika ancaman cuti bersama terjadi, yaitu bagaimana dari aspek kepegawaian? Sekilas cuti memang hak setiap PNS termasuk Hakim. Akan tetapi cuti bersama secara masal sudah pasti melanggar aturan. Sebab, meskipun hak, pengambilan cuti harus memenuhi aturan cuti, yaitu peraturan BKN Nomor 7 Tahun 2021 tentang perubahan peraturan BKN Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti PNS. Dalam aturan ini intinya tidak memungkinkan PNS, termasuk hakim cuti dalam waktu bersamaan, apalagi secara nasional. Alasannya jelas, jangan sampai karena cuti pelayanan terganggu. Dengan demikian cuti bersama selain hanya bahasa halus dari mogok nasional, sejatinya juga melanggaar aturan. Bagi hakim, melanggar aturan kadar ‘dosanya’ tentu lebih besar dari pagawai non hakim.
Terlepas dari kontoversi seputar himbauan cuti bersama yang sempat viral di media, eksistensi hakim sangat vital. Pengadilan bisa tidak ada pegawai yang lain, tetapi jangan sampai tidak ada hakim. Keberadaannya menjadi hakikat keberadaan lembaga tempat ia bekerja. Tanpa ada hakim, gedung pengadilan akan tidak ada gunanya. Dengan demikian, nilai tawar hakim dari aspek ini jelas sangat tinggi. Terlepas, berpotensi melanggar aturan, mungkin dari sinilah himbauan itu digulirkan. Akan tetapi, sayang urgensi eksistensinya, tampaknya tidak sepadan dengan cara pandang pemerintah. Hiruk pikuk mendongkrak capaian pembangunan fisik tampaknya melupakan nasib sebagian aparat negaranya: Hakim. Mereka hanya diam selama 12 tahun, meskipun pendapatannya terus tergerus oleh laju inflasi. Pemerintah mungkin beranggapan, bahwa gaji dan tunjangan besar selama ini dianggap masih dianggap aman. Dan, yang penting dianggap masih bisa makan. Perbandingan pun dibuat. Dari pada PNS lain Hakim masih lebih beruntung. Padahal, ukurannya tentu bukan demikian. Ketika pegawai lain, di internal pengadilan (penitara dan sekretaris) mengalami perubahan pendapatan, mestinya secara paralel hakim juga harus mengalami hal yang sama.
Tapi memang patut disayangkan pada saat jeritan mulai diperdengarkan ada komponen hakim yang membuat langkah sensitif. Terutama jika dilihat dari sisi konstelasi politik yang ada. Ada sejumlah tokoh tertentu yang selama ini nyinyir kepada pemerintah justru dijadikan ‘kawan’ oleh hakim. Sebagai puncaknya adalah penampilan si ‘ahli filsafat’ Rokcy Gerung dalam forum resmi para pengadil. Setidaknya 2 kali pemaki-maki Jokowi ini berbicara pedas mengenai pemerintah dan tampak mendapat “aplaus” para pengadil yang hadir. Di era orde baru kegiatan demikian mungkin sudah layak sebagai kegiatan yang mengharuskan ‘garnisun’ atau aparat kemanan tertentu melakukan tindakan yang sering disebut “diamankan”. Di level bawah sebenarnya ada yang kurang sependapat dengan tindakan elite tersebut. Tetapi apatah artinya sekelompok kecil hakim ini. Pada saat yang sama, hampir semua orang tahu, banyak hakim yang terjebak dalam keberpihakan politik dengan mendukung paslon tertentu. Dan, yang pasti yang berseberangan dengan pemerintah. Sejumlah postingan nyinyir kepada pemerintah dan para pambantunya tampak dengan sengaja disampaikan guna mengkritisi pemerintah. Ketua MA pun secara khusus, sudah memperingatkan ulah para aparat pengadilan, termasuk hakim, yang demikian.
Dari aspek itu dapat diketahui, bahwa para elite hakim dan sejumlah hakim tertentu tampaknya telah membuat sepak terjang yang kontra produktif secara politik. Dan, selanjutnya sulit untuk tidak menyimpulkan, bahwa para hakim memang kurang mempunyai kepekaan politik. Para elite hakim tampaknya lebih akrab dengan para politisi tertentu, dari pada para penguasa, termasuk pemegang otoritas keuangan negara. Ironisnya, politisi tertentu itu adalah yang membenci pemerintah. Padahal, mestinya porsi keakraban dengan politisi resmi (para wakil rakyat di DPR) dan pejabat tertentu di pemerintahan, harus sama-sama dibangun sekaligus.
Lebih ironis lagi, di setiap musim kontestasi politik, terdapat sejumlah oknum orang peradilan yang secara terbuka juga mengumbar keberpihakan politik tertentu. Sepak terjang mereka di medsos, sulit disebut sebagai bukan anti pemerintah. Mereka selalu kritis terhadap apa pun yang dilakukan pemerintah. Di mata mereka pemerintah sama sekali tidak ada baiknya. Sebagai contoh, saat pemerintah melakukan kebijakan keuangan yang menguntungkan hakim, mereka tidak berterima kasih, bahkan terus menerus nyinyir. “Uang yang digunakan membayar THR dan Gaji 13 bukan uang Jokowi dan Sri Mulyani,” celetuk sebagian mereka. Tetapi saat gaji tidak diurus, mereka menyalahkan pemerintah. Ketidaksenangan kepada pemerintah di sengaja atau tidak telah dipertontonkan via medsos. Ulah para oknum yang demikian tentu tersimpan rapi sebagai jejak digital.
Dari berbagai alasan, yang belum tentu benar, tersebut maka tampaknya untuk sementara para hakim memang tidak perlu berharap banyak kepada pemerintah era 2019-2024 yang memang tinggal beberapa hari ini. Akan tetapi, kalau tidak terealisasi minggu ini, tidak perlu pesimis. Dalam masa transisi ini membuat kebijakan keuangan negara, tentu sangat tidak strategis. Khususnya, bagi calon penggantinya. Sebagai calon pengganti, jangan-jangan Pak Prabowo sudah bilang kepada pendahulunya: “Pak Jokowi, karena Bapak mau lengser, tidak perlu repot-repot mengurus kenaikan gaji hakim. Sesuai janji kampanye saya, biar saya saja yang menaikkannya.” Artinya, masih ada secercah harapan terang untuk optimis. Selamat berjuang.