Hari Jumat dan Persatuan Umat

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Allah telah menciptakan berbagai hal untuk kepentingan manusia, terutama untuk menunjang tugas utamanya, mengabdi, beribadah kepada Alah SWT.
Salah satu ciptaan itu ialah ketika Allah menciptakan waktu. Dalam waktu ada hitungan tahun, dalam tahun itu ada hitungan bulan, dan pada hitungan bulan itu ada hitungan minggu, dan dalam hitungan minggu itu ada hitungan hari. Pada hitungan hari inilah kemudian ada nama-nama hari.
Agama kita memandang semua hari adalah baik. Namun ada satu hari yang rupanya Allah lebihkan dari yang lain. Hari itu adalah hari Jum’at.

Ada sebuah keterangan, bahwa sejarah hari Jumat bagi umat muslim berawal dari malaikat Jibril yang berkata kepada Rasululullah sebagai berikut:
“Ini adalah hari Jumat. Allah SWT menunjukkannya kepadamu agar menjadi hari raya bagimu dan bagi umatmu sepeninggalmu, ada kebaikan di dalamnya bagi kalian. Engkau menjadi yang pertama, Yahudi dan Nasrani menjadi setelahmu. Di dalamnya ada satu waktu, setiap hamba yang berdoa kepada Rabbnya memohon kebaikan pasti dikabulkan, atau memohon perlindungan dari keburukan pasti dijauhkan dari bahaya yang lebih besar dari yang diminta. Dan kami memohon kepada Allah di akhirat kelak ada hari penambahan pahala.” [Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 694].

Dari Syaddad bin Aus, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Pada hari tersebut diciptakannya Adam, pada hari tersebut ditiupkan sangkakala yang pertama, dan pada hari tersebut ditiupkan sangkakala yang kedua.” (Shahih Ibnu Majah no. 896; Shahih Abu Daud no. 962]

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Hari yang terbaik di mana setiap kali matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari Jumat Adam diciptakan dan pada hari itu juga dimasukkan ke Surga, serta tidak terjadi kiamat kecuali hari Jum’at.” [Shahih Muslim no. 403]

Setelah kita tahu, hari Jumat adalah hari yang istimewa bagi umat Islam, pertanyaannya adalah lantas amalan apakah yang penting kita lakukan pada hari mulia ini.
Setidaknya ada 8 hal yang sangat dianjurkan untuk silakukan di hari jumat ini, yaitu:
Pertama, kita disunatkan untuk mandi Jum’at.
Kesunnahan mandi Jumat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits berikut:

مَنْ أَتَى الْجُمُعَةَ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ النِّسَاءِ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ لَمْ يَأْتِهَا فَلَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ
Artinya: “Barangsiapa dari laki-laki dan perempuan yang menghendaki Jumat, maka mandilah. Barangsiapa yang tidak berniat menghadiri Jumat, maka tidak ada anjuran mandi baginya” (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dari hadits tersebut, ulama merumuskan bahwa disunnahkan melaksanakan mandi Jumat bagi orang yang berniat melaksanakan salat Jumat, meskipun sahat Jumat tidak diwajibkan baginya. Sehingga, kesunnahan mandi Jumat ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki yang diwajibkan melakukan Jumat, namun juga berlaku bagi anak kecil, perempuan, hamba sahaya dan musafir yang berniat menghadiri salatJumat, meskipun mereka tidak diwajibkan melaksanakan salat Jumat.
Mandi Jumat ini dilaksanakan sejak terbit fajar Shadiq sampai pelaksanaan Jumat. Lebih utama dilakukan menjelang keberangkatan menuju tempat salatJumat. Mandi Jumat ini sangat dianjurkan, sehingga meninggalkannya dihukumi makruh, sebab ulama masih berselisih mengenai hukum wajibnya.

Kedua, segera hadir menuju tempat salat Jumat
Sejak terbit fajar di pagi hari Jumat, dianjurkan untuk bergegas menuju tempat salatJumat. Seseorang yang lebih awal berangkat Jumatan mendapatkan pahala melebihi orang yang datang setelahnya. Anjuran ini berlaku untuk selain Imam. Adapun bagi Imam yang disunahkan baginya adalah mengakhirkan hadir sampai waktu khutbah akan berlangsung, karena mengikuti sunah Rasulullah.
Anjuran ini berdasarkan sabda Nabi:

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

“Barangsiapa yang mandi seperti mandi junub pada hari Jumat, kemudian pada waktu pertama ia berangkat Jumat, maka seakan ia berkurban unta badanah. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu kedua, seakan berkurban sapi. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu ketiga, seakan berkurban kambing yang bertanduk. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu keempat, seakan berkurban ayam. Dan barangsiapa berangkat Jumat pada waktu kelima, seakan berkurban telur. Saat imam keluar berkhutbah, malaikat hadir seraya mendengarkan khutbahnya” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat yang lain, bahwa malaikat mencatat setiap muslim yang datang berjumat di masjid dan pada waktu imam sudah naik mimbar berkhutbah catatan malaikat ditutup untuk ikut mendengarkan khutbah.
Ketiga, memakai pakaian putih.
Anjuran ini berdasarkan hadits Nabi:

اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمْ اَلْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ

“Pakailah dari pakaian kalian yang berwarna putih. Karena sesungguhnya pakaian putih termasuk pakaian terbaik bagi kalian” (HR al-Tirmidzi).

Keempat, membersihkan badan.
Pada hari Jumat, sunnah membersihkan badan dengan mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, menggunting kumis, memotong kuku, bersiwak dan menghilangkan bau badan. Beberapa hal tersebut disunnahkan karena mengikuti sunnah Nabi.
Kelima, memakai parfum.
Tidak ada ketentuan khusus mengenai parfum yang dipakai saat Jumatan, namun lebih utama memakai minyak misik. Anjuran memakai minyak wangi ini berlaku untuk selain orang yang berpuasa, orang yang sedang ihram dan perempuan.
Adapun bagi orang yang berpuasa dan perempuan, dimakruhkan baginya memakai parfum. Sementara bagi orang yang tengah menjalankan ibadah ihram haji atau umrah, hukumnya haram.
Keenam, berjalan menuju tempat Jumat dengan tenang. Dalam konteks sekarang, yang berangkat ke masjid dengan naik kendaraan bermotor, tentu sangat tidak dianjurkan berangkat salat jumat sambil ngebut. Sebab, di samping membahayakan keselematan diri dan orang lain, yang lebih penting, bertentangan dengan sunah yang diajarkan oleh rasulullah SAW.

Sikap tenang di sini adalah pelan-pelan dalam berjalan dan bergerak serta menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat.
Anjuran ini berdasarkan hadits Nabi:

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

“Barangsiapa membasuh pakaian dan kepalanya, mandi, bergegas Jumatan, menemui awal khutbah, berjalan dan tidak menaiki kendaraan, dekat dengan Imam, mendengarkan khutbah dan tidak bermain-main, maka setiap langkahnya mendapat pahala berpuasa dan salatselama satu tahun” (HR al-Tirmidzi dan al-Hakim).

Ketujuh, membaca al-Quran atau berzikir.
Anjuran ini dilakukan saat perjalanan menuju dan saat berada di tempat pelaksanaan Jumat. Ayat al-Qur’an yang utama dibaca adalah surat al-Kahfi. Adapun berzikir, yang lebih utama adalah memperbanyak salawat.
Kedelapan, diam saat khutbah berlangsung.
Saat khutbah berlangsung, hendaknya mendengarkan dengan seksama. Allah Swt berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Dan apabila dibacakan al qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (QS al-A’raf: 204).

Al Imam As Suyuthi dalam tafsir Jalalain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “al Qur’an” dalam ayat tersebut adalah “khutbah”. Sehingga yang dimaksud perintah untuk mendengarkan dan diam dalam ayat tersebut adalah mendengarkan dan diam saat khatib berkhotbah.
Dalam Kitab Bidayatul Hidayah Hujjatul Islam Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Gazali mengatakan:
“Ketahuilah olehmu bahwa hari Jumat itu adalah Hari Raya bagi orang Islam. Yaitu hari yang mulia yang telah dikhususkan oleh Allah SWT kepada umat Muhammad SAW. Dan, pada hari itu ada satu saat yang mustajab doa. Tiada memperbagus pada saat itu seseorang yang mukmin dengan doanya, kecuali Allah akan memberi apa saja yang ia minta. Maka bersiaplah engkau menghadapi hari Jumaat itu mulai dari petang hari Kamis. Maka hendaklah engkau membersihkan pakaianmu dan memperbanyak mengucap tasbih dan istighfar mulai saat petang hari Kamis karena masa itu sudah menyamai kelebihan hari Jumaat. Dan berniatlah engkau untuk berpuasa pada hari Jumat tetapi hendaklah puasa itu engkau sertakan dengan puasa hari Kamis atau puasa hari Sabtu karena ada larangan bagi mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat saja. Apabila engkau berada di pagi hari Jumat maka hendaklah engkau mandi karena mandi Jumaat itu hukumnya sunat muakkad atas setiap orang yang baligh. Dan, bersungguh-sungguhlah engkau di dalam menyucikan badanmu dengan mencukur bulu ari-ari misalnya dan mengandam {misai misalnya} dan memotong kuku dan menggunakan sugi (kayu siwak) dan segala cara-cara bersuci. Kemudian ambillah perhiasanmu dengan pakaian yang putih, karena itu lebih disukai di sisi Allah dan pakailah minyak wangi sebaik-baik minyak wangi yang engkau miliki.”

Jumat dan Persatuan Umat
Berbicara Jumat adalah berbicara tentang kewajiban dan umat yang sedang berkumpul di masjid. Pada hari jum’at ini ummat Islam hampir semua berkumpul di masjid. Dengan media berjumat ini, persatuan dan kesatuan umat harus terus terawat, khususnya dalam menghadapi dampak pemilu yang menurut pengalaman berpotensi sebagai pemicu pemecah belah umat. Jangan seperti tahun-tahun lalu, akibat larut dalam pilihan politik, terjadi pembelahan umat.
Realitas ternyata memang menunjukkan, bahwa dari dulu sampai saat ini, sekalipun sesama muslim, dalam praktik, sangat sulit menyatukan pilihan politik umat. Perbedaan pilihan politik pada hakikatnya merupakan perbedaan dalam memandang/ menilai suatu hal. Dalam persoalan furu, para ulama terdahulu sudah mencontohkan kebolehan berbeda dalam memandang suatu hal. Ulama sang satu memandang suatu hal haram, ulama yang lain ada yang memandang sunah atau makruh.
Di negara demokrasi, perbedaan pilihan politik tentu sah-sah saja. Sebab, di samping karena dijamin oleh konstitusi dalam perspektif pemikiran keagamaan, ternyata telah menjadi tradisi ijtihad para ulama terdahulu. Harapan kita perbedaan pilihan politik jangan sampai menjadikan kita lupa, bahwa kita tetap dalam satu akidah. Masjid kita harus kita bebaskan dari intrik-intrik politik praktis yang yang sering hanya basi-basi dan bersifat sementara ini. Apalagi sampai harus membekas, pada lima tahun ke depan.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait