Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)
HARI ini, Ahad, 31 Mei 2020, adalah “puncak peringatan” Hari Ulang Tahun (HUT) ke 727
Kota Surabaya. Di masa pandemi virus corona atau Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda dunia ini Surabaya berusia 727 tahun atau tujuh abad lebih 27 tahun. Hari kelahiran Kota Surabaya, sejak tahun 1975, dinyatakan berdiri tanggal 31 Mei 1293. Demikian kesimpulan yang dibuat sebuah Tim Peneliti dan Pengkaji Ulang “Hari Lahir atau Hari Jadi Surabaya.
Sebelum tahun 1975, peringatan Hari Lashir Kota Surabaya, diperingati setiap tanggal 1 April. Sebab, berdasarkan Undang-undang, secara resmi Pemerinthan Kota Surabaya baru dibentuk tanggal 1 April 1906. Seandainya, HUT (Hari Ulang Tahun) Kota Surabaya masih tetap diperingati tiap tanggal 1 April, maka tahun 2020 ini, Kota yang berjuluk Kota Pahlawan ini masih berusia 116 tahun. Bukan 727 tahun, seperti yang dinyatakan pada hari ini 31 Mei 2020.
Memang, sebelum tanggal 1 April 1906 itu, Wilayah Surabaya, merupakan sebuah “kabupaten” yang disebut Kabupaten Surabaya. Tetapi, wilayah Kabupaten Surabaya itu, mencakup wilayah Sidoarjo dan Gresik, yang dipimpin oleh bupati. Jauh sebelumnya, Surabaya adalah “kadipaten” atau keadipatian. Pimpinan Pemerintahannya disebut Adipati.
Generasi masa kini, di zaman “now” ini, perlu tahu, mengapa usia Kota Surabaya yang sebenarnya masih “muda” itu, baru 116 tahun (seabad lebih), “dituakan” menjadi tujuh abad lebih?
Dulu, di zaman penjajahan Kolonial Belanda, sebagian wilayah Kabupaten Surabaya, dipisahkan pemerintahannya, menjadi “kota”, yang disebut Gemeente Surabaya atau Pemerintahan Kota Surabaya, terhitung sejak tanggal 1 April 1906.
Dengan dibentuknya Gemeente Surabaya, 1 April 1906, maka di Jawa Timur ada tiga pemerintahan yang bernama Surabaya.
Yang pertama: Keresidenan Surabaya.
Yang kedua: Kabupaten Surabaya.
Yang ketiga: Gemeente (Kota) Surabaya.
Berdasarkan catatan sejarah, yang pertamakali menggunakan nama Surabaya, adalah: Kadipaten Surabaya. Kepala Pemeritahannya: Adipati. Saat itu pusat pemeritahannya berada di Surakarta atau Solo (Jawa Tengah) yang dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono.
Wilayah kekuasaan Pemerintahan Kadipaten Surabaya, adalah: Mojokerto, Sidoarjo, Gresik atau Sidayu dan Lamongan.
Kemudian Kadipaten Surabaya berubah menjadi Kabupaten Surabaya dengan pejabat tertinggi: Bupati. Wilayah kekuasaan Bupati Surabaya mengecil, hanya mencakup Sidoarjo, Surabaya dan Gresik.
Ada lagi yang disebut Keresidenan Surabaya. Ini merupakan pemerintahan yang langsung berada di bawah Gubernur Jawa Timur. Keresidenan dipimpin pejabat yang disebut Residen. Residen Surabaya, membawahi Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya.
Kendati, sejak tahun 1975, tanggal lahir Surabaya sudah diubah dari tanggal 1 April menjadi 31 Mei, ternyata tanggal itu, memang “belum permanen”. Seandainya ada ahli sejarah di masa yang akan datang mempunyai argumentasi yang lebih akurat, maka HUT Surabaya masih dapat diubah lagi. Hal ini dinyatakan dalam persetujuan resmi DPRD Kotamadya Surabaya melalui Surat Keputusan DPRD Kotamadya Surabaya Nomor 02/DPRD/Kep/75 tanggal 6 Maret 1975. Kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975.
Pada pertimbangan SK Walikota Surabaya tersebut, dinyatakan Hari Jadi Kota Surabaya yang diperingati setiap tanggal 1 April, saat diresmikannya Gemeente Surabaya tahun 1906 oleh Pemerintah Belanda pada saat itu, tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab, selain penetapan tanggal tersebut berbau kolonial, Surabaya sebenarnya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sekitar abad XIII.
Berdasarkan pertimbangan itu, dirasa perlu untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya yang sesuai dengan data faktual yang diperoleh dari hasil penelitian, sejarah dan ciri khas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Pada bagian akhir SK Walikota Surabaya yang ditandatangani Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, H.Soeparno, tertanggal 18 Maret 1975, diputuskan tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya – walaupun bentuk pemerintahan saat itu belum sebagai “kota”. Hanya merupakan “ranah” tempat bermukim warga.
Peringatan Hari Jadi Kota Surabaya sampai sekarang tetap dilaksanakan setiap tanggal 31 Mei. Belum ada pihak yang secara tegas ingin mengubahnya, walaupun sebenarnya ada protes-protes “ringan” dari ahli sajarah dalam beberapa kali seminar. Dalam persetujuan Pansus DPRD Kota Surabaya tanggal 6 Maret 1975 ada klausal yang berbunyi “bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 ini masih dimungkinkan untuk ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta-fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti”.
Jika dibaca pendapat dan tanggapan, serta kesimpulan tentang penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya itu, memang masih lemah. Diakui secara faktual bahwa tanggal yang pasti dengan pembuktian data sejarah belum ditemukan. Bagi generasi sekarang, atau juga para penguasa dan petinggi pemerintahan di Kota Surabaya, kelihatannya masih tetap mengikuti keputusan yang sudah ada.
Bertambah Enam Abad
Nah, generasi muda dan generasi yang akan datang perlu mengetahui sejarah Kota Surabaya ini. Mengapa usia Kota Surabaya yang semestinya tahun 2020 ini, masih 116 tahun, bertambah enam abad, sehingga menjadi 727 tahun? Tentunya, riwayat atau sejarah perubahan hari jadi Surabaya dari tanggal 1 April menjadi 31 Mei, perlu diketahui secara pasti.
.
Berdirinya Pemerintahan Kota Surabaya, bersamaan dengan tujuh kota di Hindia Belanda atau Indonesia waktu. Ini adalah pembentukan pemerintahan kota yang pertama kali di Nusantara ini. Ke tujuh kota itu adalah: Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Padang, Palembang dan Makassar. Selanjut tiap tanggal 1 April berdiri kota-kota lain di Indonesia.
Pemerintahan Kota umumnya didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota yang banyak ditinggali oleh warga Belanda. Demi keamanan dan terpisah dari Pemerintahan Kabupaten yang dipimpin oleh bupati yang berasal dari warga pribumi. Sedangkan Pemerintah Kota dinyatakan bersifat otonom dan dipimpin oleh bangsa Belanda. Pemerintahan Kota disebut Gemeente.
Status yang diberikan kepada Surabaya oleh Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1906 adalah “Zelfstaandige Stadsgemeente” atau Kotapraja dengan hak otonom.
Peringatan HUT (Hari Ulang Tahun) Kota Surabaya yang selalu dirayakan setiap tanggal 1 April itu dirasa kurang sregatau kurang pas. Rasanya kurang pas kalau Surabaya yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mojopahit, ternyata dalam peringatan HUT-nya masih “terlalu muda”.
Dalam berbagai legenda dan cerita lama, nama Surabaya tidak lepas dari sejarah berdirinya Karajaan Majapahit. Maka disepakatilah, bahwa hari lahir Surabaya hamper bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit.
Citra dan imagesudah terbentuk, bahwa Surabaya sudah berusia “tua sekali”, yakni tujuh abad. Hari ulang tahunnya diperingati setiap tanggal 31 Mei, karena disepakati Surabaya ada dan berdiri sebagai sebuah permukiman resmi pada tanggal 31 Mei 1293.
Ceritanya dulu, beberapa orang yang peduli terhadap Surabaya, menyampaikan kepada Walikota Surabaya, R.Soekotjo (waktu itu), agar hari lahir atau hari jadi Surabaya, tidak berdasarkan pembentukan pemerintahan kota atau Gemeente, tetapi berdasarkan sejak kapan adanya nama Surabaya disebutkan sebagai suatu kawasan permukiman. Dengan demikian, usia Surabaya tidak terlalu muda, namun sudah sekian abad.
Para tokoh masyarakat, ahli sejarah, pengamat dan para wakil rakyat waktu itu bersepakat untuk melakukan pengkajian tentang sejarah Surabaya. Dari penelusuran sejarah yang diperoleh dari berbagai buku bacaan, prasasti dan temuan-temuan lainnya, termasuk cerita rakyat dan legenda, ditemukan beberapa tanggal yang mempunyai kaitan dengan sejarah Surabaya.
Berdasarkan keputusan Walikota Surabaya tahun 1973, dibentuklah tim khusus untuk melakukan penelitian. Tim itu melakukan penelitian secara ilimiah, selama satu tahun lebih. Akhirnya, ada empat tanggal yang ditetapkan sebagai alternatif hari jadi Surabaya. Dari empat tanggal yang diusulkan itu, ditetapkan tiga tanggal yang cukup layak dan satu tanggal dinyatakan minderheids nota, oleh anggota tim.
Alternatif pertamayang diajukan tim adalah tanggal 31 Mei 1293. Disebutkan, bahwa pada tanggal itu, tentara Raden Wijaya dari Mojopahit memenangkan peperangan melawan tentara Tar-tar yang dikomandani Khu Bilai Khan dari Cina dan berhasil mengusirnya dari Hujunggaluh, nama desa di muara Kalimas.
Alternatif kedua, tanggal 11 September 1294, waktu itu Raden Wijaya menganugerahkan tanda jasa kepada Kepala Desa Kudadu dan seluruh rakyatnya atas jasa mereka membantu tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar-tar.
Alternatif ketiga, tanggal 7 Juli 1358, yaitu tanggal yang terdapat pada Prasasti Trowulan I yang menyebut untuk pertamakalinya nama Surabaya dipakai sebagai naditira pradeca sthaning anambangi(desa di pinggir sungai tempat penyeberangan).
Alternatif keempatadalah tanggal 3 November 1486, tanggal yang terdapat pada Prasasti Jiuyang menjelaskan, bahwa Adipati Surabaya untuk pertamakalinya melakukan pemerintahan di daerah ini.
Dari empat alternatif tentang hari yang bakal ditetapkan sebagai hari jadi Surabaya, dilakukan pengkajian menyangkut data sejarah, pertimbangan yang ideal dan nilai serta jiwa kepahlawanan sebagai ciri khas Surabaya. Walikota Surabaya, R.Soekotjo waktu itu mengusulkan kepada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31 Mei 1293.
Dalam rapat-rapat DPRD Kota Surabaya, setelah melakukan kajiulang dari berbagai aspek, DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No.02/DPRD/Kep/75 tertanggal 6 Maret 1975, mengesahkan dan menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31 Mei 1293. Berdasarkan itu, Walikota Surabaya R.Soekotjo menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat Keputusan No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975, yang menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Surabaya.
Dengan ditetapkannya tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Surabaya, maka sejak tahun 1975, peringan HUT Surabaya berubah dari tanggal 1 April menjadi 31 Mei, hingga sekarang ini.
Diprotes Ahli Sejarah
Saat peringatan tujuh abad atau 700 tahun Berdiri Kerajaan Majapahit, penetapan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 1293, yang disebutkan sebagai hari bersejarah, yaitu saat kemenangan tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar Tar pimpinan Khu Bilai Khan, dan meninggalkan Hujunggaluh, ternyata “diprotes” ahli sejarah.
Dalam Buku 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, tentang sejarah perkembangan Majapahit, halaman 53, oleh Dr.Riboet Darmosutopo dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan, bahwa tentara Khu Bilai Khan, meninggalkan Jawa, yakni pantai Hujung-galuh adalah tanggal 19 April 1293 M. Pasukan Tar Tar itu dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya, dan sebagian lagi melarikan diri dan selamat sampai di Cina. (W.P.Groeneveldt, 1960: 20-24)
Setelah berhasil mengusir tentara Tar Tar, Raden Wiijaya melakukan persiapan mendirikan kerajaan baru, namanya Majapahit. Berdirinya Majapahit, ditandai dengan naik tahtanya Raden Wijaya tanggal 12 November 1293.
Nah, kalau tanggal kemenangan Raden Wijaya itu yang dijadikan patokan Hari Lahir atau Hari Jadi Surabaya, kata beberapa ahli sejarah dalam perdebatannya saat memperingati 700 tahun Majapahit itu, maka tanggal yang benar adalah 19 April 1293, bukan tanggal 31 Mei 1293.
Yang jelas, apapun dalilnya, sejak tahun 1975, Surabaya memperingati hari jadi tiap tanggal 31 Mei dan sebelumnya tiap tanggal 1 April. Tetapi, apakah mungkin diubah lagi? Ah, rasanya tidak perlu. Tua atau muda sebuah kota seperti Surabaya ini, yang penting penataan kota itu bermanfaat bagi warganya.
Dikaitkan dengan Raden Wijaya
Kelahiran Surabaya selalu dikaitkan dengan Raden Wijaya. Siapakah sebenarnya Raden Wijaya? Warga kota Surabaya dan pemerhati Surabaya, layak mengetahui tentang siapa sebenarnya Raden Wijaya.
Banyak sumber yang membicarakan tentang tokoh Raden Wijaya. Kitab-kitab kidung Pararaton, Nagarakertagamadan prasasti adalah sumber pokok yang mengungkap peranan Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya adalah anak Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Cempaka atau Narasinghamurti, buyut Mahisa Wongateleng, piut (canggah) dari Ken Arok-Ken Dedes.
Raden Wijaya mula-mula mengabdi kepada raja Kertanegara dan dipercaya memimpin prajurit Singasari. Maka tidak aneh ketika Singasari diserang Jayakatwang, Raden Wijaya diperintah untuk menghadapinya.
Ketika Singasari diduduki prajurit Kadiri, puteri-puteri Kertanegara yang akan dikawinkan dengan Raden Wijaya ditawan mereka. Dengan usaha yang gigih puteri yang tua berhasil direbut Raden Wijaya, meskipun Raden Wijaya beserta teman-temannya terus dikejar tentara Kadiri.
Prasasti Kudadu menyebutkan bahwa Raden Wijaya kemudian berunding dengan ke-12 prajuritnya yang setia. Mereka sepakat mengungsi ke madura untuk berlindung kepada Arya Wiraraja. Raden Wijaya keluar dari hutan menuju Pandaan, dan karena Gajah Panggon sakit, ia ditinggal di rumah kepala desa Pandaan. Raden Wijaya dan prajuritnya menuju ke Datar dan malam harinya menyeberang dengan perahu ke Madura.
Setiba di Madura Raden Wijaya menghadap Arya Wiraraja. Dia dinasehati agar menghamba kepada Jayakatwang di Kadiri. Tujuan pokoknya ialah untuk melihat kekuatan kerajaan Kadiri. Ketika penghambaan telah diterima dan juga diberi kepercayaan oleh oleh Jayakatwang, Raden Wijaya dianjurkan Arya Wiraraja agar minta hutan Tarik untuk dijadikan kota. Arya Wiraraja membantu dengan mengerahkan orang Madura sebagai tenaga kerja.
Setelah Tarik sudah jadi kota dan Raden Wijaya tinggal di sana, ia berhasrat menyerang Jayakatwang. Tetapi atas nasehat Arya Wiraraja, maksud Raden Wijaya itu ditangguhkan sambil menunggu datangnya tentara Tar Tar.
Tentara Tar Tar yang dipimpin Shih-pi, Ike Mase, dan Kau Hsing datang ke Jawa dengan maksud menghukum raja Kertanegara yang telah berani merusak muka Meng Chi utusan Kaisar Khubhilai Khan. Mereka tidak tahun kalau Kertanegara sudah wafat karena serangan Jayakatwang. Atas nasehat Arya Wiraraja, Raden Wijaya bersekutu dengan tentara Tar Tar untuk menghantam tentara Jayakatwang. (W.P.Groeneveldt, 1960: 20-30). Karena kalah Jayakatwang kemudian lari ke Junggaluh, tetapi ia tertangkap dan ditahan di Junggaluh ini. Di tempat tahanan, Jayakatwang menulis kidung Wukir Polaman. Disebutkan ia meninggal di Junggaluh pula.
Tentara Tar Tar Kalah
Setelah Jayakatwang mangkat, Raden Wijaya melihat peluang untuk menghancurkan tentara Tar Tar. Dengan kekuatan dan taktik yang jitu, Raden Wijaya dengan pasukan setianya berhasil memporakporandakan tentara Tar Tar. Tentara Tar Tar kalah dan diusir dari Junggaluh. Sebagian di antara mereka meninggal dunia, sebagian lagi terpencar lari menyelamatkan diri menuju pelabuhan Tuban dan kembali ke Cina.
Peristiwa kekalahan tentara Tar Tar oleh pasukan Raden Wijaya terjadi tanggal 19 April 1293. Jadi bukan tanggal 31 Mei 1293 yang dijadikan sebagai rujukan untuk menetukan lahirnya Surabaya – belum disebut kota – karena pemerintahan waktu itu masih setingkat desa.
Pararatondan Nagarakertagamamemberi data yang sama. Pararatonmemberitakan bahwa Raden Wijaya naik takhta pada tahun 1216 C atau sama dengan 1294 M: …. samangka raden wijaya ajejeneng prabbu i caka rasa rupa dwi citangcu, 1216 …. (Par). Demikian pula Nagarakertagamamemberitakan bahwa setelah Jayakatwang maninggal dunia, pada tahun 1216 C sama dengan 1294 AD, Raden Wijaya naik takhta di Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Berita tersebut dikutip sebagai berikut:
……. ri pjah nrpa jayakatwan awa tikang jagat alilan masa rupa rawi cakabda rika nararyya sira ratu siniwin pura ri majapahit tanuraga jayaripu tinlah nrpa krtarajasa jayawardhana nrpati (Nag..45:1)
Menurut kidung Harsawijaya, Raden Wijaya naik takhta tepat pada purneng kartika masa panca dasi 1215 C, yaitu tanggal 15 saat rembulan purnama bulan Kartika tahun 121 C yang bertepatan dengan 12 November 1293. Bardasarkan pada prasasti Kudadu, pada bulan Bhadrawapada 1216 C (1294 M), Raden Wijaya telah disebut Kartarajasa Jayawardhananamarajabhiseka. Dan di sini ditegaskan pula, bahwa tentara Khubilai Khan meninggalkan Jawa tanggal 19 April 1293 dan Raden Wijaya naik takhta tanggal 12 November 1293, serta Raden Wijaya yang sudah bergelar Kertarajasa Jayawardhana memberi anugerah sima kepada rama di Kudadu.
Membalik Telapak Tangan
Tidak mudah menentukan dan menetapkan tanggal 31 Mei 1293 Masehi sebagai Hari Jadi Surabaya. Sebagaimana bunyi pepatah, “tidak semudah membalik telapak tangan”. Artinya, untuk menentukan tanggal yang dianggap paling mendekati, melalui proses panjang dan cukup rumit.
Ceritanya, pada tahun 1970-an, peringatan Hari Jadi Kota Surabaya yang diperingati tiap tanggal 1 April dirasakan kurang mantap. Sebab, tanggal 1 April 1906 yang dijadikan pedoman peringatan hari jadi atau hari ulang tahun, adalah tanggal pembentukan Pemerintah Kota Surabaya yang di zaman Hindia Belanda disebut GemeenteSurabaya. Jadi, bukan tanggal lahir atau berdirinya Surabaya sebagai satu ranah permukiman. Secara tegas dinyatakan, bahwa 1 April 1906 adalah hari pembentukan Pemerintahan Kota Surabaya, bukan hari jadi atau berdirinya Surabaya. Artinya, Surabaya sudah ada sebelum Pemerintahan Kota Surabaya dibentuk.
Setelah menerima berbagai saran, usul dan bahkan kritik dari warga kota yang disampaikan secara langsung, melalui surat dan menulis opini di mediamassa, tentang Hari Jadi Surabaya, akhirnya Pemerintah Kota Surabaya, memutuskan membentuk sebuah tim.
Wiwiek Hidayat, wartawan senior yang waktu itu sebagai Kepala Kantor LKBN Antara Surabaya, mengatakan kepada penulis, saat peringatan HUT ke-67 Kota Surabaya tanggal 1 April 1973, ia secara pribadi mendesak Walikota Surabaya, R.Soekotjo, waktu itu untuk melakukan tinjauan ulang terhadap HUT Surabaya berdasarkan pembentukan Gemeente Surabaya, 1 April 1906 itu.
Untuk metakinkan Pak Koco – panggilan akrab Walikota Surabaya R.Soekotjo – ujar ujar Wiwek Hidayat, ia juga membawa tulisan-tulisannya yang dimuat di Bulletin Antara dan juga dikutip di berbagai suratkabar dan majalah tentang sejarah Surabaya.
“Pak Koco benar-benar bersemangat. Beliau langsung mengajak saya bertemu di ruang kerjanya. Bahan-bahan berupa kliping berita dan tulisan tentang Sejarah Surabaya itu saya serahkan kepada Pak Koco. Setelah membaca sejenak, beliau memanggil ajudan agar menelepon beberapa orang stafnya. Hadir empat orang menyertai Pak Koco.”
Yang saya ingat, ujar Pak Wiwiek, waktu itu salah satu stafnya Pak Pakiding. Sebab dia yang diserahi untuk mempersiapkan pembentukan Tim Peneliti Sejarah Surabaya, khususnyya untuk menentukan tanggal yang pantas untuk Hari Jadi Kota Surabaya, kata Wiwik Hidayat kepada saya dalam suatu wawancara khusus di Balai Wartawan PWI Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya.
Sehari setelah peringatan Hari Jadi atau HUT (Hari Ulang Tahun) ke-67 Kota Surabaya, yakni tanggal 2 April 1973, Walikota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya R.Soekotjo mengeluarkan Surat Keputusan No.99/WK/73 tentang perlunya diadakan kaji ulang penentuan Hari Jadi Kota Surabaya.
Untuk melengkapi SK Walikota Surabaya No.99/WK/73 itu, Walikota Surabaya, R.Soekotjo kemudian menerbitkan SK No.109/WK/73 tanggal 10 April 1973 tentang Pembentukan Tim Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya. Salah satu alasan dibentuknya tim, diungkap pada dasar SK tersebut, yaitu: bahwa hari ulang tahun Kota Surabaya pada tanggal 1 April, adalah saat peresmiannya sebagai Gemeente Surabaya pada tanggal 1 April 1906 oleh Pemerintah Belanda. Tanggal hari ulang tahun Kota Surabaya tersebut di atas (1 April) selain berbau kolonial juga tidak sesuai dengan kenyataan, karena Surabaya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sudah ada pada zaman Pemerintah Prabu Kartanegara sekitar abad ke-13.
Begitu seriusnya Pak Koco – begitu walikota R.Soekotjo akrab disapa – menyambut harapan warga Kota Surabaya untuk melakukan kaji ulang hari jadi Surabaya, maka diundanglah para ahli sejarah, peneliti, pemerhati, wartawan, penulis dan tokoh masyarakat. Dari sekian banyak yang berkumpul, akhirnya disepakati menunjuk 13 orang yang dinilai layak dan patut, yaitu:
1. Prof.A.G.Pringgodigdo,SH – pensiunan Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya selaku Penasihat merangkap anggota.
2. Prof.Drs.S.Wojowasito – Guru besar IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Malang, sekarang menjadi UM (Universitas Negeri Malang) selaku Ketua I merangpap anggota.
3. Prof.Koentjoro Poerbopranoto,SH – Guru besar Fakultas Hukum Unair Surabaya selaku Ketua II merangkap anggota.
4. Drs.Prayoga – Kepala Pembinaan Museum Jawa Timur selaku Ketua III merangkap anggota.
5. Kolonel Laut Dr.Sugiyarto – Kepala Staf Kekaryaan Daerah Angkatan Laut 4 Surabaya sebagai anggota.
6. Drs.M.D.Pakiding – Staf Pemerintah Kotamadya Surabaya selaku Sekretaris merangkap anggota.
7. Drs.Issatrijadi – Dosen Fakultas Sosial IKIP Surabaya (sekarang bernama Universitas Negeri Surabaya disingkat Unesa) selaku anggota.
8. Drs.Heru Soekadri K – Dosen Fakultas Sosial IKIP Surabaya. Selaku anggota.
9. Banoe Iskandar – Pensiunan Kepala Inspeksi Kebudayaan Jawa Timur selaku anggota.
10. Wiwiek Hidayat – Pimpinan LKBN Antara Cabang Surabaya dan Anggota Dewan Kesenian Surabaya (DKS) selaku anggota.
11. Tajib Ermadi – Redaksi Majalah Jayabaya selaku anggota.
12. Soenarto Timoer – selaku anggota.
13. Soeroso – Pensiunan Komisaris Polisi selaku anggota.
Setelah tim terbentuk, maka diselenggarakan rapat-rapat untuk menentukan pembagian tugas dan kegiatan masing-masing anggota tim. Untuk menghimpun data faktual, relevan dan valid, maka tim membentuk tiga Panitia Ad-Hok.
Proses dan Historis Surabaya, penelitiannya diketuai oleh Prof.Drs.Suwoyo Woyowasito. Hal yang berhubungan dengan Mitos Surabaya, diketuai oleh Drs.Heru Soekadri K. Untuk menghimpun data tentang lokasi Surabaya, diketuai oleh Wiwiek Hidayat.
Ketiga panitia Ad-Hokmelakukan penelitian yang mendalam, Metoda penelitian sebagaimana lazimnya, dilakukan secara ilmiah, yaitu library research(riset perpustakaan), field research (riset lapangan) dan intervieuw (wawancara).
Tim peneliti bertugas merumuskan tanggal yang tepat berdasarkan sejarah tentang hari jadi Surabaya. Jadwal yang ditetapkan untuk anggota tim adalah tanggal 16 April 1973 hingga 16 September 1973.
Tiga Alternatif
Dari berbagai sumber penelitian yang dilakukan secara cermat selama lima bulan itu, tim sampai pada suatu kesimpulan. Ada tiga tanggal yang ditetapkan sebagai alternatif. Ke tiga tanggal itu diajukan kepada Walikota Surabaya untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Surabaya. Ke tiga tanggal tersebut mempunyai peristiwa dan riwayat sendiri-sendiri, tetapi satu sama lain ada pertautan dan kaitannya. Selain itu diajukan pula satu “minderheids nota” yang berisi pendapat dari Soeroso.
Tanggal-tanggal yang diajukan itu adalah:
1. Tanggal 31 Mei 1293Masehi,
Yaitu: saat kemenangan tentara Raden Wijaya atas tentara Tartar. (berdasarkan laporan penelitian ilmiah Drs.Heru Soekadri, Kol.Laut.Dr.Sugiyarto dan Wiwiek Hidayat).
2. Tanggal 11 September 1294Masehi,
Yaitu saat penganugerahan tanda jasa kepada kepala desa dan rakyat desa Kudadu atas jasanya menyelamatkan Raden Wijaya.
3. Tanggal 7 Juli 1358Masehi,
Yaitu suatu tanggal pada Prasasti Trowulan, di mana disebutkan untuk pertamakalinya nama Surabaya dengan tulisan SURABAYA (menurut transkripsi dari huruf Jawa kuno ke huruf Latin). Surabaya dinyatakan selaku naditira pradecasebagai salah satu tempat penambangan ke pulau-pulau Nusantara atau pelabuhan intersuler. (laporan ilmiah itu disampikan oleh Issatrijadi dan Soenarto Timoer).
4. Tanggal 3 November 1486 Masehi,
Yaitu tanggal pada Prasasti Jiu di mana Adipati Surabaya menuirut pakemmelakukan pemerintahan (Laporan dari Soeroso).
Laporan Soeroso ini diajukan oleh tim sebagai “minderheids nota”, karena dianggap muda.
Tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya dengan seberkas data menyampaikan laporan hasil kerja mereka kepada Walikota Surabaya. Dengan surat resmi No.36/II/73/TP.HJKS tanggal 27 September 1973 tim mengharapkan Pemerintah Kota Surabaya menetapkan satu di antara tiga alternatif tanggal di atas, karena yang satu sudah dinyatakan “minderheids nota”.
Tim melampirkan tujuh makalah (kertas kerja) anggota tim dengan judul masing-masing, yaitu:
1. “Sekitar Legende Mythos Surabaya” disusun oleh Drs.M.D.Pakiding.
2. “Tentang hal Hari Jadi Kota Surabaya” disusun oleh Prof.Drs.S.Wojowasito.
3. “Usia Surabaya” disusun oleh Prof.Koentjoro Poerbopranoto,SH.
4. “Lokasi Surabaya di Waktu Kapan” disususn oleh Wiwiek Hidayat.
5. “Surabaya, suatu pendekatan dalam meneliti Hari Jadi Surabaya” disusun oleh Drs.Issatrijadi.
6. “Dari Hujung Galuh ke Surabaya” disusun oleh Heru Soekadri.
7. “Surabaya, manifestasi ehidupan rakyat Kahuripan, Jawa Timur” disusun oleh Kolonel Laut.Dr.Sugiyarto.
Setelah menerima laporan dari panitia bersama lampiran penelitiannya, maka Walikota Surabaya, R.Soekotjo dengan suratnya No.0.104/20 tanggal 27 Desember 1973, mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Kota Surabaya, dengan tidak mengurangi kebebasan mengeluarkan pendapat dari pihak legislatif, agar dapatnya dipilih tanggal 31 Mei 1293 Masehi sebagai Hari Jadi Kota Surabaya, sebagai pengganti 1 April 1906, dengan alasan:
Kemenangan Raden Wijaya atas tentara Tartar (tentara kolonial Khu Bi Lai Khan) merupakan suatu kebanggaan (pride) rakyat Surabaya khusunya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Karena apabila dihubungkan dengan peristiwa 10 November 1945, membuktikan kepada kita bahwa sejak dari dahulu bangsa Indonesia bertekad untuk tidak mau dijajah.
Sulit Ditentukan
DPRD Kota Surabaya yang menerima usulan perubahan peringatan Hari Jadi Surabaya dari tanggal 1 April 1906 menjadi tanggal 31 Mei 1293, tidak sertamerta menyetujui. Pimpinan DPRD menugaskan Komisi A untuk melakukan kajian dan pembahasan. Beberapa kali diselenggarakan rapat khusus untuk menentukan tanggal yang dapat ditetapkan atau dipilih.
Pada rapat tanggal 17 Februari 1974, Komisi A membuat kesimpulan yang isinya:
“Sulit ditentukan tangal mana dari tiga alternatif tanggal yang diajukan oleh tim untuk ditetapkan sebagai tanggal Hari Jadi Kota Surabaya. Sebab ke tiga tanggal tersebut sama-sama merupakan hasil penemuan ilmiah”.
Masalah tersebut dikembalikan kepada Pimpinan DPRD Surabaya, dengan permintaan agar diadakan suatu pertemuan kembali dengan eks tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya. Di mana unsur Pimpinan Komisi yang lain diikutsertakan.
Di bawah pimpinan Ketua DPRD Kotamadya Surabaya, Komisi A dan unsur pimpinan lainnya, pada tanggal 28 Maret 1974, diadakan pertemuan dengan eks Tim Peneliti Hari jadi Kota Surabaya. Pertemuan itu tidak banyak menghasilkan kemajuan. Komisi A tetap pada pendirian semula dan menyerahkan kembali masalahnya kepada Pimpinan DPRD Surabaya.
Ada yang menarik di tahun 1974 ini, peringatan HUT ke-67 Kota Surabaya tanggal 1 April 1974 tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Rencana perubahan Hari Jadi Surabaya sudah mempengaruhi opini masyarakat warga kota. Apalagi waktu itu, tulisan tentang sejarah dan hari jadi Surabaya banyak muncul di mediamassa. Secara kebetulan walikota Surabaya juga baru diganti. Masa jabatan R.Soekotjo sudah berakhir. Sejak tanggal 23 Januari 1974, tampuk pimpinan kota Surabaya sebagai Walikotamadya Surabaya beralih kepada Kolonel R.Soeparno.
Kendati demikian, DPRD Surabaya tidak berhenti membahas masalah kaji ulang penetuan hari Jadi Kota Surabaya. Sesuai dengan jenjang pembahasan berikutnya, permasalahan itu diajukan oleh Pimpinan dalam forum Panmus (Panitia Musyawarah) yang diadakan tanggal 29 Mei 1974.
Kesimpulan rapat Panmus disampaikan dengan surat Pimpinan DPRD Surabaya No.84/DPRD/SK tanggal 26 Juni 1974 yang ditujukan kepada Walikota Surabaya.
Walikotamadya Surabaya R.Soeparno (walikota Surabaya R.Soeparno menggantikan jabatan R.Soekotjo, terhitung sejak 23 Januari 1974) tidak langsung membalas surat dari DPRD Surabaya itu. Baru tiga bulan kemudian dengan surat No.01000/23 tanggal 25 September 1974, Walikotamadya Surabaya, R.Soeparno, memberikan penegasan bahwa, kembali mengusulkan dapat kiranya tangal 31 Mei 1293 untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Alasannya sama dengan surat yang dikirim ke DPRD tanggal 27 Desember 1973.
Tidak cukup dengan surat, Walikotamadya Suarabaya Drs.R. Soeparno kemudian menyampaikan penjelasan lisan dalam forum Rapat Peleno Terbuka DPRD Surabaya tanggal 7 November 1974.
Dari Rapat Pleno DPRD Surabaya itu, kemudian dibentuk Pansus (Panitia Khusus) untuk mengadakan penilaian terhadap usul yang disampaikan oleh Walikota Surabayas tersebut.
Anggota Pansus DPRD Kotamadya Surabaya yang membahas usulan tentang penetapan Hari jadi Kota Surabaya itu sebanyak 15 orang dengan ketua Eddy Sutrisno dan wakil ketua H.A.Zakky Ghoefron. Anggotanya adalah: Sutrisno BA, Hasan Ibrahim SH, Muchsin SH, Munahir, Bambang Rudjito, J.Sugiyanto, Anas Thohir Syamsudin, R.Sumono Hs, Drs.J.Karmeni, Ahadin Mintarum, Umar Buang, Kaptiyono, Drs.Nana Sumantri.
Delapan kali dilakukan rapat untuk membahas secara khusus untuk menetapkan Hari Jadi Surabaya itu. Secara berturut-turut tanggal 8, 9, 13, 16, 18 dan 30 Januari 1975, serta dilanjutkan tanggal 3 dan 10 Februari 1975. Rapat-rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD DPRD Surabaya itu selalu mencapai quorum, sesuai tatatertib, sehingga dinyatakan sah.
Tidak begitu mudah DPRD Surabaya menyetujui usul Walikotamadya Surabaya agar menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Surabaya. Pansus DPRD Surabaya itu lebih dahulu menetapkan pedoman yang dipakai.
Diawali dengan kalimat: “Mencari Hari Jadi Kota Surabaya dengan jiwa kepahlawanan yang diridloiTuhan Yang Maha Esa menuju kerukunan dan pembangunan nasional”, bahwasanya yang hendak dicapai adalah: Hari Jadi sebuah kota yang idiil merupakan Kota Pahlawan. Hari jadi sebuah kota yang cukup memenuhi ketentuan ketatanegaraan sesuai dengan kondisi pada saat ini.
Terhadap masalah ini Panitia telah menetapkan bahwa materi yang menjadi pokok pembahasan adalah “Penjelasan Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surabaya pada Sidang Pleno DPRD Surabaya tanggal 7 November 1974.
Pembahasan masih terus berlanjut. Bahan-bahan kajian dan penelitian yang dilakukan oleh Tim Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya diplototi.“Bagaimanapun juga, hasil yang diperoleh dari tim ini merupakan bahan-bahan komplementer yang berfungsi sebagai barometer. Penjabaran dari tema itu menghasilkan landasan berpijak yang kokoh sebagai fondasi yang sangat prinsip dalam menentukan Hari Jadi Surabaya”, ujar Ahadin Mintarum salah seorang anggota Pansus DPRD Surabaya yang sangat berhati-hati untuk menyetujui tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi yang diusulkan tim dan walikota Surabaya.
Hasil Pembahasan
Anggota DPRD Suarabaya dengan seksama menyimak peristiwa abad XIII sesudah pemerintahan Prabu Kartanegara. Saat itu terjadi suatu peristiwa sejarah yang membanggakan. Peristiwa itu adalah kemenangan pasukan Raden Wijaya yang dibantu rakyatnya mengusir tentara Tartar. Dipandang dari segi tinjauan nasional, peristiwa pengusiran tentara Tartar itu merupakan peristiwa terbebasnya kepulauan Indonesia dari penjajahan atau intervensi tentara asing.
Pelaku peristiwa itu adalah Raden Wijaya yang menurut bukti sejarah diakui sebagai pahlawan besar. Sebagai ilustrasi, kita perlihatkan di sini faktanya sebagai berikut:
a. Dalam Prasasti Gunung Butak tahun 1216 Caka atau 1294 AD, Raden Wijaya disebut sebagai “Raja yang dipujikan sebagai pahlawan besar yang utama”.
b. Dalam Prasasti Gunung Pananggungan oleh Kertarajasa tahun 1218 Caka atau 1296 AD, Raden Wijaya disebut sebagai “Pahlawan di antara Pahlawan”.
Dari uraian singkat di atas sudah dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut nilai idiil yang mengandung sifat kepahlawanan dapat terpenuhi.
Pembahasan mengenai lokasi terjadinya peristiwa kepahlawanan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Pendapat Prof.Dr.N.J.Krom dan lebih diperkuat lagi dengan pendapat Drs.Oei Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi Jurusan Asia Timur, Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang menerangkan bahwa menurut pembacaan tulisan Cina, kata Sugalu,harus dibaca Jung Ya Lu.Dengan demikian, maka ucapannya lebih mendekati Junggaluh daripada Sedayu.
b. Prof Dr. Suwoyo Woyowasito dengan dasar perkembangan bunyi, dapat membuktikan bahwa Suyaluadalah perubahan bunyi lafal Tionghoa dari kata Hujungaluh.
c. Suatu data lagi, bahwa Shihpi, salah seorang panglima tentara Tartar yang semula men- darat di Tuban, setelah tiba di Su-ya-lu memerintahkan tiga pejabat tinggi dengan naik perahu cepat ke jembatan terapung Majapahit (the floating bridge of Majapahit).. Ke tiga pejabat tinggi yang berangkat dari Su-ya-lutersebut tentunya melalui sungai menuju ke pusat kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Dengan demikian dapat dibuktikan sungai yang dilalui adalah Kali Brantas, bukan Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan bahwa Su-ya-luterdapat di pantai dan muara Kali Brantas. Kenyataan ini sesuai dengan faktor dari sumber Prasasti Kelagen (1037 AD) yang dilengkapi dengan faktor dari buku Chu-fan-Chi-kua(1220 AD), yang menyatakan bahwa Hujunggaluh terletak di pantai dan muara Kali Surabaya. Maka dengan demikian, kuatlah suara pendapat bahwa: Su-ya-lu sama dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai, di muara Kali Surabaya dan tidak sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi Bengawan Solo, dengan muaranya yang baru di Ujung Pangkah.
d. Fakta itu diperkuat lagi behubungan dengan Kidung Harsa Wijaya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Mangke wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar sampun cirno linurah punang deca tepi siring ing Canggu”
Artinya:
“Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh dan sudah membuat benteng sebelah utara Tegal Bobot Sekar (sari) para lurah desa di wilayah Canggu sudah musnah.”
Dengan demikian Panitia Khusus (Pansus) DPRD dapat menerima, bahwa lokasi Hujunggaluh ada di wilayah Surabaya.
Menganai persyaratan hukum ketatanegaraan sebagai kota, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan tinjauan sosial ekonomis, Drs.JBA Mayor Polak menentukan dua ukuran yang dipakai sebagai penentu ciri kota, yaitu:
a. Ukuran pertama berhubngan dengan sifat ekonomis kota, yaitu tidak agraris. Penduduk kota mendatangkan makanannya dari tempat lain. Orang kota bukan orang tani. Berhubungan dengan lapangan pekerjaan, ini menimbulkan adanya sebutan-sebutan seperti kota dagang, kota industri, kota pegawai dan lain-lain.
b. Ukuran yang kedua, berdasarkan tinjauan sosiologis yang menitikberatkan pada sifat hubungan antara anggota masyarakat. Penduduk kota kurang menitikberatkan pada antar hubungan primer, tetapi lebih mengutamakan antar hubungan kepentingan sehingga mempunyai ikatan yang agak longgar. Hal ini menurut Dr.Bouman, disebabkan karena penduduknya yang heterogen.
Berdasarkan dua kriteria kota tersebut, Drs.JBA Mayor Polak, lalu membedakan adanya dua macam kota asli di Indonesia.
Pertama: kota ang punya corak sebagai kota keraton di pedalaman.
Kedua,sebagai kota dagang di pantai. Kota keraton timbul karena adanya pusat pemerintahan di suatu tempat. Sedangkan kota dagang, biasanya timbul di tempat-tempat yang cocok bagi perdagangan, misalnya muara sungai besar atau di mana ada pertemuan jalan lalulintas yang amat penting.
Berpijak kepada pendapat Drs.JBA Mayor Polak itu, maka dapatlah dibuktikan bahwa Hujunggaluh dalam abad XIII sudah merupakan kota pelabuhan dagang.
Dari Prasasti Kalagen (1037 AD) dapatlah diketahui bahwa Hujunggaluh adalah pelabuhan dagang dwipantaraatau interinsuler. Pada zaman sekarang, istilah yang digunakan Departemen Perhubungan (Dephub) adalah pelabuhan nusantara (antarpulau) dan pelabuhan samudera untuk pelayaran antar benua.
Karena pengertian ketatanegaraan itu sangat luas, maka di sini dikaitkan dengan negara kerajaan yang membawahi Hujunggaluh yang kemudian menjadi Kota Surabaya. Fakta sejarah menunjukkan, bahwa kota pelabuhan Hujunggaluh pada abad XIII merupakan wilayah kerajaan Singasari (sampai Juni 1292) dan kemudian menjadi daerah dari kerajaan Kediri (sampai April 1293). Setelah itu, menjadi kota pelabuhan Surabaya yang berada di bawah kerajaan Majapahit.
Berdasarkan sumber data dari prasasti, kitab Pararaton dan kitab Negarakertagama, dapat dpastikan bahwa Singasari, Kediri dan Majapahit berbentuk negara kerajaan (monarkhi). Pemegang kekuasaan dan penjunjung tinggi kedaulatan adalah raja.
Dengan demikian, dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan fakta-fakta sejarah, metoda riset “logical acontrario” atau pembuktian “crossing system”, serta pertimbangan akal yang sehat, bahwa Hujunggaluh sebagai suatu “kota pelabuhan dan kota dagang”. Unsur-unsur yang dimliki dan persyaratan ketatanegaraan sudah terpenuhi, walaupun dalam bentuk dan kadar yang paling sederhana.
Dapat Berubah Lagi
Memang, jika dibaca pendapat dan tanggapan, serta kesimpulan tentang penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, masih lemah.
Diakui secara faktual bahwa tanggal yang pasti dengan pembuktian data sejarah belum ditemukan. Oleh karena itu, faktor idiil dalam penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya menjadi dominan.
Dengan pertimbangan itulah, maka tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, diambil dari tanggal terjadinya peristiwa sejarah kepahlawanan sebagai pembahasan di atas. Sesuai pembahasan dan menurut penelitian tersebut, jatuhnya pada tanggal 31 Mei 1293 Masehi.
Setelah melalui tahap pembahasan, maka landasan tema yang telah ditentukan, Pansus (Panitia Khusus) DPRD Kotamadya Surabaya dapat menerima dan menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, untuk menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 M. Dengan catatan, bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya masih memungkinkan untuk dapat ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti.
Setelah melalui pembahasan yang rumit dalam waktu yang cukup panjang, pada sidang paripurna DPRD Surabaya, 6 Maret 1975, dilaksanakan sidang khusus untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya.
Pada sidang pleno itu DPRD Kotamadya Surabaya secara resmi setelah seluruh fraksi menyampaikan stemotivoring(pendapat akhir), maka menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya: tanggal 31 Mei 1293.
Persetujuan resmi DPRD Kotamadya Surabaya itu dituangkan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan DPRD Kotamadya Surabaya Nomor 02/DPRD/Kep/75 tanggal 6 Maret 1975.
Keputusan DPRD itu ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975.
Pada pertimbangan SK Walikota Surabaya tersebut, dinyatakan Hari Jadi Kota Surabaya yang diperingati setiap tanggal 1 April, saat diresmikannya Gemeente Surabaya tahun 1906 oleh Pemerintah Belanda pada saat itu, adalah tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab, selain penetapan tanggal tersebut berbau kolonial, Surabaya sebenarnya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sekitar abad XIII.
Berdasarkan pertimbangan itu, dirasa perlu untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya yang sesuai dengan data faktual yang diperoleh dari hasil penelitian, sejarah dan ciri khas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Dari hasil penelitian tim dan pertimbangan DPRD Kotamadya Surabaya, diperoleh kesimpulan bahwa tanggal yang sesuai dengan keinginan, adalah tanggal 31 Mei 1293.
Maka pada bagian akhir SK Walikota Surabaya yang ditandatangani oleh Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surabaya, H.Soeparno, tertanggal 18 Maret 1975 itu, diputuskan bahwa tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.
Hingga sekarang, peringatan Hari Jadi Kota Surabaya tetap dilaksanakan setiap tanggal 31 Mei. Belum ada pihak yang secara tegas untuk mengubahnya. Kendati ada protes-protes “ringan” ari ahli sajarah dalam beberapa kali seminar. Dalam persetujuan Pansus DPRD Kota Surabaya tanggal 6 Maret 1975 ada klausal yang berbunyi “bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 ini masih dimungkinkan untuk ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta-fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti”.
Begitulah catatan yang berhasil penulis temukan dari dokumen sidang DPRD Kota Surabaya.
*) Yousri Nur Raja Agam – adalah Wartawan Senior di Surabaya – Dewan Pakar PWI Jawa Timur.