Denny JA
Semakin kau sukses sebagai penguasa, semakin kau kurang manusiawi. Itulah harga yang harus dibayar menjaga citra sebuah kekuasaan.
Apa pula jadinya, jika hatimu lembut, tapi di pusat kekuasaan, dirimu terperangkap dalam hukum besi yang kejam?
Pesan ini kuat tergambar. Selama enam bulan terakhir, saya menyelami pusat kekuasaan di Inggris. Tidak melalui buku, tapi TV series: 40 episodes dari The Crown.
Ketika tulisan ini dibuat, biografi politik dalam bentuk drama film itu sudah sampai di session ke 4, di Netflix.
Drama kekuasaan yang terlalu mendominasi kehidupan pribadi dieksplor di sana. Kisah begitu beragam.
Mulai dari seorang gadis muda bernama Elizabeth di tahun 1947 menjelang menjadi Ratu. Drama terus merekam rentang 70 tahun peristiwa hingga ke abad 21.
Tak hanya kisah Elizabeth. Tak hanya kegalauan Raja Philips yang menjadi suaminya. Juga kisah Pangeran Charles. Lady Di. Juga sosok Winston Churchill. Margareth Thatcher.
Namun sisi psikologis paling kelam justru terasa pada drama pribadi Margareth. Ia satu satunya adik Ratu Elisabeth.
Esai ini mengeksplor efek kekuasaan melalui kacamata Margareth. Terutama di episode 37 (Session 4, episode 7: Heredity Principle).
-000-
Di usia 50an, Margareth berada di puncak depresi. Rokok. Minuman keras. Pesta. Perselingkuhan. Semua sudah ia lakukan.
Namun hal itu tak kunjung kuasa mengobati hal paling dasar: hidup yang tak bermakna. Ia merasa tersisih. Ia melihat kejamnya aturan kerajaan.
Terlalu banyak yang sudah Ia alami. Ketika usia 5 tahun, Ia melihat pamannya King Edward VIII. Pamannya Raja Inggris saat itu. Namun paman jatuh cinta pada Wallis Simpson.
Cinta sang Raja begitu dalam. Tapi Wallis seorang janda. Tak layak raja Inggris menikahi seorang janda. Apalagi bukan pula berdarah biru. Karena tetap memilih cinta, sang Raja dipaksa mundur.
Tiba tiba, Ayahnya Margareth yang menjadi Raja. Lalu kakaknya Elizabeth menggantikan Ayah sebagai Ratu.
Margareth merasa lebih punya kapasitas untuk memimpin. Ia lebih cerdas. Ia lebih banyak membaca. Ia lebih bergaul. Apa daya Ia hanya anak kedua.
Tiba masa dewasa. Ia jatuh cinta pada seorang pria: Peter Townsend. Pria itu begitu matang. Mampu membuatnya terbuai. Ia adalah “Love of my life,” ujar Margareth.
Tapi Margareth adalah pewaris tahta kerajaan. Jika ia memaksakan diri menikah, nasibnya seperti Paman. Ia akan dibuang dari Royal Family.
Dengan berat hati, Margareth pun berpisah. Ia melarikan diri merokok, minum, pesta. Ia mencoba menikah. Tapi ujungnya juga bercerai.
Sore itu. Margareth meminta waktu khusus berjumpa Ratu, kakaknya sendiri. Kakak satu satunya.
Ujar Margareth, “Aku datang padamu tidak hanya karena dirimu Ratu. Tapi kau satu satunya kakakku. Beri aku peran yang lebih. Beri aku tugas kerajaan.”
Saat itu, Margareth baru saja jatuh cinta. Tapi sang kekasih memilih menjadi pendeta katolik.
“Hidupku hampa,” ujar Margareth. “Bantu aku. Bantuan seorang kakak kepada adiknya.”
Ratu Elizabeth terdiam. Ia minta waktu memikirkan permintaan itu.
Tak lama kemudian, mereka berjumpa lagi. Elizabeth didampingi penasehat ahli kerajaan.
Bukannya peran baru diberikan kepada Margareth. Ia malah diminta mengurangi perannya. Anak kedua Elizabeth, Andrew sudah berusia 21 tahun.
Berdasarkan aturan kerajaan, anak dari Ratu setelah dewasa akan menggantikan banyak peran kerajaan dari adik Ratu.
Margareth berteriak. “Aku datang padamu sebagai Adik. Bukannya kau beri peran baru padaku untuk mengisi hidupku. Malah peran ku, kau kurangi.”
Elizabeth berteriak tak kalah kerasnya. “ Jika aku bisa, semua yang kau minta akan kuberi. Tapi aturan kerajaan harus dipatuhi. Aku bisa apa?”
Dalam hidup yang semakin tersisih, Margareth menemukan hal yang membuatnya terkejut. Alang kepalang.
Inilah yang digali dalam episode ke 37: Heredity Principle.
-000-
Pangeran Charles mendatangi Margareth. Di taman itu, sambil makan siang, Charles berbagi kisah.
Ujar Charles, “Akupun tak berbahagia. Dengan istriku, Diana, kami lebih sering bertengkar. Itulah sebabnya, aku mulai mencari orang lain.”
Jawab Margareth, “Aku tahu. Selingkuhanmu itu. Semua tahu.”
“Bukan,” ujar Charles. Bukan soal Camila. Aku mencari psikiater. Aku konsultasi dengan ahli. Mungkin ini juga bisa membantumu.”
Charles pun memberikan nama Ahli itu.
Drama baru dalam kehidupan Margareth pun dimulai. Awalnya Ia tak berminat. Namun apa salahnya mencoba.
Margareth pun mendatangi psikiater itu. Ia bukan ahli biasa. Ia juga seorang peniliti. Ia wanita yang sudah senior.
-000-
Tak disangka, sang ahli itu justru mencoba mengeksplor silsilah keluarga Margareth dari garis Ibu.
Ia memberi pandangan baru. Depresi mental yang dialami Margareth sangat mungkin karena semacam penyakit keturunan. Heredity.
“Apa?,” ujar Margareth kaget. “Aku mengalami depresi, juga pangeran Charles mengalami depresi, itu karena keturunan?”
Ahli itu menjawab tenang. “Coba kau telusuri keluarga Ibumu. Aku mendengar ada keluarga yang kini dikurung dan hidup selamanya di rumah sakit jiwa.”
“Mereka adalah sepupumu. Anak dari kakak ibumu. Mereka sudah lama hidup di rumah sakit jiwa.”
Margareth kaget luar biasa.
Iapun mengadu kepada Elizabeth, kakaknya, Ratu Inggris. Berdua mereka mencari info dari buku kerajaan.
Ketemu nama itu. Katherine Bowes- Lyon dan Nerissa Bowes- Lyon. (1) Mereka berdua tak pernah mendengar nama ini. Ini sepupu mereka sendiri.
Tapi di buku itu tertulis. Katherine dan Nerissa sudah wafat. Ini informasi resmi.
Kata Ratu Elizabeth, “tak heran kita tak mendengarnya. Mereka sudah wafat.”
Tapi Margareth punya firasat yang beda. Diam diam, dibantu temannya, mantan kekasih yang memilih menjadi pendeta Katolik, mereka datangi rumah sakit jiwa itu.
Margareth menunggu di mobil. Ujar Margareth: “Kau saja yang masuk ke dalam. Cari nama itu. Dirimu pendeta. Tak ada yang curiga.”
Sang pendeta pun dengan otoritas agama bebas di rumah sakit itu. Ia. Ia mengunjungi siapa saja. Berbicara dengan siapa saja dalam rangka ikut menyembuhkan, memberi perhatian
Sang pendeta pun membawa kabar.
Betapa kaget Margareth. Ternyata dua sepupunya yang diberitakan wafat masih hidup. Mereka memang mengalami gangguan mental. Bahkan ada pula sepupu lain yang hidup di Rumah Sakit Jiwa itu.
Ujar pendeta temannya, “sepupumu tahu. Elizabeth itu adalah keluarga mereka.”
Petir meledak di kepala Margareth.
“Mengapa bisa terjadi hal ini? Mengapa sepupunya yang sakit diberitakan mati? Mengapa keluarga sendiri dibuang?”
Margareth terlibat dalam pertengkaran hebat dengan Ibunya.
“Kejamnya kau Ibu! Mereka itu keponakanmu. Saat itu kau istri Raja. Mengapa kau buang keluargamu sendiri? Mengapa kau ikut diam? Mengapa mereka diberitakan sudah mati?”
Hubungan ibu anak sempat tegang. Mereka dingin satu sama lain. Hingga suatu hari sang Ibu menjelaskan hal ihwal yang sebenarnya.
Ibu suri pun bercerita. Inilah Realitas kekuasaan.
“Dengar anakku,” ujar Ibu.
“Ayahmu tak meminta menjadi raja. Kakanya mundur sebagai Raja. Tiba tiba Ayahmu menggantikannya.”
“Anak ibu, keturunan Ayahmu, yang akan terus menjadi Raja.
Apa jadinya jika rakyat tahu ada keluarga raja yang sakit jiwa?”
“Kakakmu, dan seluruh keturunan kita akan dianggap bemasalah secara genetik. Kita akan dizalimi. Dianggap secara mental tidak kompeten.”
“Jika itu terjadi, seluruh tatanan kerajaan akan runtuh. Bahwa keponakanmu harus diberitakan mati, tak perlu diketahui mereka sakit jiwa, itu harga yang harus dibayar!”
“Ayahmu Raja. Kakakmu Ratu. Tak boleh ada terganggu oleh isu keluarga kita tak kompeten karena ada “heredity principle.”
Margareth terdiam. Ia semakin terpana. Kejamnya kekuasaan. Tapi itu tak terhindari.
Perang batin terus berkecamuk. Semakin Margareth merokok. Minum. Pesta. Selingkuh.
-000-