Catatan: Yousri Nur Raja Agam.
HARI ini, Kamis, tanggal 3 Maret 2022. Penanggalan di kalendar berwarna merah. Hari libur nasional. Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Saka 1944. Ini adalah hari raya umat beragama Hindu.
Secara kebetulan tanggal 3 Maret 2022 ini, juga diperingati sebagai Hari Sarung Nasional (HSN)
Setiap tahun, perayaan Hari Raya Nyepi, dipusatkan di Pulau Bali. Sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu. Rangkaian acara dan upacara Nyepi ini, juga sudah menjadi tradisi adat masyarakat Pulau Dewata, Bali.
Kendati bersamaan dengan peringatan HSN yang berlangsung di seluruh Nusantara, tentu tidak akan mengganggu suasana nyepi di Bali. Walaupun ada persamaan waktu, antara dua perayaan ini, tentu tidak ada masalah.
Hari Raya Nyepi, sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dengan adat dan tradisi masyarakat Bali yang hampir 85 persen menganut agama Hindu. Yakni, 3,2 juta dari 3,8 juta penduduk Pulau Bali, seperti Sensus Penfuduk 2010. Sedangkan 15 persen penduduk Bali lainnya, beragama Islam, Kristen, Katholik, Budha, Konghucu dan kepercayaan lainnya. Memang, selain Hindu, di antara yang minoritas itu, terbanyak adalah Islam. Tetapi, selama ini, para penganut agama yang minoritas itu selalu memberikan kesempatan penuh kepada umat Hindu di Bali, melaksanakan segala bentuk ritual keagamaan dan adatnya.
Bali yang juga dikenal sebagai daerah destinasi wisata, justru menjadikan prosesi adat dan agama Hindu itu jadi obyek tontonan. Menjadi daya tarik kunjungan wisatawan Nusantara dan mancanegara. Tidak hanya menyaksikan suasana “sepi” di Hari Raya Nyepi, tetapi menikmati rangkaian kegiatan yang berhubungan Hari Raya Nyepi itu.
Puncak perayaan Hari Raya Nyepi, di tanggal 3 Maret 2022 ini, memang menyepi. Berdiam diri tanpa aktivitas bagi umat Hindu Bali. Tidak ke luar rumah. Tidak ada suara keras yang mengusir ketenangan. Tidak ada orang dan kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya, maupun jalan-jalan kampung. Tidak ada suara radio dan televisi. Menghidupkan lampu dan menyalakan api, dilarang. Dengan demikian, tidak ada deru pesawat terbang dan suara azan melalui pengeras suara dari masjid. Tidak ada raungan sirene mobil ambulans. Artinya, sehari semalam di hari Kamis, tanggal 3 Maret 2022 ini, benar-benar steril dari suara dan kebisingan.
Bandara (bandar udara), pelabuhan dan Terminal tutup. Menghentikan segala kegiatan. Bandara Ngurah Rai tidak melayani kedatangan pesawat dari manapun. Juga tidak ada penerbangan ke jurusan manapun. Operasional kapal penyeberangan dari dan menuju Gilimanuk ke Ketapang, serta Padang Bay ke Lembar, juga dihentikan.
Itulah suasana Pulau Bali, di hari Kamis 3-3-22 hari ini. Tidak ada keramaian di seantero darat dan jagat Pulau Wisata Bali. Juga tidak ada suguhan bunyi musik dan lagu di hotel-hotel tempat wisatawan menginap. Semua sepi dan bertoleransi menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sepi dan sepi yang membuat suasana menjadi hening.
Riwayat terjadinya suasana seperti har ini di Bali, berawal dari India. Kitab suci Weda mengisahkan, dulu terjadi konflik berkepanjangan di Negeri India. Beberapa bangsa dengan paham agama dan keyakinan yang berbeda-beda saling menyerang. Memperebutkan daerah dan kekuasaan. Mereka berasal dari bangsa Saka (Scythia), Yavana (Yunani), Yueh-ci (Tiongkok), Pahlava (Parthta), dan Malava (India).
Di saat perperangan terus berlangsung, akhirnya Raja Kaniskha I dari Dinasti Kusana berhasil mendamaikan bangsa-bangsa tersebut pada 138-12 SM. Untuk memulai era baru ini, Raja Kaniskha I menetapkan perhitungan baru pada 78 Masehi. Penanggalan itu diberi nama dengan Tahun Baru Saka. Sejak saat itu terciptalah Hari Suci Nyepi.
Tiga abad kemudian, tahun 456 M, atau Tahun 378 Saka, datanglah ke Indonesia seorang pendeta penyebar Agama Hindu dari Gujarat, India. Namanya: Aji Saka. Setelah turun dari kapal di pantai Utara Pulau Jawa, Aji Saka, menetap di Rembang, Jawa Tengah.
Sebagai pendeta, Aji Saka mengembangkan ajaran Hindu yang akhirnya menyebar hampir ke seluruh tanah Jawa. Sewaktu, Kerajaan Majapahit berkuasa, mulai tahun 1293 M, digunakanlah sistem penanggalan menurut Tahun Saka. Penjelasan ini juga tercantum dalam buku Nagara Kartagama, karya Prapanca.
Masuknya Agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali. Walaupun di Jawa, Kerajaan Majapahit dan agama Hindu sudah tergeser, bahkan lenyap, namun di Bali tetap bertahan hingga sekarang.
Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan lokal budaya Hindu di Indonesia, khususnya Bali, menyesuaikan dengan perayaan Tahun Baru Caka. Sekaligus menerapkan pelaksanaan Hari Raya Nyepi.
Nyepi sendiri berasal dari kata sepi yang berarti sunyi, senyap, dan tidak ada kegiatan. Di Hari Raya Nyepi, berbagai aktivitas harian seperti bekerja ataupun bepergian ditiadakan karena perayaan dilakukan dengan sunyi dan penuh refleksi diri. Di Indonesia, perayaan hari besar keagamaan Hindu ini terlihat jelas di Bali.
Sejak ditetapkan Hari Raya Nyepi sebagai hari libur nasional, mendapat sambutan masyarakat Bali.
Memang, Hari Raya Nyepi yang ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagai hari raya bagi Umat Hindu. Penerapan pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia (Keppres) Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983. Bersamaan dengan Keppres ini, juga ditetapkan Hari Raya Waisak, sebagai hari besar keagamaan bagi umat Budha.
Hari Raya Nyepi jatuh pada tanggal 3 Maret 2022 ini, jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) — ke sembilan. Hari ini dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera. Para dewa itu membawa intisari amerta air hidup. Untuk itulah, maka umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Sang Dewa.
Bagi masyarakat Bali, Hari Raya Nyepi, tidak hanya merupakan kegiatan keagamaan Hindu. Tetapi, juga dijadikan tradisi adat yang dilakukan secara turun temurun. Istilah nyepi diambil dari kata sepi (Bahasa Indonesia). Dalam praktiknya, Umat Hindu akan berdiam diri dan tidak melakukan kegiatan seperti biasa. Suasananya dibuat senyap dan sepi. Tidak ada aliran listrik, tidak menyalakan api dan tidak melakukan aktivitas fisik.
Melalui Nyepi itulah, sarana perenungan diri dari segala hal yang telah dilalui. Kesempatan itu, digunakan untuk mengevaluasi diri dari masa lalu. Di dalam perenungan itu, seseorang bisa lebih baik lagi di masa depan. Upacara Nyepi sendiri juga menjadi bentuk ketaan diri kepada Tuhan.
Perayaan Nyepi memiliki tujuan sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta). Sesuai dengan namanya “Nyepi” yang berasal dari kata sepi (sunyi, senyap), pada saat Hari Raya Nyepi masyarakat Hindu di Bali tidak beraktivitas dan menyepi di rumah masing-masing. Pada saat itu, berbagai aktivitas dan kegiatan umum ditiadakan. Termasuk tidak beroperasinya toko-toko hingga Bandar Udara Internasional. Hanya fasilitas rumah sakit saja yang beroperasi seperti biasa.
Namun, meskipun terkenal dengan ritual menyepinya, Hari Raya Nyepi memiliki rangkaian upacara panjang, khususnya di daerah Bali. Berikut rangkaian upacara dan perayaan Hari Raya Nyepi di Bali: Nah, rangkaian upacara inilah yang menjadi daya tarik wisatawan.
1. Upacara Melasti
Upacara Melasti yang juga dikenal dengan nama Melis atau Mekiyis dilakukan pada tiga atau dua hari sebelum puncak Hari Raya Nyepi. Pada saat upacara Melasti, segala persembahyangan yang ada di Pura atau tempat-tempat suci diarak ke pantai ataupun danau. Hal ini dikarenakan laut dan danau merupakan sumber air suci (tirta amerta) dan dianggap mampu menyucikan segala leteh (kotor) baik dalam diri manusia ataupun alam.
2. Pecaruan
Upacara selanjutnya adalah upacara Buta Yadnya, yang dilaksanakan sehari sebelum puncak Hari Raya Nyepi. Upacara Buta Yadnya ini dilaksanakan di segara tingkatan masyarakat mulai dari pada tingkat keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya. Upacara ini dilaksanakan dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru yang merupakan sejenis sesajian sesuai kemampuan masing-masing. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
3. Upacara Pengrupukan
Upacara mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar. Arak-arakan ogoh-ogoh di Bali ini sendiri berlangsung sangat meriah sehingga menjadi daya tarik wisata tersendiri di Bali menjelang Hari Raya Nyepi.
4. Puncak Hari Raya Nyepi
Setelah upacara pengrupukan, tepatnya pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah puncak dari Hari Raya Nyepi sesungguhnya dimana para umat Hindu melaksanakan “Catur Brata” atau penyepian. “Catur Brata” sendiri terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan).
Selain itu, bagi umat Hindu yang mampu juga kerap melaksanakan tapa, yoga, dan juga samadhi. Hal ini dilakukan guna benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih di tahun baru Caka pun. Dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).
Pada puncak Hari Raya Nyepi inilah para umat Hindu sama sekali tidak beraktivitas dan hanya berdiam diri di rumah masing-masing.
5. Ngembak Geni (Ngembak Api)
Jika pada hari raya tahun baru pada budaya atau penanggalan lainnya kerap dirayakan dengan meriah dan bersilahturahmu, umat Hindu justru menyambut Tahun Baru Saka dengan menyepi dan silahturahmi baru dilakukan pada hari kedua yang dikenal sebagai hari Ngembak Geni. Sehari setelah Hari Raya Nyepi, umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih.
Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.
Hari Sarung Nasional
Perayaan pada peringatan Hari Sarung Nasional, 3 Maret 2022 ini, boleh dikatakan belum semarak. Gaung adanya peringatan HSN itu sendiri nyaris tak terdengar.
Sebenarnya prospek peringatan HSN ini sangat bagus. Bahkan bisa dikatakan masa pandemi Covid -19 ini tidak berpengaruh terhadap acara-acara HSN. Sayangnya yang terjadi, setelah Presiden Jokowi menetapkan HSN tanggal 3 Maret 2019, pada racun 2020, 2021 dan 2022 ini, masih sepi. Tidak jelas lembaga ada yang ditunjuk sebagai kordinator peringatan HSN di tingkat Pusat, begitu pula di daerah.
Masyarakat belum merasa dilibatkan, baik produsen maupun konsumen, serta pengguna Sarung itu. Padahal, tidak sedikit produsen yang sebenarnya berharap dilibatkan. Begitu juga konsumen dan pengguna.
Tidak sedikit produsen atau pabrik tekstil yang bisa dilibatkan. Demikian pula masyakat pengguna hampir seluruh penduduk Indonesia. Memang terbanyak umat Muslim Tetapi, sarung serbaguna, sehingga selain untuk shalat bagi umat Islam, juga bisa untuk busana santai dan santri.
Sarung juga digunakan untuk pelengkap pakaian adat di daerah tertentu. Dijadikan sal yang dipandang di leher, misalnya bagi masyarakat Minangkabau dan Melayu. Ada juga untuk dipakai sebagai hiasan di bawah jas dan beskap, di daerah tertentu. Belum kagi sebagai busana masa kini, untuk celana dan baju.
Artinya, kain sarung multiguna. Di samping merupakan kebanggaan bagi Bangsa Indonesia, sebab sarung buatan Indonesia juga dusukai di beberapa negara lain. Dengan demikian ekspor sarung ke mancanegara punya masa depan Tang bagus.
Jadi, melihat kenyataan setelah empat tahun HSN berlangsung, maka saatnya di tahun ke lima mendatang HSN benar-benar harus disemarakkan. Gaung kemeriahan HSN perlu dirancang secara serius dan profesional.
Harus jelas siapa kordinator di Pusat sampai ke daerah . Melibatkan semua produsen dan konsumen , serta pengguna.
Demikian, Selamat Hari Sarung Nasional 2022 yang peringatannya bersamaan dengan Hari Rata Nyepi, 3 Maret 2022.**
*) Yousri Nur Raja Agam — Wartawan Senior di Surabaya dan Pengurus IKATSI (Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia) Jawa Timur.