Ternate, BeritaLima.com – Maluku Utara adalah wilayah kepulauan yang memiliki 395 pulau besar dan kecil dengan total luasan daratan sebesar 3,1 juta hektar. Rabu, (29/5/2019)
Tercatat ada 313 ijin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai lebih dari 1 juta hektar. Konsesi pertambangan tersebut berada di pulau besar seperti Halmahera dan pulau-pulau kecil, mulai dari pulau Pakal, Mabuli, dan Gee di Halmahera Timur, pulau Gebe di di Halmahera Tengah, dan Pulau Obi di Kabupaten Halmahera Selatan.
Keberadaan industri tambang ini telah berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan Maluku Utara, mulai dari perampasan lahan, pencemaran air, hilangnya wilayah tangkapan nelayan, kriminalisasi dan intimidasi, termasuk juga deforestasi hutan.
Pesisir dan Pulau-pulau yang dihuni masyarakat seperi Pulau Gebe, Pulau Obi, Pulau Taliabu, Pulau Halmahera, dan pulau tak berpenghuni tapi keberadaanya sangat bermanfaat bagi tempat persinggahan dan wilayah tangkapan nelayan dan ekosistem, menjadi contoh nyata betapa eksploitasi habis-habisan selama ini telah membuat membuat pulau-pulau itu sekarat.
” Penambangan telah mengupas vegetasi dan membongkar isi perut pulau, sehingga kerusakannya tak hanya wilayah daratan, tapi juga wilayah laut yang rentan tercemar material tambang.”
Pada Peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) 29 Mei 2019, kami mahasiswa dan pegiat lingkungan di Kota Ternate melakukan aksi di Kantor Cabang PT. ANTAM di Kelurahan Dufa-dufa.
Sebagaimana laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. ANTAM turut berkontribusi dalam pengrusakan ekologi di Maluku Utara.
Seperti yang terjadi di Pulau Gebe di Halmahera Tengah; Pulau Gee dan Pakal di Halmahera Timur.
Kami berharap, pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah semestinya menghentikan aktivitas tambang (moratorium) dan mencabut seluruh izin pertambangan, yang terbukti telah menghancurkan ruang hidup masyarakat. Sebaliknya Pemerintah wajib mendukung kemandirian masyarakat pesisir dan pulau melalui penyelamatan lahan, air, hutan, dan laut, termasuk juga segera mengeluarkan produk hukum dan kebijakan yang melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk melindungi wilayah pesisir dan pulau kecil dari ekspansi industri ekstraktif.
Pemerintah juga harus segera melakukan langkah penegakan hukum yang tegas dan terbuka atas seluruh pelanggaran yang dilakukan korproasi selama ini, melakukan revisi atas Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang tidak berpihak pada penyelamatan ruang hidup masyarakat.
Segera melakukan pemulihan sosial dan ekologi yang telah terjadi selama ini di Maluku Utara. Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mesti turun tangan, mengatasi persoalan keterancaman pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, yang terus tergerus oleh laju ekspansi industri ekstraktif, dimana pemerintah daerah dan Kementerian ESDM di Jakarta turut andil di dalamnya.(***)