Harga Kedelai Melonjak, Nevi: Kado Pahit Awal Tahun Buat Industri Tahu dan Tempe

  • Whatsapp
MOGOK PRODUKSI TEMPE : Bapak Tasmadi seorang pembuat tempe sedang memperlihatkan hasil olahan tempenya yang sudah jadi di Daerah Kampung Rawa Ps. Gembrong, Jakarta Pusat, Selasa (24/07). Dia mengaku semua pembuat/pabrik tempe se-Jabotabek sepakat untuk tidak dulu memproduksi tempe karena bahan kedelai mahal dan kemungkinan mulai besok tempe sudah tidak ada dipasar selama beberapa hari. FOTO : KHAIRIZAL ANWAR / RAKYAT MERDEKA

JAKARTA, Beritalima.com– Awal 2021 para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir 50 persen. Kenaikan harga kedelai tersebut memukul para pelaku industri tahu dan tempe, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan mogok produksi.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Hj Nevi Zuairina, Senin (4/1) mengatakan, kenaikan harga kedelai yang hampir mencapai 50 persen menjadi kado pahit buat pelaku industri tahu dan tempe awal tahun ini mengingat di tengah wabah pandemi virus Corona (Covid-19) ini, daya beli masyarakat menurun.

Kedelai sebagai bahan baku utama industri tahu dan tempe tentu sangat mempengaruhi harga produk tahu dan tempe di masyarakat. Jika harga kedelai naik, harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik.
“Dengan begitu, kenaikan harga kedelai menimbulkan efek ganda, karena para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual.” tambah anggota Komisi VI DPR RI tersebut.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai sepanjang semester I/2020 mencapai 1,27 juta ton atau US$510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun (dengan menggunakan kurs Rp 14.700). Dari total impor tersebut, 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.

Dijelaskan, sesuai dengan amanat UU No: 7/2014 tentang Perdagangan khususnya pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat dan melindungi industri tertentu di dalam negeri atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan.

“Tentu hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai buat industri dapat dipenuhi tanpa harus impor,” kata wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Sumatera Barat ini.

Nevi mengingatkan, 1992 kita pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun. “Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kedelai,” kata anggota DPR RI yang membidangi Perdagangan dan Industri.

Meredanya perang dagang AS dengan China diduga menjadi penyebab kenaikan harga kedelai. Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung kepada AS menjadi terdampak ketika China memborong kedelai dari AS.

“Momentum baiknya hubungan dagang AS-China yang berakibat pada kenaikan harga kedelai harus dimanfaatkan Pemerintahan Jokowi untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri,” ujar Nevi.

Nevi menambahkan, Pemerintah juga harus dapat memperbaiki tata niaga kedelai dalam negeri. Selain itu dibutuhkan kolaborasi aktif antara Kementerian dan Lembaga terkait serta melibatkan pelaku industri dan UMKM agar dapat menciptakan stabilitas harga kedelai.

“Melonjaknya harga kedelai juga dapat meresahkan pedagang kecil. Karena nanti penjual gorengan tidak dapat menjual tahu dan tempe goreng, sehingga pendapatan mereka pun bisa berkurang,” demikian Hj Nevi Zuairina. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait