SURABAYA, beritalima.com | Seperti diketahui, salah satu sumber komoditas pangan yang diminati masyarakat Indonesia, yaitu kedelai, telah menjadi perbincangan publik. Hal ini berkenaan dengan naiknya harga kedelai dunia. Sesuai yang dijelaskan dalam tren harga dari Chicago Board of Trade (CBOT), bahwa pada pertengahan Mei 2021, harga kedelai dunia berada di kisaran US$ 15,86 per bushels atau harga akhir Rp 10.084 per kg, naik sekitar 11,2% dibanding April 2021 yang tercatat sebesar US$ 14,26 per bushels. Fakta ini tentunya memberikan dampak pada produksi pangan berbasis kedelai, yaitu tahu dan tempe, mengingat kedelai impor merupakan sumber utama produksi tersebut.
Fakta lapangan memang menunjukkan perubahan pasca kenaikan global harga kedelai. Sebagai contoh di beberapa wilayah di Jatim, yaitu Jombang, Pacitan, Mojokerto, Blitar dan Kediri, bahwa produsen tahu dan tempe disana memperkecil ukuran produksi. Strategi ini ditempuh tanpa harus menaikan harga tahu tempe sebagai akibat kenaikan harga kedelai impor yang mencapai kisaran di atas 10.000/kg, naik dari harga normal yang umumnya Rp. 6.000/kg. Meski begitu, produsen maupun pedagang tahu tempe tetap menjerit. Apalagi, kenaikan bahan baku tahu tempe terus merangkak naik sejak Oktober 2020.
Problem yang dialami pelaku usaha tahu dan tempe tersebut, tentunya menambah daftar tantangan usaha mereka agar tetap bertahan, selain situasi Pandemi Covid 19 yang belum sepenuhnya berakhir. H Puji Sihono (50), salah satunya. Pemilik pabrik tahu di Kelurahan Pakunden, Kota Blitar tersebut, mengaku mengalami penurunan drastis produksi tahu, yaitu yang semula mampu memproduksi 3,5 ton kedelai per hari, saat ini turun hingga 20 persen dengan jumlah produksi hanya 3,1 ton kedelai per hari. Hal inilah yang menimbulkan keprihatinan banyak pihak, diantaranya Ketua DPD Perempuan Tani HKTI Jatim, Dr. Lia Istifhama, M.E.I. Dijelaskan dalam diskusi bertajuk ‘Menyikapi Kenaikan Harga Kedelai’ yang disiarkan TVRI Jatim pada 4/6, Ning Lia menegaskan pentingnya solusi berupa penguatan potensi kedelai lokal.
“Saya pernah mengunjungi pelaku usaha UMKM kripik tempe di Mojokerto. Dari sana saya mengetahui bahwa bahan baku yang digunakan adalah kedelai dari Amerika Serikat. Kemudian saat saya turun di beberapa wilayah lainnya yang mana merupakan produsen tempe, ternyata juga menggunakan bahan kedelai impor. Mereka menjelaskan bahwa kedelai lokal kurang memenuhi kebutuhan produksi mereka. Menurut mereka, ini berkaitan dengan kualitas dan kuantitas.”
“Dari sini, maka menjadi catatan penting, mengapa kedelai impor yang menjadi favorit sehingga seakan-akan kedelain impor-lah yang menjamin kualitas tempe yang mereka produksi?”, ujar aktivis tersebut.
Berangkat dari fakta tersebut, warga asli Surabaya yang meraih penghargaan Tokoh Millenial Literasi Jatim versi ARCI tersebut, mencoba merumuskan solusi yang bisa diambil atas kenaikan harga kedelai.
“Diantaranya adalah perlunya pendampingan yang bisa melibatkan setidaknya tidak pihak, yaitu petani lokal itu sendiri, pelaku usaha tahu dan tempe yang mengetahui spesifikasi kedelai yang dibutuhkan produksi mereka, dan pemerintah melalui tenaga dampingan yang melakukan fungsi controlling. Jadi, diharapkan petani sejak masa tandur hingga panen, secara sistematis berjalan lancar sesuai kualitas dan kuantitas kebutuhan usaha tahu tempe. Tentu, hal ini sebagai upaya menekan oversupply alias harga kedelai lokal yang anjlok saat panen”.
Ning Lia juga menambahkan, bahwa pendampingan tersebut sekaligus menemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh petani kedelai dari masa tandur hingga panen. Tak lupa, dijelaskan olehnya, bahwa penguatan potensi kedelai lokal dapat terwujud dengan baik jika ada peran pelaku UMKM di wilayah sekitar petani kedelai.
“Diharapkan, bermunculan pelaku-pelaku UMKM di sekitar pertanian. Dengan begitu, dapat meringkas mata rantai pemasaran. Efektivitas dan efisiensi akan sangat dipengaruhi jika terdapat sinergi yang sangat baik diantara petani kedelai dengan pelaku usaha yang mampu menyerap panen kedelai lokal. Pada akhirnya, penguatan budidaya kedelai lokal, menjadi spirit diversifikasi pertanian.”
Problem pertanian nasional menurutnya, banyak bertumpu pada Jawa Timur mengingat Jatim merupakan barometer pangan nasional.
“Gubernur Khofifah sangat detail dan komperehensif dalam menganalisa data. Seperti yang disampaikan oleh Kadistan (Kepala Dinas Pertanian Jatim) Dr. Hadi Sulistyo, bahwa memang kondisi riil terjadi defisit atau kekurangan sebesar 390.677 ton. Dan fakta ini merupakan stimulus Pemprov Jatim yang semakin menguatkan potensi lokal kedelai. Tentunya, jika wilayah-wilayah lainnya melakukan hal serupa, bukan mustahil jika kedepan justru Indonesia melakukan ekspor kedelai”, pungkasnya. (red)