Oleh: Saadiah Uluputty Anggota DPR RI Dapil Maluku
Setiap tanggal 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia sebagai momen penting untuk merenungkan masalah pangan yang dihadapi jutaan orang di seluruh dunia. Pangan, yang seharusnya menjadi hak asasi manusia yang paling mendasar, hingga saat ini masih sulit diakses oleh banyak orang, terutama di negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan FAO, diperkirakan 735 juta orang di dunia masih hidup dalam kelaparan pada tahun 2023. Kondisi ini diperparah oleh perubahan iklim, krisis ekonomi, dan konflik yang mengganggu rantai pasokan pangan global.
Indonesia, sebagai negara agraris yang kaya akan sumber daya alam, seharusnya mampu menjamin ketahanan pangannya sendiri. Namun, pada kenyataannya, ketahanan pangan kita masih rentan terhadap berbagai tantangan. Perubahan iklim telah membawa dampak nyata terhadap sektor pertanian, mempengaruhi hasil panen dan memicu fluktuasi harga pangan. Sering kali, kita melihat banjir yang menghancurkan lahan pertanian dan kekeringan yang memperlambat pertumbuhan tanaman. Akibatnya, produktivitas menurun, dan harga pangan menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Tidak hanya itu, kesejahteraan petani Indonesia masih menjadi isu yang mendesak. Meskipun mereka merupakan ujung tombak produksi pangan nasional, banyak petani yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Harga jual hasil pertanian yang rendah dan tingginya biaya produksi membuat pendapatan mereka jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagaimana mungkin kita bisa membangun ketahanan pangan yang kuat jika para petani—yang berperan penting dalam menyediakan makanan untuk bangsa—masih hidup dalam kesulitan?
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi tantangan ini, salah satunya dengan memperkenalkan pertanian cerdas iklim (Climate-Smart Agriculture) yang bertujuan membantu petani beradaptasi dengan perubahan cuaca. Namun, program ini masih perlu diperluas dan dioptimalkan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak petani di seluruh pelosok negeri. Akses terhadap teknologi pertanian modern dan informasi pasar juga harus diperbaiki, sehingga para petani bisa meningkatkan produktivitas mereka dan memperoleh harga jual yang lebih baik.
Distribusi pangan yang tidak merata juga menjadi masalah besar. Indonesia, dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, sering kali menghadapi kesulitan dalam mendistribusikan pangan dari daerah yang surplus ke daerah yang kekurangan. Akibatnya, harga pangan di daerah terpencil bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di kota besar. Program tol laut yang bertujuan memperlancar distribusi ke daerah-daerah terpencil memang sudah diluncurkan, namun masih ada banyak kendala yang harus diatasi, seperti keterbatasan infrastruktur pelabuhan dan armada kapal.
Selain itu, ketergantungan Indonesia pada impor pangan untuk beberapa komoditas utama, seperti beras, gandum, dan kedelai, semakin membuat ketahanan pangan kita rapuh. Ketika harga pangan global mengalami fluktuasi, masyarakat kita ikut terkena dampaknya. Oleh karena itu, diversifikasi pangan lokal sangat penting untuk mengurangi ketergantungan tersebut. Konsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung, dan sagu harus lebih didorong agar masyarakat tidak hanya bergantung pada satu sumber pangan.
Dalam memperingati Hari Pangan Sedunia ini, kita harus mengingat bahwa ketahanan pangan bukan hanya tentang ketersediaan pangan, tetapi juga tentang akses yang adil dan merata untuk semua lapisan masyarakat. Ini adalah tanggung jawab bersama—antara pemerintah, petani, sektor swasta, dan masyarakat—untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang kelaparan. Ketahanan pangan juga harus dibangun dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, karena tanpa menjaga sumber daya alam yang ada, kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan generasi mendatang.
Hari Pangan Sedunia menjadi pengingat bahwa kita perlu berkolaborasi secara lebih erat untuk menghadapi tantangan yang ada. Ketahanan pangan harus menjadi prioritas nasional, dengan kebijakan yang berpihak pada petani dan program-program yang mendukung peningkatan produksi pangan lokal. Kita juga harus memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola distribusi pangan, sehingga harga pangan bisa lebih terjangkau dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan adanya komitmen yang kuat dari semua pihak, kita dapat membangun ketahanan pangan yang tangguh dan berkelanjutan. Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, mari kita bersama-sama memastikan bahwa setiap orang, di mana pun mereka berada, memiliki akses terhadap pangan yang layak, bergizi, dan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Tantangan ini memang besar, tetapi dengan kerja keras dan kolaborasi, kita bisa mewujudkan ketahanan pangan untuk semua.
(ulin)