Oleh Prihandoyo Kuswanto
Pusat Studi Rumah Pancasila.
Sejak UUD1945 diamandemen kemudian dijalankan nya demokrasi liberal yang dasar nya Individualisme Liberalisme Kapitalisme dengan sistem Presidenseil kekuasaan diperebutkan banyak -banyakan suara kalah menang ,kuat-kuatan pertarungan dan remuk redam nya persatuan bangsa ini terbelah .
Para pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami sistem pada yang mendasari UUD 1945, Akibatnya amandemen yang dilakukan telah merusak sistem bernegara dan bahkan menghancurkan tata nilai negara dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Cuplikan sidang BPUPKI
Toean-toean dan njonja-njonja jang terhormat. Kita telah menentoekan di dalam sidang jang pertama, bahwa kita menjetoedjoei kata keadilan sosial dalam preambule.
Keadilan sosial inilah protes kita jang maha hebat kepada dasar individualisme.
Tidak dalam sidang jang pertama saja telah menjitir perkataan Jaures, jang menggambarkan salahnja liberalisme di zaman itoe, kesalahan demokrasi jang berdasarkan kepada liberalisme itoe.
Tidakkah saja telah menjitir perkataan Jaures jang menjatakan, bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen mendjadi rapat radja-radja, di dalam liberalisme tiap-tiap wakil jang doedoek sebagai anggota di dalam parlemen berkoeasa seperti radja.
PKaoem boeroeh jang mendjadi wakil dalam parlemen poen berkoeasa sebagai radja, pada sa’at itoe poela dia adalah boedak belian daripada si madjikan, jang bisa melemparkan dia dari pekerdjaan, sehingga ia mendjadi orang miskin jang tidak poenja pekerdjaan.
Inilah konflik dalam kalboe liberalisme jang telah mendjelma dalam parlementaire demokrasinja bangsa2 Eropah dan Amerika.
Toean-toean jang terhormat. Kita menghendaki keadilan sosial. Boeat apa grondwet menoeliskan, bahwa manoesianja boekan sadja mempoenjai hak kemerdekaan soeara, kemerdekaan hak memberi soeara, mengadakan persidangan dan berapat, djikalau misalnja tidak ada sociale rechtvaardigheid jang demikian itoe?
Boeat apa kita membikin grondwet, apa goenanja grondwet itoe kalau ia ta’dapat mengisi “droits de l’homme et du citoyen” itoe tidak bisa menghilangkan kelaparannja orang jang miskin jang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itoe, djikalau kita betoel-betoel hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeloeargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enjahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja.
Toean-toean jang terhormat. Sebagai tadi poen soedah saja katakan, kita tidak boleh mempoenjai faham individualisme, maka djoestroe oleh karena itoelah kita menentoekan haloean politik kita, jaitoe haloean ke-Asia Timoer Rajaan. Maka ideologie ke-Asia Timoer Raja-an ini kita masoekkan di dalam kenjataan kemerdekaan kita, di dalam pemboekaan daripada oendang-oendang dasar kita……..
Toean2 dan njonja2 jang terhormat. Kita rantjangkan oendang-oendang dasar dengan kedaulatan rakjat, dan boekan kedaulatan individu.
Kedaulatan rakjat sekali lagi, dan boekan kedaulatan individu. Inilah menoeroet faham panitia perantjang oendang-oendang dasar, satoe-satoenja djaminan bahwa bangsa Indonesia seloeroehnja akan selamat dikemoedian hari.
Djikalau faham kita ini poen dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itoe akan memberi djaminan akan perdamaian doenia jang kekal dan abadi.
…………. Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita. Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan. Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita.
Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala.
Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian:
Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan:
“Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet”.
Rupa nya para pengamanden UUD 1945 Amin Rais Yakob Tobing
Ketua PAH-1 BP-MPR begitu cethek pengetahuannya tentang Kaedah Dasar Negara yg bersifat permanen. Dan bekerjasama dengan NDI untuk mengganti UUD 1945.
Yang bisa kita rasakan rusak nya ketata negaraan dan hilang nya jati diri bangsa .
Mungkin mereka pengamanden UUD1945 tidak perna membaca sejarah ketatanegaraan yang dengan susah paya dibangun oleh pendiri bangsa ini ,sehingga mereka mau menjadi pengecut karena menjiplak bangsa lain dan tidak merasa bersala ,padahal kata Bung Karno mengatakan menjadi pengecut .
Di tengah maraknya isu perpecahan berbau SARA (suku, agama dan ras) dan ujaran kebencian di ruang-ruang publik, bangsa ini butuh oase untuk menyegarkan ingatan serta ber kotemplasi meresapi apa yang terjadi dengan bangsa ini oleh sebab itu membuka sejarah bangsa sebagai kaca benggala sangat lah penting agar kita tidak semakin tersesat dan berkubang dalam demokrasi liberal yang semakin memecah bela bangsa ini
Cuplikan orasi kebangsaan Bung Karno menjadi sebuah narasi penting yang patut disimak oleh seluruh elemen masyarakat.
Dalam setiap pidatonya, Bung Karno selalu mengingatkan agar peringatan Hari Kebangkitan Bangsa tidak dimaknai sebagai seremonial belaka.
Tanggal 20 Mei 1908, kata Soekarno, adalah salah satu tonggak penting perlawanan atas penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Peristiwa tersebut menjadi tonggak yang menyatukan tenaga rakyat dalam entitas sebuah bangsa.
Saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 20 Mei 1964, Soekarno menyinggung soal upaya adu domba dan pemecahbelahan sebagai senjata yang paling ampuh untuk menguasai suatu bangsa.
Lantas dia membandingkan kondisi bangsa Indonesia saat itu dengan zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Penduduk Nusantara yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia, kata Soekarno, merasa menjadi satu bangsa yang tidak terbagi-bagi.
Bangsa Indonesia, dari pulau yang barat sampai ke pulau yang paling timur adalah satu negara, satu bangsa yang tidak bisa dibagi-bagi.
Tetapi kemudian imperialisme memecah belah kita, kita diadu domba satu sama lain. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sumatera. Orang Sumatera dibikin benci kepada orang Jawa. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sulawesi. Orang Sulawesi dibikin benci sama orang Jawa… Dan ini salah satu senjata yang immateriil,” tutur Soekarno seperti dikutip dari kumpulan naskah pidato berjudul ‘Bung Karno: Setialah Kepada Sumbermu’.
Pada pidato 20 Mei 1963 di alun-alun kota Bandung, Soekarno menegaskan bahwa persatuan dan kesatuan merupakan satu-satunya cara agar bangsa Indonesia lepas dari penghinaan serta penindasan oleh bangsa lain.
Dia mengumpamakan bangsa Indonesia sebagai sapu lidi, yang terdiri dari beratus-ratus lidi. Jika tidak diikat, maka lidi tersebut akan tercerai berai, tidak berguna dan mudah dipatahkan.
“Tetapi jikalau lidi-lidi itu digabungkan, diikat menjadi sapu, mana ada manusia bisa mematahkan sapu lidi yang sudah terikat, tidak ada saudara-saudara,” kata Soekarno.
Jika kita tidak kembali pada persatuan bangsa rasa nya bangsa ini bukan nya akan lemah tetapi bangsa Indonesia akan punah dan di tindas oleh Neo kolonialisme dan Neo Imperalisme.
Apakah kita sadar sebagai anak bangsa ?